Deteksi Dini Demensia Sebelum Perubahan Perilaku Muncul
Dua dari tiga orang di dunia menganggap pikun pada lansia adalah gejala normal dari proses penuaan. Padahal, pikun merupakan salah satu gejala dari demensia alzheimer
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dua dari tiga orang di dunia menganggap pikun pada lansia adalah gejala normal dari proses penuaan. Padahal, pikun merupakan salah satu gejala dari demensia alzheimer. Jika tidak segera ditangani, kondisi orang dengan demensia bisa memburuk sehingga kualitas hidup pasien maupun orang yang ada disekitarnya bisa menurun.
Dokter spesialis penyakit saraf dari Rumah Sakit Atma Jaya Jakarta, Yuda Turana menuturkan, seseorang dengan demensia alzheimer akan mengalami beberapa fase perjalanan penyakit, mulai dari awal, menengah, dan akhir. Pada fase awal, biasanya gangguan yang dialami ada pada fungsi kognitif dan berkembang pada gangguan perilaku. Gangguan perilaku bisa terjadi setelah 4-5 tahun penyakit dialami.
“Gangguan kognitif itu bisa ditandai dari kemampuan memori yang menurun sehingga bisa menjadi pikun. Jika sudah pada tahap perubahan perilaku, orang dengan demensia bisa memiliki emosi yang tidak stabil, mudah marah tanpa sebab, atau yang paling buruk sampai halusinasi dan delusi,” ujarnya seusai seminar bertajuk “Let’s Talk about Dementia” di Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka memeringati bulan Alzheimer sedunia yang ditetapkan setiap September. Bulan alzheimer sedunia diperingati secara rutin sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini.
Yuda menambahkan, deteksi dini pada orang dengan demensia menjadi sangat penting. Dengan deteksi dini, intervensi lebih lanjut juga bisa dilakukan dengan tepat. Untuk itulah, pikun yang dialami oleh orang dengan lanjut usia jangan dimaklumi sebagai kondisi yang normal.
Penyakit demensia merupakan penyakit yang bisa diprediksi fase perjalanan penyakitnya sehingga masa depan dari orang dengan demensia bisa ditentukan sejak awal. Prediksi ini diperlukan terutama untuk hal yang menyangkut aspek legal dan warisan keluarga. Apabila demensia baru diketahui saat perubahan perilaku terjadi, kepentingan tersebut sulit dilakukan.
“Pemberian obat pun menjadi lebih mudah dengan deteksi dini. Obat memang tidak bisa menghentikan perjalanan penyakit tetapi bisa memperlambat progresivitas penyakit. Dengan begitu, kualitas hidup yang dimiliki pasien bisa lebih lama daripada yang datang sudah dengan gangguan perilaku,” ucapnya.
Demensia alzheimer merupakan kondisi ketika penurunan fungsi kognitif otak terjadi secara progresif dan mengganggu fungsi sosial pekerjaan seseorang. Jumlah penderita demensia meningkat setiap tahun. Alzheimer’s Disease International memperkirakan, orang dengan demensia di dunia berjumlah 50 juta orang. Sebanyak 1,2 juta orang berada di Indonesia dan diprediksi meningkat meniad 4 juta orang pada 2050.
Pendiri Alzheimer Indonesia (Alzi) yang juga Direktur Wilayah Asia-Pasific Alzheimer’s Disease International Kusumadewi Suharya menuturkan, hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah kompetensi dari pendamping atau caregiver dari orang dengan demensia. Untuk menangani orang dengan demensia butuh keterampilan khusus, terutama bagi keluarga pendamping.
Menjalani hidup sebagai caregiver atau pendamping bagi orang dengan demensia tidaklah mudah. Tidak jarang, berbagai keluhan yang dilontarkan orang dengan demensia cukup rumit, mulai dari penyakit fisik, kesulitan tidur, halusinasi, hingga masalah mental dan emosional.
“Karena itu, support group (kelompok pendukung) bagi caregiver punya peran yang besar. Apabila seseorang berperan menjadi caregiver bagi orang dengan demensia perlu segera menjadi komunitas. Selain sebagai media untuk menambah pengetahuan juga sebagai pendukung bahwa dia tidak sendiri menjalani hidup sebagai caregiver,” ucapnya.