Kemajemukan di Indonesia adalah anugerah dan keniscayaan. Lebih dari itu, kemajemukan menjadi modal untuk kemajuan bangsa. Untuk itu, keterbukaan masyarakat dan toleransi perlu dibangun dan terus diperkuat.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajemukan di Indonesia adalah anugerah dan keniscayaan. Lebih dari itu, kemajemukan menjadi modal untuk kemajuan bangsa. Untuk itu, keterbukaan masyarakat dan toleransi perlu dibangun dan terus diperkuat.
Presiden Joko Widodo menilai masyarakat dunia akan semakin majemuk akibat perkembangan zaman yang tak bisa dihindari. Kemajuan infrastruktur dan membaiknya konektivitas mempermudah hal itu. ”Kemajemukan membuat kita semakin kaya dalam berimajinasi dan semakin dewasa. Tak hanya itu, kemajemukan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kemajuan ekonomi,” tutur Presiden dalam pembukaan Forum Titik Temu Kerja Sama Multikultural untuk Persatuan dan Keadilan, di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Dalam acara yang diselenggarakan Nurcholis Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute ini, Presiden didampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Hadir pula Sinta Nuriyah Wahid, Omi Komaria Madjid, Quraish Shihab, Try Sutrisno, dan Akbar Tandjung.
Presiden melanjutkan, ketika toleransi dan keterbukaan masyarakat terbentuk kuat, wisatawan asing yang berbeda budaya, berbeda agama, dan berbeda ras akan merasa nyaman. Peningkatan kesejahteraan akan terjadi ketika sektor pariwisata ini membaik.
Dicontohkan pula Uni Emirat Arab yang dalam sepuluh tahun terakhir menjadi sangat terbuka, sangat maju, dan sangat makmur. Pendapatan perkapitanya saat ini mencapai 43.000 dollar AS. Apabila dibandingkan dalam kepemilikan sumber daya alam, Indonesia bisa dianggap lebih kaya.
Namun, kemauan untuk menguatkan keterbukaan dan toleransi ini dinilai masih kurang kendati Indonesia sudah memiliki modal sebagai negara majemuk dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Omi Komaria menegaskan, kebinekaan di Indonesia bukan sesuatu yang sekali jadi dan berlaku selamanya. Namun, produk sejarah brilian dari para pendiri bangsa ini harus dilestarikan dan dikontekstualkan dengan kebutuhan saat ini dan masa depan.
Untuk itu, warga perlu saling membuka diri dan saling mengenal serta membiasakan diri dengan tradisi, dialog, dan mengembangkan sikap toleransi. Toleransi, prinsip kesetaraan, prinsip kebebasan beragama, serta perlakuan setara semestinya dijaga oleh negara dan semua masyarakat.
Nyonya Sinta juga mengingatkan, Indonesia seperti danau peradaban yang menampung berbagai jenis mata air berupa berbagai etnis dengan tradisi masing-masing. Karena sebagai danau peradaban yang menjadi muara keberagaman, semestinya Indonesia kokoh, lapang, dan dalam supaya tak mudah ”jebol dan meluap” karena tak mampu menampung air yang kadang datang dengan deras. Perumpamaan ini digunakan untuk mendorong bangsa Indonesia mempunyai jiwa yang kokoh, hati yang lapang, dan pemikiran yang dalam agar bisa hidup bersama saudara sebangsa yang berbeda dengan tulus dan ikhlas.
Namun, menurut Sinta, kompleksitas keragaman di negeri ini tidak bisa diselesaikan dengan perangkat kelembagaan yang ada di luar manusia, seperti hukum, politik, dan ekonomi semata. Sebab, semua perangkat kelembagaan ini berlaku umum dan universal, sementara masyarakat Indonesia beragam dan unik.
Untuk itu, penting membangun kearifan dalam diri setiap warga bangsa Indonesia. ”Tanpa kearifan, kita akan mudah retak. Apalagi, hukum dan politik tidak lagi menjadi alat bersatu, tetapi malah menjadi ajang kompetisi. Masing-masing kelompok tak lagi menganggap kelompok lain sebagai mitra, tetapi sebagai kompetitor yang harus disingkirkan,” tutur Sinta.
Piagam Abu Dhabi
Untuk membangun kemanusiaan tersebut, Quraish Shihab menceritakan proses penandatanganan piagam penghargaan kemanusiaan yang disebut Piagam Abu Dhabi yang didahului Konferensi Persaudaraan Kemanusiaan di Abu Dhabi awal Februari 2019. Dalam acara yang diinisiasi Grand Syaikh Al Azhar dan Paus Fransiskus itu, pertemuan menggunakan lambang merpati yang terbang dengan membawa ranting zaitun di paruhnya.
Kedua sayap itu, menurut Paus, mutlak diperlukan. Satu sayap melambangkan keadilan, satu sayap lagi melambangkan pendidikan. Kalau kita ingin membumikan nilai ini, perlu keadilan dan pendidikan.
Kedua hal ini akan menghindarkan tiga hal yang menghambat persaudaraan kemanusiaan terjadi. Penghambat pertama adalah kedangkalan pengetahuan agama dan kesalahpahaman tentang ajaran agama yang membuat orang enggan membantu mereka yang berbeda agama, bahkan melarang ucapan basa-basi.
Penghambat kedua adalah emosi keagamaan yang melampaui batas. Akibat emosi ini, kata Quraish, tidak jarang yang berpengetahuan agama pun bersikap atau berucap tak adil, bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya. Untuk itu, emosi keagamaan seharusnya dialihkan menjadi cinta yang menjadi inti ajaran semua agama dan mendorong hubungan harmonis dalam perbedaan.
Ketiga adalah peradaban umat manusia di bidang material. Kemajuan materi ini dinilai tak seimbang dengan kemajuan peradaban rohani.
Untuk itu, banyak hal perlu diseimbangkan melalui keadilan. Adil dimaknai sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya serta memberi hak kepada seseorang dengan cara benar dan secepat mungkin.