Pemidanaan Gelandangan Kembalikan Hukum Era Kolonial
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, gelandangan bisa dipidanakan. Padahal dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, mengamanahkan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu dan Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tinggal menunggu pengesahan melalui Rapat Paripurna DPR akan mengancam keberadaan kaum marjinal, salah satunya gelandangan. Alih-alih dilindungi, keberadaan mereka justru bisa dipidanakan.
Hal itu tertuang dalam Pasal 432 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Adapun bunyi pasal itu adalah, “Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.”
Jumlah denda Kategori I yang harus dibayar, mengacu pada Pasal 79 Ayat (1) RKUHP, adalah Rp 1 juta. Jumlah itu pun masih bisa berubah. Dalam Pasal 79 Ayat (2), dijelaskan bahwa dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari dihubungi Kompas dari Jakarta, Kamis (19/9/2019), mengatakan, pasal tersebut akan mengembalikan sudut pandang kolonial terhadap warga negara yang berstatus sosial tertentu. Negara seakan tak membenarkan kehadiran mereka.
“Dalam era kemerdekaan dan sudah menerapkan demokrasi, aneh jika pemerintah dan DPR membuat aturan tersebut (pasal penggelandangan). Aturan yang sebenarnya tidak boleh diterapkan pada era yang sudah sangat demokratis,” kata Feri.
Ia menambahkan, pasal tentang gelandangan memang ada pada KUHP yang dirumuskan saat era kolonial. Namun, pasal itu sudah dinonaktifkan sejak Indonesia merdeka. Pasca Indonesia merdeka, negara justru berkomitmen melindungi gelandangan. Ini tercermin pada Pasal 34 UUD 1945. Ayat pertama pasal itu menyebutkan, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Pada ayat kedua, disebutkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sementara pada ayat ketiga, negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Menurut Feri, dalam Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945, makna “dipelihara” lebih luas ketimbang “disejahterakan”. Negara yang memelihara fakir miskin dan anak terlantar, artinya, menjamin seluruh hak konstitusional mereka.
Tak rasional
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil menampik bahwa negara hendak meminggirkan gelandangan. Menurutnya, mereka justru harus dilindungi dan dicegah agar tidak menjadi gelandangan.
“Ini perlu dilihat dengan perspektif bahwa negara harus hadiri untuk melindungi mereka. Jadi, melihatnya harus terbalik, yaitu dari porsi negara,” kata Nasir.
Meski demikian, Nasir mengakui, terdapat kekurangan dalam RKUHP. Salah satunya dilihat dari aturan pemidanaan,.
Menurutnya, dalam sejumlah dialog di rapat panja rasionalisasi pemidanaan memang belum sempurna. Seringkali aturan pemidanaan itu mengadopsi dari ketentuan lainnya.
“Saya termasuk yang mempertanyakan, pidana ini bagaimana sih merumuskannya? Ternyata lebih banyak menggunakan rasa dalam menentukan ancaman pidana,” ucap Nasir.
Ia menambahkan, hal itu masih harus diperbaiki. Perlu ada rumusan yang jelas untuk menentukan aturan pemidanaan.
“Misalnya, kenapa ancaman (hukuman penjara) harus dua tahun? Kadang tidak ada jawabannya. Dan hampir semua tidak ada penjelasan, ditimbang, dirasa-rasa saja kayaknya cocok segitu,” ucap Nasir.
Dengan permasalahan-permasalahan yang masih ada di RKUHP, Feri mengatakan, tak tepat jika RKUHP dipaksakan untuk segera disahkan.
Namun, DPR dan pemerintah telah menyepakati pengambilan keputusan tingkat I terhadap RKUHP. Artinya, rancangan tersebut hanya tinggal menunggu penjadwalan rapat paripurna untuk mengesahkannya menjadi undang-undang.
“Ada hal-hal yang seolah-olah dipaksakan. Padahal, KUHP adalah patokan utama berbagai hal yang terkait pemidanaan,” kata Feri.
Pandangan itu tak hanya muncul dari luar DPR. Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-P Diah Pitaloka, mengatakan, pembahasan RKUHP memang tergesa-gesa. Sejumlah aturan di dalamnya pun bertentangan dengan regulasi lain, misalnya dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Oleh karena itu, sebenarnya masih dibutuhkan waktu untuk membahasnya secara komprehensif.