Adu Siasat Atasi Ponsel Pasar Gelap
Dari 45 juta telepon seluler yang beredar di Indonesia sepanjang tahun 2018 lalu, diperkirakan 9 juta unit di antaranya adalah ponsel ilegal yang dimasukkan ke Indonesia melalui jalur tak resmi.
JAKARTA, KOMPAS – Dari 45 juta telepon seluler yang beredar di Indonesia sepanjang tahun 2018 lalu, diperkirakan 9 juta unit di antaranya adalah ponsel ilegal yang dimasukkan ke Indonesia melalui jalur tak resmi. Akibat peredaran ponsel ilegal tersebut, negara dirugikan hingga Rp 2,475 triliun per tahun dan mengancam industri ponsel dalam negeri.
Peredaran ponsel ilegal merugikan negara karena pemerintah kehilangan potensi penerimaan dari pajak yang semestinya dikenakan pada ponsel impor. Pajak yang dipungut antara lain pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen dan pajak penghasilan (PPh) setidaknya 2,5 persen.
Jika terdapat 9 juta unit ponsel ilegal beredar sesuai dengan perkiraan Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), maka negara kehilangan potensi penerimaan Rp 2,475 triliun per tahun dengan asumsi harga rata-rata setiap ponsel Rp 2,2 juta. Tak hanya itu, peredaran ponsel ilegal juga dapat membuat industri ponsel dalam negeri gulung tikar.
Liputan investigasi harian Kompas sepanjang bulan Agustus 2019 mengungkap seluk beluk perdagangan ponsel ilegal di Indonesia, jalur-jalur penyelundupan ponsel, hingga bagaimana para pedagang menyiasati rencana kebijakan pemblokiran ponsel ilegal lewat deteksi nomor identitas telepon seluler internasional (IMEI).
Nomor IMEI adalah kode 15 digit angka yang merupakan identitas sebuah perangkat ponsel. Nomor IMEI biasanya tertera di bagian belakang kardus ponsel atau dapat dicek di bagian penyetelan telepon. Ponsel ilegal atau biasa disebut ponsel black market tidak memiliki nomor IMEI yang terdaftar.
Berdasarkan penelusuran di Jakarta, Bandung, dan Batam, ponsel ilegal tetap marak beredar di pasaran meskipun sudah ada penyelundup yang ditangkap polisi. Selain tidak memiliki nomor IMEI terdaftar, ciri lain dari ponsel ilegal adalah jenis garansi yang diberikan penjual bukan garansi resmi dan tidak adanya sertifikat postel.
Berbeda dengan ponsel resmi, ponsel hasil selundupan ini hanya bergaransi toko. Artinya, bila ada kerusakan selama masa garansi, jaminan perbaikan dan pergantian kepada konsumen hanya diberikan oleh toko atau distributor ponsel ilegal tersebut. Pada umumnya, distributor resmi merek ponsel tidak akan menerima garansi dari kerusakan ponsel ilegal.
Untuk membendung peredaran ponsel ilegal, pemerintah berencana memblokir ponsel yang tidak memiliki nomor IMEI terdaftar dalam Sibina atau sistem informasi basis database IMEI nasional. Sibina adalah sistem yang dikembangkan untuk mendeteksi IMEI dari ponsel aktif.
Baca Juga : Riset Litbang Kompas: Adu Strategi Merebut Pasar Besar Ponsel di Indonesia
Regulasi
Rencana pemblokiran ponsel dengan nomor IMEI tak terdaftar itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Pembatasan Akses Telekomunikasi Bergerak Seluler Pada Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi. Kebijakan ini diberlakukan enam bulan setelah regulasi terkait IMEI tersebut diterbitkan.
Regulasi itu dirumuskan lewat kerja sama Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Perdagangan. Peraturan tersebut awalnya direncanakan terbit pada 17 Agustus 2019, tetapi hingga kini belum juga dikeluarkan. Jika regulasi itu tak berlaku surut, ponsel dengan IMEI tak terdaftar yang dibeli konsumen usai kebijakan itu diberlakukan berpotensi untuk diblokir.
Baca Juga : "Metode" Teknisi Ponsel Mengakali Pemblokiran
Ironisnya, sejumlah cara untuk menyiasati kebijakan itu sudah bermunculan sebelum peraturan tersebut terbit. Hasil temuan Kompas, salah satu cara untuk menyiasati pemblokiran ponsel adalah mengganti nomor IMEI di ponsel ilegal dengan nomor IMEI yang terdapat di ponsel resmi rusak atau sudah tidak digunakan.
Dengan demikian, ponsel ilegal tersebut seolah dapat digunakan sebagai ponsel resmi dengan IMEI yang sudah tercatat pemerintah dalam Sibina. Legalitas IMEI dapat diperiksa di situs Kementerian Perindustrian dengan tautan https://imei.kemenperin.go.id.
Pertengahan Agustus lalu, Kompas mendapati sebuah ponsel ilegal dalam kondisi baru dan bersegel dengan IMEI yang tidak terdaftar di pusat perbelanjaan gawai di Kota Bandung, Jawa Barat. Dalam waktu dua jam, seorang teknisi ponsel berinisial K dapat mengganti nomor IMEI ponsel tersebut.
Di tengah riuh keramaian pengunjung di luar gerai, teknisi itu mengganti nomor IMEI ponsel ilegal dengan nomor IMEI lain yang terdapat pada ponsel resmi bekas yang sudah rusak atau biasa disebut "IMEI Zombie". Alhasil, nomor IMEI ponsel yang awalnya tak terdaftar tersebut berubah statusnya menjadi terdaftar di database Kemenperin. Untuk jasa mengganti IMEI tersebut, K mengenakan tarif Rp 150 ribu.
Praktik penggantian IMEI juga dapat dilakukan di pusat perbelanjaan ponsel di Jakarta yang lazim disebut "menembak" IMEI. Untuk mengubah IMEI, salah seorang teknisi berinisial B menggunakan sebuah perangkat lunak dan mengenakan tarif minimal Rp 150 ribu, tergantung tingkat kesulitan.
Jual beli IMEI
Selain menggunakan “IMEI Zombie”, para pedagang maupun importir ponsel ilegal memiliki cara lain. Mantan pebisnis ponsel dan telekonomunikasi, Sutikno Teguh, mengungkapkan, pedagang ponsel ilegal juga berupaya menyiasati kebijakan dari pemerintah dengan cara membeli IMEI terdaftar yang sudah dipakai di ponsel resmi dalam kondisi baru.
Dari informasi yang diperoleh Teguh, jual beli IMEI terdaftar sudah terjadi sebelum kebijakan pengendalian ponsel ilegal diterbitkan pemerintah. Pada awal Agustus lalu, sebanyak 3.000 nomor IMEI yang dijual dengan harga Rp 50.000 per nomor IMEI. Dalam waktu singkat, IMEI yang dijual tersebut ludes. Nomor IMEI itu dipakai pada ponsel resmi yang baru diimpor secara resmi.
“Jadi mereka membeli nomor-nomor IMEI yang sudah tercatat di pemerintah. Lalu memasangnya di ponsel ilegal mereka, sehingga seakan-akan ponselnya resmi,” ujar Teguh, saat ditemui pertengahan Agustus silam.
Mereka membeli nomor-nomor IMEI yang sudah tercatat di pemerintah. Lalu memasangnya di ponsel ilegal mereka, sehingga seakan-akan ponselnya resmi
Selain itu, kata Teguh, ponsel ilegal yang sudah diblokir pun tetap dapat digunakan oleh konsumen dengan memakai jaringan Wifi jika pemblokiran pemakaian hanya diterapkan pada ponsel yang menggunakan kartu SIM untuk beroperasi.
Hansen Lie, Direktur PT Maju Express Indonesia, perusahaan pemegang merek ponsel Mito, menjelaskan, sebelum pabrikan membuat perangkat ponsel, pemegang merek harus terlebih dahulu membeli IMEI dari GSMA (Global System for Mobile Communications Association), asosiasi operator telekomunikasi seluruh dunia. Adapun harganya sekitar 200 dollar AS untuk 1 juta nomor IMEI.
Dengan harga kurs dollar saat ini sekitar Rp 14.200, maka harga satu buah nomor IMEI setara dengan Rp 2,84. Padahal, sebagai gambaran, nomor IMEI itu dijual kepada penyelundup dan pedagang ponsel seharga Rp 50.000 per nomor IMEI atau hampir lebih dari 10.000 kali lipat!
Setelah nomor IMEI diperoleh dari GSMA, pemegang merek lalu mendaftarkan tanda pendaftaran produk (TPP) ponsel beserta nomor IMEI-nya di Kementerian Perindustrian. Berikutnya, nomor IMEI yang sudah terdaftar itu akan dimasukkan secara sistem ke setiap ponsel yang dibuat di pabrik. Alhasil, setiap ponsel resmi sudah memiliki IMEI yang terdaftar sebelum dilepas ke pasaran.
Baca Juga : Tips untuk Mengenali Ponsel "Black Market"
Teguh mengatakan, praktik ‘IMEI Zombie’ dan jual beli IMEI itu dilakukan para penyelundup dan pedagang ponsel ilegal agar barang dagangannya tetap laku dijual. Sebab, setelah Sibina dioperasikan, maka ponsel-ponsel ilegal yang IMEI-nya tidak terdaftar tidak dapat digunakan.
Regulasi terkait IMEI tersebut dipastikan dapat berdampak pada peredaran ponsel ilegal di pasaran. Bahkan, penjualan ponsel ilegal sudah merosot sejak rencana penerbitan regulasi IMEI tersebut ramai diberitakan media.
Salah seorang pedagang ponsel ilegal yang memiliki toko di ITC Roxy Mas, Jakarta berinisial N mengaku bahwa barang dagangannya tidak laku dijual karena tidak memiliki IMEI terdaftar di pemerintah. Dalam sebulan, ia bersama dengan temannya bisa menjual setidaknya 800.000 unit ponsel fitur dan 200.000 unit ponsel pintar ilegal.
Penegakan hukum
Terkait adanya celah dalam rencana pemberlakuan kebijakan IMEI, menurut Teguh, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif jika pemerintah benar-benar berkomitmen memberantas peredaran ponsel ilegal.
Pelaksana Tugas Ketua Presidium Asosiasi Industri Teknologi dan Informasi Indonesia (AITI) Setyo Handoyo Singgih menilai, upaya pemerintah untuk memberantas peredaran ponsel ilegal melalui kebijakan pemblokiran ponsel dengan IMEI yang tidak terdaftar perlu dibarengi kebijakan lain, terutama penegakan hukum yang kuat. "Paling tidak ini titik awal yang bagus untuk membatasi barang black market," tutur Setyo.
Setyo Handoyo menambahkan, ada dua pihak yang mengetahui basis data IMEI yang telah terdaftar. Pertama, adalah importir dan distributor resmi terdaftar di Kementerian Perdagangan yang mengantongi TPP dari Kementerian Perindustrian. Kedua, pegawai Kemenperin yang memasukkan registrasi IMEI itu ke dalam sistem.
Wakil Ketua APSI Syaiful Hayat mengakui, APSI sudah mendorong sejak tiga tahun lalu agar kebijakan pemblokiran ponsel dengan IMEI yang tidak terdaftar itu segera diberlakukan pemerintah sebagai salah satu cara mengendalikan ponsel ilegal.
Saat ditanya terkait IMEI ponsel yang dapat diubah, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui, Kemenkominfo masih terus berkoordinasi dengan Kemenperin untuk menyempurnakan Sibina.“Lead-nya ada di Kementerian Perindustrian. Tanya saja kesana,” kata Rudiantara.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan, pemerintah telah mengadakan sejumlah pertemuan untuk membahas tindak lanjut sekaligus antisipasi dari dampak kebijakan IMEI. Penguatan sistem menjadi kunci untuk mencegah adanya pihak yang menyiasati pengendalian peredaran ponsel ilegal.
“Kami membangun sistem kan bertahap. Paling tidak kebijakan ini sebagian besar bisa mengurangi produk-produk black market di pasaran,” kata Harjanto.
Harjanto menjamin sistem yang dibangun pemerintah mampu mengantisipasi kebocoran IMEI yang telah terdaftar di database Sibina. Sebab, ada sistem pengunci untuk mengamankan Sibina agar tak bisa diakses sembarangan. Dengan demikian, hanya orang yang betul-betul memiliki akses yang bisa membuka Sibina. “Tentunya kerahasiaan data IMEI itu kami betul-betul jaga,” ucap Harjanto.