Suatu Hari di Kampung Pasir
Sebelum subuh tiba, hari di Kampung Pasir sudah dimulai. Suara jes-jes-jes dari mesin jahit penjahit goni plastik terdengar lebih awal daripada suara kokok ayam jantan.
Sebelum subuh tiba, hari di Kampung Pasir sudah dimulai. Suara jes-jes-jes dari mesin jahit penjahit goni plastik terdengar lebih awal daripada suara kokok ayam jantan. Suara mesin jahit itu terdengar dari beberapa rumah seakan berlomba untuk mengawali pagi. Setelahnya, barulah kokok ayam jantan terdengar bersahutan memanggil matahari agar segera terbit dan membagikan sinarnya.
Derit pintu dan jendela serta alat-alat masak yang beradu di dapur adalah suara-suara yang terdengar selanjutnya. Mesin-mesin air menyala, keran-keran dibuka, lalu air mengalir, mengisi bak mandi atau ember-ember plastik di setiap rumah. Kanak-kanak merengek karena dibangunkan untuk bersekolah. Ibu-ibu berdaster, ayah-ayah bersarung, dan anak-anak berpiyama di Kampung Pasir mulai memainkan perannya.
Lalu, di mana gerangan tokoh utama cerita ini? Mari kita melangkah ke mulut gang Kampung Pasir. Tumpukan pasir, kerikil, dan batu sungai membukit di sini. Truk-truk besar berbaris rapi di sebelah bukit-bukit kecil itu. Dengarkan baik-baik, suara dengkur halus dari pondok reyot di depan barisan truk. Bukan hanya satu, melainkan suara dengkur dari beberapa orang. Ya, tokoh utama cerita ini menghabiskan malamnya dalam pondok itu bersama anak-anaknya.
Seekor anjing menyalak karena sebuah sepeda motor nyaris menyenggolnya di jalan raya tepat di depan mulut gang. Tiang pondok berderak-derak. Suara umpatan terdengar lebih ngeri daripada salak anjing. Seorang lelaki keluar dari pondok dan merentangkan tangan lebar-lebar. Sarungnya melorot ke tanah.
Buru-buru ia memungutnya. ”Anjing sial!” maki lelaki itu, tokoh utama cerita ini.
”Siapa? Siapa yang sial?” tanya seorang pemuda keluar dari pondok dengan rambut acak-acakan. Dialah yang bertanggung jawab atas botol-botol minuman kosong di kolong pondok. Pemabuk, pencuri, dan penipu, semua julukan itu melekat padanya. Kelakuan si sulung memang sudah mengkhawatirkan sejak masih duduk di sekolah dasar.
”Anjing,” jawab tokoh utama cerita ini. ”Minta rokokmu sebatang,” katanya pada si sulung. Putranya merogoh saku kausnya. Sebentar kemudian, mukanya berubah gusar. ”Sial! Di mana kutaruh semalam?” Si sulung lalu menguncang-guncang tubuh si bungsu yang masih bergulung dalam sarung. ”Hei, pemalas! Bangun kau! Di mana kau taruh sisa rokok kita?”
Tubuh dalam sarung bergerak-gerak. Seraut wajah kusut muncul dari balik sarung dekil. Pemuda itu mengucek-ngucek matanya yang merah. ”Kau bilang apa? Rokok? Sudah habis,” ujar pemuda itu lalu kembali menarik sarung.
”Dasar tukang tidur!” umpat si sulung. ”Bangun kau!” Si sulung kembali mengguncang-guncang tubuh adiknya, tetapi tubuh dalam sarung bergeming.
”Sudahlah!” hardik tokoh utama cerita ini. ”Pagi-pagi jangan bikin ribut!” Tokoh utama cerita ini berjalan menjauhi pondok. Ia berdiri di depan gundukan pasir dan melamun. Sudah seminggu, pasir itu berada di sini. Belum ada permintaan. Padahal, biasanya hampir setiap hari, ada saja yang membeli pasir. Paling sepi, setengah truk dalam sehari. Lumayan, paling tidak dapur bisa berasap.
”Kerikil dan batu juga masih membukit,” gumamnya saat melihat gundukan kerikil dan batu sungai yang mengapit gundukan pasir yang menjulang. Sebulan yang lalu, tokoh utama cerita ini mendapatkan pesaing. Bang Juhar, juragan tanah dari kampung sebelah, tiba-tiba membuka usaha serupa. Warga kampung di sekitarnya beralih membeli ke sana. Bahkan, warga Kampung Pasir pun ada yang membeli ke sana. Ia dan anak-anaknya mulai kehilangan pelanggan.
”Pak, aku pulang dulu.” Suara si sulung membuyarkan lamunan tokoh utama cerita ini.
Tokoh utama cerita ini mengangguk lesu. Ia tahu, tujuan si sulung pulang. Putra sulungnya itu memang lebih bertanggung jawab ketimbang si bungsu yang pemalas. Rumah mereka tepat di seberang. Sejak istrinya meninggal bertahun-tahun yang lalu, si sulung mengambil alih pekerjaan rumah selain membantunya mengurus pasir, kerikil, dan batu. Memasak, membereskan seisi rumah, semuanya hampir dilakukan si sulung sendirian. Cuma satu kekurangan pemuda bertubuh cekung itu: peminum kelas berat. Namun, tokoh utama cerita ini memilih menyerah untuk urusan yang satu itu. “Sudah nasib,” ucapnya tegar. Tokoh utama cerita ini berdiri tegak menantang cahaya matahari, seperti petarung kehidupan sejati.
Bunyi ban yang beradu dengan kerikil, klakson, deru mesin, dan langkah kaki terdengar dari jalan raya adalah irama yang melatari adegan selanjutnya. Si bungsu menggeliat dan keluar dari pondok. Sekilas tampak seperti anak kucing yang baru lahir. Ia mengeluh lapar. ”Pak, Abang sudah datang?”
Tokoh utama cerita ini menyahut berang, ”Cuma makan saja yang kau pikirkan! Pemalas!” Ia melemparkan sekop ke pasir. ”Pulang dulu sana! Cuci mukamu dan mandi. Jangan sampai kau dikerubungi lalat!” Tokoh utama cerita ini tidak berlebihan dengan kata-katanya. Si bungsu memang belum mandi. Tampangnya sekusut kain yang belum disetrika. Rupanya, ia merasa malu melihat anaknya.
”Tanggung! Tunggu Abang datang. Sarapan dulu baru mandi,” kata si bungsu tak acuh. Sebentar lagi, para penjahit goni akan lewat mengambil dan menjunjung bal-bal goni untuk dijahit. Pemuda tambun itu tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengamati lenggak-lenggok mereka. Ia tak peduli bila disoraki penjahit goni yang sudah berstatus istri orang. Masih ada seorang penjahit goni yang berstatus gadis. Romida. Itu sudah lebih dari cukup. Kerlingan gadis itu cukup untuk membuatnya bermimpi indah di malam hari.
Tokoh utama cerita ini cuma bisa geleng-geleng kepala. ”Terserah kau sajalah!” serunya. Ia berjalan menuju rumah, meninggalkan si bungsu sendirian.
Tujuannya tak lain mandi pagi lalu sarapan. Tokoh utama cerita ini tak pernah mandi di atas jam delapan pagi. Habis sarapan, ia lalu kembali ke pondok menunggu pembeli pasar, kerikil, atau batu sungai.
Si bungsu menguap lebar-lebar. Ia menyambar botol air yang isinya tinggal sepertiga dan menumpahkan sisa air ke mukanya lalu menggosok-gosoknya dengan tangan. Sisa-sisa air di telapak tangan, diusapkannya ke rambut agar terlihat seperti baru mandi. Ia duduk di tepi pondok dan membuka mata lebar-lebar. Itu dia. Lenggak-lenggok Romida terlihat di tepi jalan raya. Kulit gadis itu kuning cemerlang ditimpa cahaya matahari. Kaus Romida berwarna oranye, tampak serasi dengan warna kulitnya. Romida memang gadis tercantik di Kampung Pasir dan sekitarnya.
Beberapa langkah sebelum Romida melintasi pondok, si bungsu semakin salah tingkah. Degup jantungnya lebih keras daripada bunyi klakson truk angkut pasir. Titik-titik peluh bermunculan di dahinya seperti benih. ”Tenang,” bisiknya pada diri sendiri. Ia menahan napas sebentar lalu mengembuskannya sekali. ”Dek Romida, mau ke mana?” sapanya dengan senyum selebar daun pisang.
Gadis yang disapa melihat ke arahnya dengan tatapan jemu. ”Ke rumah Mak Rondang.”
”Mau apa?” kejar si bungsu lagi.
”Ambil goni. Tiap hari juga begitu,” kata Romida datar.
”Perlu Abang temani?” Si bungsu ambil ancang-ancang turun dari pondok, bersikap bagai seorang ksatria. Ia berharap jurusnya itu manjur.
”Bisa sendiri,” jawab Romida ketus.
Si bungsu mati langkah. Hati gadis pujaan ternyata sekeras batu. Saat Romida melenggang pergi, si bungsu hanya bisa mengamati lenggak-lenggok sang gadis dengan raut memelas. Ibu-ibu penjahit goni yang berjalan di belakang Romida menertawakannya. ”Makanya, mandi dulu sana! Cuci muka tapi bajunya jorok!” Mereka lantas tertawa keras-keras.
Wajah si bungsu merah padam. Tanpa menunggu lama, ia melangkah lebar-lebar menuju rumah. Saat pintu rumah berdebam, suara decit rem truk di jalan raya terdengar melengking. ”Sial!” sopir truk memaki mobil yang tiba-tiba berhenti di depannya. Si bungsu kembali membuka pintu rumah, melongok sebentar, lalu menutupnya kembali. Pagi kembali diiringi bunyi ban yang beradu dengan kerikil, klakson, deru mesin, dan langkah kaki terdengar dari jalan raya.
Ketika siang tiba, matahari garang membakar kepala di Kampung Pasir. Si sulung sedang menyekop pasir ke dalam truk. Kulitnya legam, sekujur tubuhnya berpeluh. Tokoh utama cerita ini juga melakukan hal yang sama. Pasir-pasir berpindah dengan cepat dari gundukan ke dalam bak truk. Si bungsu tak terlihat batang hidungnya.
”Ah, syukurlah Bang Turnip datang memesan pasir. Kalau tidak, makan apa kita besok?” kata si sulung kepada ayahnya.
”Soal makan atau tak makan, mana bisa kau pastikan?” balas tokoh utama cerita ini tak setuju. ”Kalau sudah rezeki, tak ada cerita. Ada saja jalannya.” Tokoh utama cerita ini mengelap peluh di dahinya. Tubuhnya tak selegam si sulung dan lebih kekar. Pundaknya lebar. Semasa muda, ia disukai banyak gadis. Karena itu, warga kampung heran karena ia masih betah menjadi duda.
”Betul itu, Pak. Rezekinya datang lewat Bang Turnip, kan?” canda si sulung.
”Kau memang pintar berdebat. Lekaslah! Kalau Bang Turnip sampai mengomel, bisa sakit kupingku dibuatnya.”
Mereka berdua lalu berlomba. Pasir mulai menggunung di dalam bak. Saat gunungan itu mulai melebihi batas atas bak, tokoh utama cerita ini berseru, ”Setop!”
Si sulung menyeka peluh di dahinya. ”Syukurlah, rasanya tak penuh-penuh dari tadi.”
”Itu karena kau terus melihat ke bak,” tukas tokoh utama cerita ini.
Si sulung garuk-garuk kepala mendengar kata-kata bapaknya. Saat melihat si bungsu berjalan mendekat dari arah rumah, ia berkata, ”Sudah datang dia. Aku pulang dulu, Pak. Biar kusiapkan makan siang kita.”
”Ya, pergilah. Biar kami yang mengantarkan pasir.” Tokoh utama cerita ini lalu naik ke truk dan menyalakan mesin. Suara mesin truk meraung. Si bungsu lalu bergabung, duduk di sampingnya. Beberapa saat kemudian, truk bergerak pelan, berbelok, dan merayap ke dalam gang. Rumah-rumah bedeng rapat dan padat penghuni berjejer di di jalan sempit yang mereka lalui. Tokoh utama cerita ini beberapa kali harus membunyikan klakson agar anak-anak yang ramai bermain menyingkir dari jalan. Setelah truk lewat, anak-anak itu malah mengekor dari belakang truk. Setelah melintasi sebidang kebun jagung yang baru saja dipanen, truk mulai melambat lalu berhenti di depan rumah Bang Turnip. Rumah itu terletak persis di sebelah rumah Mak Rondang, sang juragan goni plastik.
”Cepat juga kalian datang,” sambut Bang Turnip. Tumpukan batubata sudah menjulang di halamannya. Ia dikenal sebagai orang paling berada di Kampung Pasir. Sebagian rumah-rumah bedeng di gang ini adalah miliknya. Rumah-rumah bedeng miliknya juga tersebar di kampung-kampung lain. Selain memperoleh harta dari warisan, Bang Turnip juga dikenal sebagai rentenir. Tak heran jika hartanya terus berlipat dari waktu ke waktu. Meski sudah berumur, juragan bedeng itu minta dipanggil abang oleh siapa saja.
”Biasalah, Bang. Namanya cari makan,” balas tokoh utama cerita ini lalu melihat-lihat lokasi yang pas untuk menumpahkan pasir. Sementara itu, si bungsu meloncat turun, bersiap memberikan aba-aba kepada bapaknya.
”Di sini saja,” seru Bang Turnip menunjuk di sebelah tumpukan batubata.
Tokoh utama cerita ini mengacungkan jempol dan mulai memaju-mundurkan truk sampai posisinya pas. Si bungsu berseru-seru, meneriakkan aba-aba. Tak lama kemudian, bak truk perlahan-lahan terangkat sampai gundukan pasir tercurah ke tanah. Si bungsu membantu menghabiskan sisa pasir dalam bak dengan menggunakan sekop.
”Habis!” seru si bungsu. Bak truk perlahan-lahan turun ke posisi semula, lalu bergerak maju lalu parkir di sisi jalan gang.
”Berapa?” tanya Bang Turnip.
”Seperti biasalah, Bang,” jawab tokoh utama cerita ini.
Bang Turnip berbalik dan masuk ke dalam rumah. Sebentar kemudian, ia kembali dan menyelipkan uang ke tangan tokoh utama cerita ini. ”Terima kasih. Nanti kalau pasirnya kurang, kuberi tahu lagi.”
”Bang Turnip mau merombak rumah ini habis-habisan?” tanya tokoh utama cerita ini heran sambil mengamati rumah paling besar dan paling bagus di Kampung Pasir itu.
Bang Turnip tertawa. ”Bukan, aku bukannya mau merombak. Kau lihat tanah kosong itu?” katanya sambil menunjuk tanah di sebelah rumahnya. ”Aku mau bangun rumah di situ untuk si Delimar. Mau kukawinkan dia tiga bulan lagi.”
”Bah, akhirnya si bungsu kawin juga. Selamat!” Tokoh utama cerita ini menyalami Bang Turnip. ”Kau jangan bengong saja. Ayo, kasih selamat!” suruh tokoh utama cerita ini pada si bungsu. Si bungsu melangkah maju lalu menyalami Bang Turnip.
”Siapa gadis beruntung itu, Bang?” tanya tokoh utama cerita ini.
”Kau tahulah, gadis tercantik di Kampung Pasir. Romida. Untungnya, dia mau sama anakku.” Bang Turnip tergelak.
Tokoh utama cerita ini ikut tergelak. Persis di sebelahnya, si bungsu mematung seperti batu.
______________________
Fitri Manalu, Tinggal di Medan; Menulis Kumpulan Cerpen Sebut Aku Iblis (2015) dan Novel Minaudiere (2017). Cerpennya termuat di sejumlah antologi bersama, media daring, dan media cetak.
TD, 26 Mei 2019