Lima Poin Rekomendasi untuk Mempererat Buhul Kebangsaan
Forum cendekiawan dan tokoh lintas agama menyarankan agar Indonesia terus memperkuat buhul kebangsaan. Hal itu tertuang dalam lima poin rekomendasi.
JAKARTA, KOMPAS — Forum cendekiawan dan tokoh lintas agama menyarankan agar Indonesia terus memperkuat buhul kebangsaan. Hal itu tertuang dalam lima poin rekomendasi.
Pertama, mengajak setiap warga negara untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan kebinekaan sebagai langkah mendasar menolak rasisme, perilaku intoleran, dan tindakan kekerasan. Kedua, mengajak masyarakat menyadari kembali pentingnya hidup berdampingan dan meningkatkan kerja sama lintas budaya.
Ketiga, institusi negara diminta bekerja efektif dan bersinergi demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Keempat, mendorong kerja sama konkret antar-organisasi masyarakat sipil dan sektor usaha untuk secara kreatif memproduksi dan membuka lapangan kerja baru guna memberikan jaminan hidup yang sejahtera dan makmur.
Kelima, menyerukan kepada komunitas adat, agama, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat sinergi gerakan bersama mulai dari mendorong kebijakan yang adil, pendidikan yang layak, hingga pendampingan masyarakat di akar rumput.
Lima poin rekomendasi itu dihasilkan Forum Titik Temu bertajuk ”Kerja Sama Multikultural untuk Persatuan dan Keadilan”, Rabu (18/9/2019), di Jakarta.
Dalam acara yang digelar Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute, itu hadir sejumlah tokoh bangsa, antara lain istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid; Quraish Shihab, Omi Komaria Madjid, dan Azyumardi Azra.
Selain itu, dalam acara yang dibuka oleh Presiden Joko Widodo itu, hadir pula tokoh lain, seperti pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina Haidar Bagir, pengurus Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta Yayah Khisbiyah, aktivis perempuan Lies Marcoes, Alissa Wahid, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Di samping itu, ada juga sejumlah tokoh lintas agama.
Quraish Shihab, dalam pidatonya, menyinggung ihwal dokumen persaudaraan manusia yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Februari silam. Dalam Deklarasi Abu Dhabi itu, pendidikan dan keadilan menjadi kunci perdamaian umat manusia.
Menurut Quraish, ada tiga hal yang menghambat lahirnya persaudaraan kemanusiaan, yakni kesalahpahaman tentang ajaran agama, emosi keagamaan yang berlebihan, dan peradaban umat manusia mutakhir.
Kesalahpahaman tentang ajaran agama membuat orang mempertentangkan persaudaraan seagama dengan persaudaraan kemanusiaan. Padahal, agama tidak mengajarkan demikian.
”Sementara emosi keagamaan yang berlebihan membuat orang yang berpengetahuan sekalipun bersikap tidak adil atau mengucapkan kalimat yang bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri,” ujarnya.
Kesalahpahaman tentang ajaran agama membuat orang mempertentangkan persaudaraan seagama dengan persaudaraan kemanusiaan.
Quraish melanjutkan, peradaban manusia mutakhir gagal menyeimbangkan antara kebutuhan materi dan rohani. Ini yang membuat peradaban berjalan dengan tidak adil. Oleh sebab itu, tidak berguna lagi upaya menutup diri atau menghalangi apa yang sering dinamakan ”pihak lain” untuk berhubungan dengan kita.
”Yang dibutuhkan adalah hubungan itu kita hadapi dan kita kelola sehingga tidak mencederai nilai agama. Hal itu sekaligus tidak melupakan bahwa kita bersaudara dan ’berseudara’. Udara yang tercemar dampaknya menimpa kita semua,” katanya.
Lawan ekstremisme
Haidar Bagir menjelaskan, gerakan ekstremisme yang merusak sendi keberagaman tak cukup dilawan dengan gagasan. Harus ada tindakan nyata dari masyarakat sipil dan kelompok moderat di Indonesia.
Kelompok moderat Indonesia berjumlah besar. Namun, kalau kelompok mayoritas ini diam, akan kalah karena gerakan moderat di Indonesia sedang dikepung dari segala lini.
”Saya bergerak di bidang pendidikan. Saya tahu bahwa, kalau tidak hati-hati, sekolah justru menjadi tempat tumbuhnya radikalisme. Radikalisme mulai dari sekolah. Gurunya dikuasai, masjid dikuasai, universitas dikuasai,” katanya.
Baca juga: Menangkal Radikalisme
Oleh sebab itu, lanjutnya, pemerintah harus bertindak tegas dengan tetap berlandaskan hukum. Penindasan terhadap kaum minoritas—entah itu komunitas antaragama maupun minoritas karena perbedaan tafsir di dalam satu agama—tak boleh dibiarkan.
Kalau tidak hati-hati, sekolah justru menjadi tempat tumbuhnya radikalisme. Radikalisme mulai dari sekolah. Gurunya dikuasai, masjid dikuasai, universitas dikuasai.
Moeldoko mengemukakan, pemerintah terus mencari titik temu antara stabilitas dan demokrasi. Jika pemerintah terlalu menekankan pada stabilitas, demokrasi akan terganggu, begitu juga sebaliknya.
Manakala demokrasi diberi ruang sebebas-bebasnya dan liar tak terkendali, stabilitas akan terancam. ”Begitu stabilitas terancam, semua orang menderita,” katanya.
Sementara, Lies Marcoes mengatakan, keberagaman memang diakui secara antropologi. Namun, secara politik, keberagaman belum tentu diakui.
Sejarah Indonesia membuktikan itu. Sebelum Indonesia merdeka, Belanda tidak memperhitungkan bumiputra. Begitu pula pada masa pemerintahan Orde Baru, bangunan politik yang seragam membuat keberagaman diberangus.
”Kita tidak boleh berhenti mengakui keberagaman sebagai fakta karena fakta bisa hilang akibat kepentingan politik. Pengakuan atas realitas yang beragam harus diperjuangkan dan terus menjadi cita-cita,” katanya.
Baca juga: ”Kabihu”, Penjaga Pluralisme Sumba
Yayah Khisbiyah menambahkan, di luar forum yang diisi tokoh-tokoh intelektual publik, tantangan untuk menjaga keberagaman itu luar biasa berat. Tokoh intelektual yang berani mengutarakan pandangan tegas diberi julukan buruk.
Bahkan, dia dan beberapa kolega pernah dilaporkan ke polisi pada 2011 ketika menulis buku tentang pendidikan perdamaian berbasis Islam.
Yayah berharap forum diskusi ini dapat mendengarkan suara yang berbeda. ”Saat itu kita diuji, apakah kita hanya ingin mendengar teman yang satu suara atau juga bersedia mendengar suara berbeda, betapa pun sulit dan sakitnya,” katanya.
Berbagi rezeki
Bagi Yudi Latif, terdapat semacam paradoks antara khotbah agama dengan fakta sosial. Agama mengajarkan bahwa cinta bersifat universal. Akan tetapi, rasa cinta manusia berkembang secara selektif karena ada kecenderungan untuk mencintai orang yang satu preferensi saja.
Ini kemudian menimbulkan rasa tidak adil. Ketidakadilan terjadi manakala sumber daya alam hanya melingkar di kalangan dan wilayah tertentu saja.
”Pada gilirannya, ini akan memicu masalah dalam susunan masyarakat beragam,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Yudi, ruang perjumpaan antarelemen masyarakat yang berbeda ini harus diperbanyak. Golongan berada dan tak berpunya harus saling terhubung.
”Tak ada keadilan kalau tidak ada keterhubungan yang memungkinkan golongan berada bisa berbagi rezeki dengan golongan yang berbeda dengannya,” katanya.