Pabrik Arang: Diizinkan, Ditertibkan, dan Dijanjikan Lagi
Polemik keberadaan pabrik pembakaran arang di Jakarta Utara kerap terjadi di kota-kota besar. Tidak adanya ketegasan dalam menegakkan aturan tata ruang menjadikan masalah ini kian pelik.
Oleh
Aguido Adri/Stefanus Ato
·5 menit baca
Keberadaan industri dan permukiman di satu kawasan tanpa zonasi yang jelas dinilai sebagai bentuk lemahnya penegakan aturan tata ruang. Akibatnya, muncul polemik yang sulit dicari jalan keluarnya. Kasus penutupan industri pembakaran batok kelapa di Cilincing, Jakarta Utara, adalah contohnya.
Pelaku usaha pembakaran batok kelapa terancam kehilangan mata pencarian mereka yang diusahakan sejak 2004. Mereka mengaku diizinkan aparat setempat menggunakan area itu untuk usaha skala rumah tangga. Belakangan, keberadaan mereka ditentang warga sekitar karena asap hasil pembakaran batok kelapa menyebabkan pencemaran udara. Pemerintah pun akhirnya menghentikan sementara kegiatan usaha mereka.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 126 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi, ada tujuh poin tujuan penataan ruang Kecamatan Cilincing. Beberapa poin tertulis tentang penataan permukiman, industri kecil, pabrik, dan jalur hijau sebagai prasarana pengendalian polusi udara, sosial, dan keindahan kota.
Pengamat tata kota Hendricus Andy Simarmata mengatakan, penataan ruang di Jakarta, termasuk di Kecamatan Cilincing, sudah memiliki dasar hukum yang di dalamnya ada pembagian zonasi dan fungsi. Namun, jika dalam perencanaan tata ruang tidak sesuai, berarti ada yang salah atau kurang pengawasan dari pemerintah daerah.
”Perencanaan kota itu sudah ada, zonasinya sudah jelas. Permasalahannya, membangun itu sesuai rencana atau tidak? Tidak mungkin ada rencana yang membiarkan antara industri polutan tinggi dan perumahan. Setiap perencanaan kota pasti lulus dari planologi. Secara zona pasti tidak membolehkan. Sekarang, yang terjadi tidak demikian,” kata Andy, Kamis (19/9/2019), di Jakarta.
Polemik pencemaran udara di Cilincing yang melibatkan warga dan pelaku industri arang, kata Andy, tidak perlu terjadi jika pemerintah berpegang pada perda. Dari sisi planologi, masih dimungkinkan pelaku UMKM bersebelahan dengan hunian. Namun, ada prasyarat infrastruktur lingkungan tambahan yang harus dipenuhi, seperti pengaturan jenis industri rendah polutan.
Andy menuturkan, dalam dokumen tata ruang terkandung aspek perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian. Jika pemanfaatannya tidak sesuai rencana, harus dilihat aspek pengendaliannya. Filter pertama ada di pengendalian, ranahnya bukan lagi di perencanaan. Instrumen pengendalian itu seperti perizinan. Izin ini menjadi alat kendali industri yang boleh dan tidak boleh.
”Jika berdasarkan peraturan zonasi, peruntukan harus dilihat persyaratan dan keterbatasan, atau justru industri tidak boleh sama sekali ada di situ. Misalnya boleh bersyarat, boleh ada UMKM di situ asal bersyarat. Jadi, harus ada alat penangkap debu atau pengelolaan limbah terpadu atau boleh beroperasi saat malam dengan ketentuan yang disepakati. Berarti filter keduanya ada di dinas perindustrian dan dinas UMKM yang membina mereka,” lanjutnya.
Ia menuturkan, kehadiran dinas perindustrian untuk membantu teknik pembakaran. Sementara dinas UMKM membantu dari skala cara usaha, penjualan, distribusi, dan lainnya. Jika membolehkan industri beroperasi, pasti ada ketentuan bersyarat karena bersifat mutlak agar lingkungan tidak boleh melewati baku mutu.
Jika ternyata melewati baku mutu, kata Andy, ada dua cara yang harus dilakukan, yaitu mencabut izin usaha atau memperbaiki teknik pembakaran. Teknik pembakaran sangat terkait dengan teknologi.
”Nah, balik ke modal, dinas industri dan dinas UMKM mendukung keberadaan teknologi ini atau tidak. Jika tidak, mereka harus dicarikan mata pencarian baru. Jika pemerintah masih ingin mempertahankan industri rumah tangga untuk mengangkat perekonomian rakyat dan tidak mengganggu permukiman, pemerintah harus menghadirkan teknologi hijau. Jangan dibiarkan,” tuturnya.
Bahar (62), salah satu pengusaha arang, bersama sejumlah pekerja lain sudah membongkar cerobong asap lapak usahanya sejak pagi. Mereka ikhlas merobohkan tempat usaha yang telah menghidupi mereka selama sekitar 20 tahun itu.
”Kami tidak melawan, kami tunduk, karena kami percaya Pak Camat Cilincing (pemerintah). Kalau memang usaha kami salah, kami tertibkan diri sendiri,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Dia mengatakan, warga sudah menaati keputusan yang diambil pemerintah. Karena itu, kini mereka menanti janji pemerintah untuk dibina dan ditata. Salah satu janji yang diberikan, kata Bahar, adalah menyediakan alat tertentu yang dapat meminimalkan asap pembakaran batok kelapa.
”Tadi, Bapak Camat (menjanjikan) kami untuk kasih alat, itu harganya satu unit Rp 25 juta. Kami siap pakai, tetapi kalau bisa dicicil. Apa pun itu, kami ikut asalkan jangan mematikan usaha kami,” kata lelaki asal Makassar, Sulawesi Selatan, itu.
Sebelumnya, pemerintah berencana membina pelaku UMKM di Jalan Inspeksi Cakung Drain. Tujuannya, agar kegiatan usaha mereka legal, tertib tempat usaha, dan tidak berdampak pada kesehatan masyarakat.
”Suku dinas UMKM masuk dulu. Mudah-mudahan dari pembinaan nanti ada solusi dari situ. Utamanya sekarang itu pembenahan corong asap dulu,” kata Camat Cilincing M Alwi.
Sementara itu, Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang DKI Jakarta Heru Hermawanto menyampaikan, kawasan itu seharusnya masuk dalam kategori hunian. Namun, seiring berjalannya waktu, permukiman padat itu terus berkembang menjadi kawasan industri perumahan.
”Awalnya memang bukan pabrik seperti itu. Awalnya memang hunian. Dari situ, hunian difungsikan ganda, hunian dan industri. Industri rumahan,” ujar Heru. Ia menyadari, pengalihfungsian hunian menjadi industri bisa bermasalah jika tidak ditata dengan baik. Itu bisa berujung pada pencemaran lingkungan.
Pemerintah pun, lanjut Heru, tak bisa serta-merta merelokasi mereka karena bergesekan langsung dengan mata pencarian penduduk. Yang penting, menurut dia, adalah penataan kawasan yang menyeluruh, baik secara ekonomi masyarakat, tata ruang, maupun lingkungan. Apabila pemerintah nanti tak bisa merelokasi mereka, akan dipikirkan masalah pembinaannya.
”Makanya, harus bijak menghadapi ini. Mereka perlu dibina dahulu. Kalau itu memang hunian, ya, nanti ditetapkan dengan kondisi-kondisi perbaikan lingkungan. Intervensi lingkungan apa yang dilakukan sehingga penanganannya komprehensif. Jadi, lingkungan tidak rusak, mata pencarian warga pun tetap hidup,” katanya.