Pengusaha pembakaran arang mengikuti permintaan aparat untuk menutup usahanya. Kini, mereka menanti janji pemerintah untuk membina mereka agar tetap bisa berusaha.
Oleh
Stefanus Ato/Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lapak usaha arang batok kelapa di Jalan Inpeksi Cakung Drain, Clincing, Jakarta Utara, sudah selesai dibongkar, Kamis (19/9/2019) siang. Sejumlah pengusaha memilih membongkar sendiri lapak usahanya. Kini, mereka menanti janji Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk dibina demi kembali menjalankan usaha.
Bahar (62), salah satu pengusaha arang, bersama sejumlah pekerja lain sudah membongkar cerobong asap lapak usahanya sejak pagi. Mereka ikhlas merobohkan tempat usaha yang menghidupi mereka selama 20-an tahun.
”Kami tidak melawan, kami tunduk, karena kami percaya Pak Camat Cilincing (pemerintah). Kalau memang usaha kami salah, kami tertibkan diri sendiri," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Dia menambahkan, warga sudah menaati keputusan yang diambil pemerintah. Oleh karena itu, kini mereka menanti janji pemerintah untuk dibina dan ditata. Salah satu janji yang diberikan, kata Bahar, yakni menyediakan alat tertentu yang dapat meminimalkan asap pembakaran arang batok kelapa.
”Tadi, Bapak Camat janji untuk kasih alat, itu harganya satu unit Rp 25 juta. Kami siap pakai, tetapi kalau bisa dicicil. Apa pun itu, kami ikut asalkan jangan mematikan usaha kami,” kata lelaki Makassar, Sulawesi Selatan, itu.
Camat Cilincing Muhammad Alwi mengatakan, pola penertiban yang melibatkan 165 personel itu hanya sebatas pembongkaran corong asap. Sebab, corong itu ditengarai sebagai penyebab asap membubung ke udara dan menyebar ke permukiman penduduk.
”Kami tertibkan corong-corongnya saja. Untuk arang-arangnya silakan diolah, tetapi tidak lagi keluar asap. Barang-barang ini bisa jadi bekal mereka lokasi tempat yang lain. Barang yang bisa dimanfaatkan akan mereka bawa,” katanya.
Alwi menambahkan, pihaknya sedang mencari solusi terkait nasib dari pengusaha oembakaran arang batok itu. Salah satu solusi yang akan ditawarkan adalah menyediakan alat yang dapat meminimalisir asap pembakaran arang.
”Jadi, saya sudah melakukan pengecekan, ada dua tempat, ada di Bekasi dan di Tasik. Itu ada dua alat ternyata barangkali kami bisa memanfaatkan untuk mereka berusaha,” ucapnya.
Meski tak menyebutkan detail model dari alat itu, Alwi memastikan kalau alat itu efektif meredam asap pembakaran. Namun, rencana pengadaan masih akan didiskusikan dengan pengusaha arang serta mencari donatur yang bersedia menyediakan alat itu.
”Masalah diberikan alat kami belum, tetapi nanti koordinasi dengan mereka, usahanya bagaimana? Atau nanti kita bisa ajak donatur, nanti kita atur ke depannya,” ujar Alwi.
Pembongkaran lapak usaha arang batok kelapa dilakukan pemerintah karena asap pencemaran melebihi ambang batas baku mutu yang disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dampak dari pembakaran arang batok kelapa juga dikeluhkan warga karena terganggu asap sisa pembakaran yang masuk hingga ke rumah warga bahkan hingga ke lingkungan SDN Cilincing 07 Pagi.
Ada salah satu guru SDN 07 Cilincing Pagi beinisial AP (48) yang divonis dokter menderita pneumonia akut. Penyakit itu diduga akibat asap pembakaran arang batok.
Tanah negara diperjualbelikan
Alwi menambahkan, tanah yang ditempati para pengusaha arang itu merupakan aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sesuai dengan perencanaan tata ruang wilayah, lahan yang diapit Kali Gendong dan Kali Cakung Drain itu merupakan jalur hijau.
Para pengusaha arang sudah menempati wilayah itu sejak sekitar 2004. Meski warga mengaku dipindahkan pemerintah, Alwi belum mendapatkan bukti kalau pengusaha arang yang tinggal di sana direlokasi pemerintah.
Kepala Dinas Cipta Karya Pertanahan dan Tata Ruang DKI Jakarta Heru Hermawanto menyampaikan bahwa kawasan itu seharusnya masuk ke dalam kategori hunian. Namun, seiring berjalannya waktu, permukiman padat itu terus berkembang menjadi kawasan industri perumahan.
”Awalnya memang bukan pabrik seperti itu. Awalnya memang hunian. Dari situ, hunian difungsikan ganda, hunian dan industri. Industri rumahan,” ujar Heru, Rabu (18/9).
Sudirman (59), salah satu pengusaha arang batok kelapa, mengatakan, mereka pada 2004 dipindahkan dari Budi Darma oleh Pemerintah Kecamatan Cilincing dan Satuan Polisi Pamong Praja. Meski demikian, untuk menempati lahan yang kini dihuni, mereka harus membayar ke pihak-pihak tertentu.
”Ini memang lahan pemda, tetapi tidak gratis. Waktu itu luas lahan 10 meter persegi, saya bayar Rp 2 juta. Bayar kepada penggarap lahan atau ke mereka yang pindahkan kami ke sini,” kata lelaki asal Madura, Jawa Timur, itu.