Melihat dari Dekat Kiprah Indonesia di Dewan Keamanan PBB
Saat Indonesia menjabat Ketua Dewan Keamanan PBB bulan Mei lalu, wartawan harian Kompas, Adhitya Ramadhan ditugaskan ke New York guna melihat langsung aktivitas perwakilan Indonesia dalam kancah diplomasi internasional.
Kabar membanggakan dari New York, Amerika Serikat, hadir pada Jumat (8/6/2019). Untuk keempat kalinya, Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) setelah memperoleh 144 suara dalam sidang PBB. Indonesia pun akan duduk di DK PBB pada periode 2019-2020.
Sebelum ini, Indonesia pernah juga menjadi anggota tidak tetap DK PBB pada 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008. Foto Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang bahagia dan mendapat selamat dari para diplomat pun terpampang di banyak media. Sebuah ekspresi yang sangat wajar setelah kerja keras meyakinkan negara lain untuk memilih Indonesia berbuah sesuai dengan harapan.
Kabar itu tentu membanggakan. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk keempat kalinya memiliki makna bahwa Indonesia masih dipercaya untuk berperan dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Akan tetapi, yang lebih menggembirakan sekaligus juga membanggakan, terutama bagi saya sebagai jurnalis, adalah bisa mendapat kesempatan untuk menyaksikan langsung bagaimana hari demi hari diplomat Indonesia di New York berkontribusi pada perdamaian dunia secara langsung dalam DK PBB selama hampir dua minggu pada akhir Mei 2019.
Secara kebetulan, pada Mei itu, Indonesia sedang menjadi Ketua DK PBB. Aktivitas sidang atau pertemuan informal Perutusan Tetap RI (PTRI) di New York pun padat. Mungkin itu sebabnya Kementerian Luar Negeri selama Mei 2019 mengundang beberapa jurnalis dari Indonesia untuk meliput semua aktivitas perwakilan Indonesia di DK PBB secara bergiliran.
Sebagai informasi, posisi Ketua DK PBB digilir di antara 15 negara anggota DK PBB sesuai dengan urutan abjad. Mei 2019 itu adalah giliran Indonesia. Selama masa keanggotaan tidak tetapnya tahun 2019-2020 diperkirakan Indonesia menduduki posisi ketua atau presiden DK PBB dua kali.
Selama di New York, semua jurnalis tinggal di gedung PTRI di Manhattan, hanya berjarak beberapa blok saja dari markas PBB. Jurnalis yang pernah diundang Kementerian Luar Negeri ke acara-acara Indonesia di kantor PBB di New York, tentu tidak asing lagi dengan kamar-kamar di lantai ruang bawah tanah (basement) yang pintunya langsung mengarah ke kantin atau dapur di sana.
Menempati kamar yang persis berada di depan kantin, waktu itu hampir tidak berarti banyak. Sebab, saat itu bertepatan dengan bulan puasa sehingga selama liputan di New York kami masih menjalankan ibadah puasa. Namun, durasinya tentu berbeda dengan puasa di Tanah Air.
Saat itu kami harus sahur sekitar pukul 04.00 pagi dan baru buka puasa sekitar pukul 20.15. Durasinya lebih lama dari jadwal puasa di Indonesia.
”Selamat pagi. Dari media? Nanti saya akan menyampaikan sesuatu, ya, tapi tunggu dulu,” kata Dian Triansyah Djani, Duta Besar/Wakil Tetap Indonesia untuk PBB, kepada saya yang pagi itu sudah menunggu di lobi gedung PTRI.
Tidak berapa lama kemudian saya pun dipanggil menghadap Pak Trian— panggilan akrab Dian Triansyah Djani—di kantornya. Ditemani beberapa diplomat, ia pun menerangkan agenda apa saja yang dijadwalkan selama Indonesia menjadi ketua di DK PBB.
Sambil menunjukkan secarik kertas berisi jadwal pertemuan DK PBB, Pak Trian pun memaparkan betapa untuk menetapkan agenda sidang pun Indonesia harus ”bertarung” dengan diplomat dari negara lain.
Selama Indonesia menjadi ketua di DK PBB, ada banyak sekali kegiatan setiap hari, mulai dari pagi, siang, hingga malam. Sampai 20 Mei 2019, sudah ada 16 pertemuan terbuka ditambah setidaknya 16 konsultasi tertutup yang digelar.
Pertemuan bisa bertambah banyak jika ada perkembangan situasi keamanan terbaru dari lokasi-lokasi konflik yang perlu dibahas. Contohnya, pertemuan membahas Suriah yang semula dijadwalkan tiga kali, bertambah menjadi lima kali karena adanya perkembangan keamanan terbaru di Idlib yang perlu mendapat respons DK PBB.
Selain menyiapkan tema pertemuan, Indonesia juga harus menyiapkan siapa yang akan berbicara, apakah Sekretaris Jenderal PBB perlu dihadirkan atau tidak, termasuk format pertemuannya seperti apa.
Itu belum termasuk pertemuan rutin yang memang wajib dilakukan oleh anggota DK PBB, misalnya membahas perpanjangan misi perdamaian di satu negara. Belum lagi pertemuan-pertemuan informal yang digelar untuk memecah kebuntuan proses diplomasi di ruang sidang.
Setelah sekitar 20 menit berbincang dengan Pak Trian, kami para jurnalis pun berjalan kaki bersama para diplomat menuju gedung PBB. Berjalan kaki sejauh tiga blok dari kantor PTRI di 325 East 38th St menuju Gedung PBB di pagi yang cerah, dengan suhu sekitar 20 derajat celsius pun jadi tidak terasa.
Sebagai jurnalis, kami tidak bisa masuk lewat pintu utama gedung PBB di dekat East 44th St, tetapi di pintu satunya yang berjarak sekitar satu atau dua blok dari pintu utama. Sebagaimana akan memasuki tempat yang merupakan obyek vital, kami pun harus melalui pemeriksaan termasuk pemindaian logam.
Kami masuk melalui pintu akses yang sama dengan pengunjung umum. Meliput berbagai kegiatan di gedung PBB tidak bisa leluasa, khususnya bagi jurnalis yang hanya memiliki kesempatan meliput terbatas.
Sebelum berangkat ke AS, Kemenlu mengurus segala keperluan izin peliputan di gedung PBB yang diperlukan, termasuk akreditasi media yang dikeluarkan oleh Unit Hubungan dan Akreditasi Media (MALU) PBB. Kami pun menggunakan tanda pengenal sementara yang dikeluarkan oleh MALU PBB yang masa berlaku dan peruntukannya terbatas.
Tanda pengenal dari kertas itu tidak bisa dipakai untuk membukakan pintu otomatis antarbagian gedung yang dijaga petugas keamanan. Kami pun tidak bisa dengan bebas pergi dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap saat diplomat dari Kemenlu harus mendampingi.
Terlepas dari tanda pengenal yang terbatas aksesnya, pendampingan dari diplomat atau dari MALU tetap diperlukan. Sebab, gedung PBB di New York terdiri dari banyak ruangan yang jika ditelusuri sendiri pasti membingungkan dan bisa membuat kita tersesat. Ada ruang sidang utama, ruang sidang untuk organ-organ PBB, termasuk ruang-ruang kantor sekretariat PBB.
Ada banyak karya seni yang menghiasi sudut-sudut bagian dalam gedung PBB, seperti lukisan dan benda-benda seni bersejarah dari sejumlah negara, selain tentu bendera negara-negara anggota PBB.
Selain ruang sidang dan kantor di gedung PBB, ada pula kantin dan toko suvenir yang menjual pernak-pernik bertemakan PBB serta sejumlah produk cendera mata unggulan dari sejumlah negara.
Suasana akhir Mei 2019, saat menginjakkan kaki di gedung PBB New York, sangat berbeda dengan suasana pada September 2018 ketika saya berkesempatan meliput Sidang Umum PBB (UN General Assembly) dan Pertemuan Tingkat Tinggi PBB tentang Tuberkulosis (UN High Level Meeting on TB).
Pada Mei 2019, suasana di sana tak ubahnya perkantoran dengan aktivitas harian seperti biasa. Meski ada pertemuan-pertemuan penting tingkat tinggi digelar, mayoritas yang lalu lalang adalah para diplomat yang memang sehari-hari beraktivitas di sana.
Hal itu jauh berbeda dibandingkan dengan saat Sidang Umum digelar, di mana ada banyak kepala negara beserta menteri dan pejabat senior hadir. Belum lagi perwakilan organisasi masyarakat sipil dan media dari luar AS. Semuanya tumplek blek di gedung itu. Bisa dibilang suasananya lebih semrawut, terlebih dari satu ruangan ke ruangan lain kita harus melalui pemeriksaan keamanan dan bagi jurnalis tetap harus dikawal petugas dari MALU.
Saat sidang umum, Sekretarit PBB membangun tenda besar sebagai media center di halaman belakang gedung PBB. Di dalamnya terdapat banyak layar televisi yang menyiarkan langsung pertemuan-pertemuan yang ada di dalam gedung. Dari tenda itu kita bisa menatap gedung-gedung pencakar langit di Long Island City tepat di seberang Sungai East.
Pengamanan baik di dalam gedung, di luar gedung, maupun di jalan-jalan Manhattan saat sidang umum pun jauh lebih ketat. Banyak ruas jalan ditutup atau dibuat satu arah. Polisi terlihat bersiaga di sudut-sudut jalanan.
Akhir Mei itu, kami hendak mengikuti pertemuan DK PBB soal Palestina. Rasanya ini bakal menarik, bagaimana menyaksikan anggota tetap DK PBB seperti AS akan bersuara soal Palestina.
Benar saja, wakil AS yang hadir saat itu, Jason Greenblatt, salah satu think tank Presiden Donald Trump, bersuara keras soal Palestina, termasuk mengkritik tajam Komisioner Badan Bantuan dan Pekerja PBB yang Mengurusi Masalah Pengungsi Palestina (UNRWA).
Menlu Retno yang memimpin sidang pun mempersilakan semua negara anggota DK PBB untuk memberikan pendapatnya, termasuk pihak di luar DK PBB yang sengaja diundang.
Kami pun masuk ke ruang sidang DK PBB yang didesain seperti teater dengan kursi-kursi berderet dari atas ke bawah. Tampak di bagian bawah, meja melingkar hampir sempurna lengkap dengan kursi-kursinya. Di situlah para diplomat negara anggota DK PBB duduk dan bersidang. Di belakang meja melingkar itu terpampang lukisan dari cat minyak berukuran sekitar 5 x 9 meter karya pelukis Norwegia, Per Krohg.
Kami duduk di bangku yang berderet di atas. Petugas keamanan sempat mempertanyakan, apakah kami akan mengambil foto atau video sebab kami dilarang mengambil foto atau video dari situ. Oleh karena hanya mencatat dinamika sidang atau mengetik di laptop, akhirnya petugas keamanan mempersilakan.
Juru foto dan juru kamera televisi sudah memiliki tempatnya sendiri, yaitu di bagian kiri dan kanan bagian atas ruangan yang sederet dengan ruangan untuk penerjemah. Di situlah jurnalis televisi juga fotografer mengambil gambar.
Seusai meliput sidang DK PBB, masih ada beberapa pertemuan bilateral Indonesia dengan sejumlah negara yang harus diliput di ruang terpisah. Malamnya, di kantor PTRI diadakan buka puasa bersama semua anggota DK PBB.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pun hadir. Acara jamuan itu berlangsung tertutup karena, selain buka puasa bersama perwakilan negara anggota DK PBB itu, dibahas juga beberapa hal penting.
Esok harinya, para wakil negara anggota DK PBB kembali berkumpul di kantor PTRI untuk jamuan sarapan dengan negara-negara Uni Eropa dan membahas isu-isu yang menjadi perhatian bersama.
Baca juga: Bagaimana Liputan Investigasi ”Kompas” Soal Tekfin Ilegal
Di luar itu, masih ada sofa talk di balkon kantor PTRI, sebuah acara santai dan informal yang digagas Indonesia untuk memecah kebuntuan di meja diplomasi.
Fakta bahwa dalam waktu 24 jam, semua wakil negara anggota DK PBB hadir di PTRI, memperlihatkan bahwa Indonesia bukanlah pemain kemarin sore dalam diplomasi internasional. Para anggota DK PBB menaruh kepercayaan terhadap Indonesia yang dalam politik luar negerinya tidak memihak kepada salah satu kekuatan adidaya yang ada saat ini.