Aiko Kurasawa Ungkap Kisah Rahasia Korban Perang Asia
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesianis asal Jepang, Prof Aiko Kurasawa, menerbitkan karya terbarunya berjudul Sisi Gelap Perang Asia: Problem Repatriasi dan Pampasan Perang Jepang Berdasarkan Arsip yang Belum Pernah Terungkap. Buku ini ingin menyingkap banyak isu dan peristiwa antara Indonesia dan Jepang melalui studi arsip dan wawancara saksi sejarah yang hingga kini masih menyisakan banyak pertanyaan.
Buku yang sebagian di antaranya disarikan dari disertasi doktoral keduanya ini diluncurkan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Jumat (20/9/2019), atas kerja sama antara Penerbit Buku Kompas (PBK) dengan LIPI. Hadir sebagai pembicara dalam peluncuran dan diskusi buku, Prof Asvi Warman Adam (peneliti sejarah politik di LIPI), Rushdy Hoesein (sejarawan), dan Meta Sekar Puji Astuti (sejarawan).
Dengan mengambil periode 1945-1957, buku Sisi Gelap Perang Asia ini ingin menyingkap banyak isu dan peristiwa antara Indonesia dan Jepang melalui studi arsip dan wawancara saksi sejarah yang hingga kini masih menyisakan banyak pertanyaan. Inilah ciri khas buku ini, yaitu menyingkap hal-hal yang hingga sekarang belum diekspose oleh para sejarawan.
Di sini, Kurasawa mencoba menawarkan suatu terminologi baru mengenai “korban perang” yang bukan hanya harta dan nyawa, tetapi juga aspek relasi, status kewarganegaraan, dan masa depan orang-orang yang terdampak. Oleh karena itu, yang diangkat Kurasawa dalam bukunya adalah kisah-kisah orang kecil yang nasibnya dipermainkan oleh perang.
Kurasawa mencoba menawarkan suatu terminologi baru mengenai “korban perang” yang bukan hanya harta dan nyawa, tetapi juga aspek relasi, status kewarganegaraan, dan masa depan orang-orang yang terdampak.
Oleh karena itulah, masalah-masalah yang diangkat dalam buku ini tentang kasus-kasus orang Indonesia yang telantar di luar negeri. Beberapa kisah yang dipaparkan antara lain mahasiswa Indonesia yang tertahan di Jepang karena perang dan terpaksa tinggal di sana sampai kemerdekaan RI diakui penuh oleh dunia internasional. Ada juga tentang anak-anak hasil kawin campur perempuan Indonesia, serta laki-laki Jepang yang tidak diizinkan tinggal di Indonesia karena dianggap berkewarganegaraan Jepang. Selain itu juga tentang perempuan Indonesia yang menikah dengan prajurit Jepang kemudian dibawa ke Jepang tetapi kemudian cerai, juga repatriasi romusha yang dibawa keluar Jawa dan ditinggalkan di tempat kerja.
Menurut Kurasawa, mereka boleh dikatakan sebagai “korban perang” juga meskipun tidak terancam dan kehilangan nyawa atau mengalami penyitaan kekayaan. Perang bukan hanya menimbulkan kekejaman fisik, kerugian jiwa, dan harta secara keseluruhan, tetapi juga ada berbagai cerita kesulitan, kerepotan, dan kesedihan yang dialami secara individu.
Dalam rilis Penerbit Buku Kompas disebutkan bahwa dengan bukunya itu Kurasawa ingin menyampaikan kepada pembaca bagaimana caranya orang kecil yang kehidupannya diganggu ini akhirnya berhasil mencari solusi dan mendapatkan kembali keselamatan atau kebahagiaannya untuk memulai kehidupan baru di zaman pascaperang.
Kacamata rakyat kecil
“Ciri khas buku ini adalah mengupas sejarah hubungan antara Jepang dan Indonesia bukan dari perspektif mengenai hal-hal di tingkat nasional. Perspektif itu biasanya berpusat pada karangan para elite belaka. Akan tetapi, buku ini justru memberikan analisis dan memusatkan diri dengan memberi perhatian pada rakyat kecil,” kata Ken’ichi Gotō, Profesor Emeritus Universitas Waseda, dalam Kata Pengantar buku terbaru karya Aiko Kurasawa.
Kurasawa mengatakan, buku Sisi Gelap Perang Asia ini merupakan bagian dari disertasinya doktoral keduanya di Universitas Tokyo tahun 2011. Gelar doktor pertamanya didapat dari Cornell University, tahun 1987 yang disertasinya menghasilkan buku berjudul Mobilisasi dan Kontrol:Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (Grasindo, 1993). Tahun 2015, buku yang sama diterbitkan lagi dengan judul Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (Komunitas Bambu, 2015).