Kualitas udara yang tidak menentu akibat kabut asap memaksa Pemerintah Kota Batam mempertimbangkan opsi untuk meliburkan siswa. Kualitas udara di Batam tergantung tergantung arah angin yang membawa asap.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Kualitas udara yang tidak menentu akibat kabut asap memaksa Pemerintah Kota Batam mempertimbangkan opsi untuk meliburkan siswa. Seperti enam kabupaten/kota lainnya di Kepulauan Riau, kualitas udara di Batam tergantung pada arah angin yang membawa asap dari Sumatera atau Kalimantan.
Walikota Batam Muhammad Rudi, Kamis (19/9/2019), mengatakan, jika nantinya indeks standar pencemar udara kembali menunjukkan konsentrasi PM 10 melebihi 200 mikrogram per meter kubik siswa hingga jenjang SMP akan diliburkan. Kualitas udara yang buruk dikhawatirkan berdampak pada kesehatan.
“Kemarin sudah akan diambil keputusan untuk meliburkan siswa, tetapi ternyata hujan turun dan kualitas udara hari ini kembali membaik,” kata Rudi.
Seluruh kepala sekolah jenjang TK, SD, dan SMP, hari ini dikumpulkan untuk tanggap terhadap kabut asap. Penggunaan masker disarankan untuk meminimalisir dampak asap terhadap kesehatan siswa. Yang dikhawatirkan kesehatan anak-anak lebih mudah terganggu daripada orang dewasa saat terpapar asap.
“Kebijakan meliburkan siswa ini tidak bisa ditentukan mulai kapan berlaku karena semuanya tergantung kepada situasi dan kondisi,” ujar Rudi.
Pada sore ini konsentrasi PM 10 di Batam turun dari sebelumnya 226 mikrogram per meter kubik menjadi 101 mikrogram per meter kubik. Meskipun begitu, kualitas udara masih berada di level tidak sehat. Warga diimbau mengurangi aktivitas di luar ruang dan mengenakan masker penyaring polutan N95.
Namun, situasi di lapangan menunjukkan warga masih abai terhadap imbauan tersebut. Mayoritas pengendara sepeda motor dan pejalan kaki nekat menjalankan aktivitas tanpa mengenakan masker. Alasannya, kabut asap yang sampai ke Batam tidak berbau oleh karena itu tidak perlu memakai masker.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam Didi Kusmarjadi mengatakan, dampak kesehatan menghirup asap memang tidak akan langsung terasa. Meskipun tidak berbau, kabut asap yang memenuhi udara di Batam terasa membuat mata perih dan napas sesak jika terlalu lama berada di luar ruangan.
Penerbangan Anambas lumpuh
Dampak lain kabut asap di Kepri adalah terganggunya transportasi laut dan udara. Padahal, kedua moda transportasi tersebut merupakan tulang punggung untuk menghubungkan provinsi yang 96 persen wilayahnya merupakan laut tersebut.
Kepala Stasiun Meteorologi Tarempa Dudi Juhandinata, mengatakan, aktivitas penerbangan di Bandara Letung, Anambas, lumpuh selama tiga hari belakangan. Jarak pandang mendatar di Pulau Jemaja hari ini hanya sekitar 500 meter atau turun 1.000 meter dari sehari sebelumnya.
Pada Rabu (18/9/2019), Kapal Cepat Bintang Rizky 99 yang membawa 50 orang penumpang juga kandas di tengah jalan karena kabut asap. Kapal itu berangkat dari Pelabuhan Tanjung Batu, Karimun, menuju Pelabuhan Penyalai, Pelalawan, Riau. Nahkoda terpaksa mengandaskan kapal di pesisir Tanjung Ungka, Pelalawan, Riau, karena kabut terlalu pekat.
Letak geografis Kepri di antara Sumatera dan Kalimantan membuat daerah ini terpapar asap dari dua arah.
Letak geografis Kepri di antara Sumatera dan Kalimantan membuat daerah ini terpapar asap dari dua arah. Kabupaten Natuna dan Anambas terpapar dari Kalimantan, sedangkan Bintan, Tanjung Pinang, Batam, dan Karimun terpapar kabut dari Sumatera.
Sementara itu, Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Hang Nadim Batam Suratman, menyampaikan, jarak pandang enam bandara lain di Kepri saat ini dalam kondisi aman dan memungkinkan untuk aktivitas penerbangan. Jarak pandang di dua bandara terbesar yaitu Hang Nadim di Batam dan Raja Haji Fisabilillah di Tanjung Pinang masih lebih dari 10.000 meter.