Jembatan gantung yang menghubungkan beberapa desa di Kecamatan Indrajaya dengan Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, rusak parah. Namun, bagi siswa di sana, jembatan itu adalah wahana menjemput ilmu.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Jembatan gantung yang menghubungkan beberapa desa di Kecamatan Indrajaya dengan Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, rusak parah. Namun, bagi siswa di sana, jembatan itu adalah wahana menjemput ilmu. Kini, mereka berharap jembatan diperbaiki agar menjadi jembatan harapan meraih masa depan.
Muhammad Reza (14) dan Aljazuli (15) melangkah pelan di jembatan gantung di Desa Ketapang Aree, Kecamatan Delima, Selasa (17/9/2019) siang. Jembatan itu dibangun melintasi Sungai Garut. Mereka harus berhati-hati karena sebagian lantai kayu jembatan telah tanggal, meninggalkan ”lubang-lubang”.
Reza dan Aljazuli tinggal di Desa Pante Garot, Kecamatan Indrajaya. Namun, Madrasah Tsanawiyah Negeri 8 Pidie, tempat mereka bersekolah, terletak di Desa Keutapang Aree. Saban hari, Reza dan Aljazuli serta puluhan siswa lainnya melintasi jembatan gantung itu untuk mencapai sekolah.
Jembatan itu dalam keadaan rusak. Lantai kayu mulai lapuk dan di beberapa bagian telah copot. Besi pengikat lantai sebagian lepas dari dudukan. Besi penyangga samping kiri kanan bengkok dihantam banjir 2015 lalu.
”Takut juga lewat jembatan rusak ini, tetapi tidak ada jalan lain ke sekolah,” kata Reza.
Sebenarnya ada jalur lain yang bisa dilalui, tetapi harus memutar dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer. Sementara menggunakan jembatan gantung jaraknya hanya 400 meter telah sampai ke sekolah.
Reza dan Aljazuli berharap jembatan itu segera diperbaiki agar dia dan siswa lainnya lebih aman berangkat ke sekolah.
Karena jembatan rusak, sebagian warga tidak berani membiarkan anaknya berangkat sekolah sendiri. Seperti Asnita (45), warga Desa Pante Aree, saban hari dia mengantar dan menjemput anaknya, Wahyu (5), yang bersekolah di taman kanak-kanak.
”Kalau jembatan sudah bagus tidak perlu setiap hari antar jemput,” kata Asnita.
Tahun lalu, seorang pengendara sepeda motor terperosok karena lantai patah. Beruntung, pengendara tidak sampai tercebur ke sungai.
Gotong royong
Jembatan gantung itu dibangun tahun 1996 oleh Pemprov Aceh. Konstruksi jembatan dari tiang besi dan lantai kayu. Panjang jembatan 20 meter dengan lebar 2 meter. Dua besi baja ukuran pergelangan tangan membentang di kiri kanan menahan lantai jembatan.
Namun, pada tahun 2015, banjir besar melanda Delima, Indrajaya, dan beberapa kecamatan lain. Jembatan itu rusak dihantam arus dan material. Lantai copot, tiang miring, dan besi-besi bengkok.
Kepala Desa Pante Aree Hasan Basri mengatakan, warga dari beberapa desa yang terhubung jembatan itu kerap mengadakan gotong royong untuk memperbaiki jembatan. Lantai kayu yang lapuk diganti kayu yang bagus. Beberapa warga menyumbang batang kelapa miliknya dijadikan lantai.
Hasan mengatakan, pemerintah desa pernah menginisiasi merehab jembatan itu dengan dana desa dari beberapa desa. Namun, karena jembatan itu merupakan aset dinas pekerjaan umum kabupaten, dana desa tidak bisa digunakan karena akan menjadi temuan penegak hukum. ”Akhirnya kami hanya merehab dengan cara tambal sulam,” kata Hasan.
Sejak 2015, kata Hasan, pihaknya berulang kali mengusulkan perbaikan jembatan itu kepada Pemkab Pidie, tetapi tidak pernah disetujui. Akibatnya, warga mulai apatis. Kemudian warga membiarkan jembatan itu dan hanya memperbaiki seadanya untuk bisa dilalui pejalan kaki. Padahal, dulu jembatan itu bisa dilalui sepeda motor.
Hasan heran mengapa jembatan itu luput dari pantauan pemerintah. Padahal, lokasi itu bukan desa terpencil. Jarak Delima dengan kantor bupati Pidie hanya 9 kilometer. ”Mungkin tidak masuk dalam prioritas,” kata Hasan.
Hasan mengatakan, baru-baru ini mendapatkan informasi Wakil Bupati Pidie Fadhullah telah meninjau jembatan itu dan berjanji akan segera merehab. Pemerintah baru merespons saat sudah menjadi konsumsi publik atau telah disiarkan media massa.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pidie Samsul Bahri mengatakan, selama ini pihaknya tidak merehab karena jembatan itu tidak masuk skala prioritas. Masih ada jembatan permanen yang bisa digunakan warga meski dengan jarak lebih jauh.
Meskipun demikian, menurut Samsul, karena kondisi jembatan kian rusak, Pemkab Pidie akan segera merehabnya. Anggaran Rp 200 juta telah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Perubahan 2019. ”Pada Oktober ini akan dimulai rehab,” kata Samsul.
Warga menyambut baik rencana pemerintah merehab jembatan, seperti Silvia, Ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga Keutapang Aree. ”Bagi ibu-ibu, jembatan itu sangat penting, kami lebih mudah ke pasar dan tidak takut melepas anak-anak ke sekolah,” kata Silvia.
Perbaikan jembatan itu mendesak. Sebab, jembatan gantung menjadi jembatan harapan bagi generasi Pidie menjemput masa depan.