Hardjo Kardi (85) merupakan generasi keempat penerus Saminisme. Ia tidak pernah sekolah, tetapi punya keahlian langka, bersikap inklusif atau terbuka, dan sebagai sesepuh Sedulur Sikep (Wong Samin) Dusun Jepang.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·6 menit baca
Sekitar 100 keluarga di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, Jawa Timur, hingga kini masih mengamini Saminisme. Kelestarian ajaran yang terkadang disebut Agama Adam ini mungkin terkait dengan keberadaan Hardjo Kardi sebagai sesepuh Sedulur Sikep atau Wong Samin setempat.
Dusun Jepang (dibaca Njepang) yang dikelilingi hutan jati dalam pengelolaan Perum Perhutani ini berada di ujung barat daya Bojonegoro. Di bagian barat dusun adalah Bengawan Solo yang di seberangnya adalah Blora (Jawa Tengah). Dusun terletak 5 km dari Jalan Raya Ngawi-Cepu-Bojonegoro. Meski masuk wilayah Bojonegoro, posisinya lebih dekat ke Ngawi. Untuk itu, wajar jika warga mencari kebutuhan hidup ke Ngawi (16 kilometer) daripada ke Bojonegoro (68 km), apalagi Surabaya, ibu kota Jawa Timur (198 km).
Hardjo Kardi lahir pada 1934 di dusun dalam wilayah Desa Margomulyo itu. Sosok yang ternyata mengakui masih buta huruf Latin ini merupakan anak ketiga sekaligus putra satu-satunya dari Kamidin (Ki Surokarto Kamidin) dan Paniyah. Kamidin berpulang pada 1986, tetapi sempat menurunkan wasiat kepada Hardjo Kardi untuk memelihara dan meneruskan Saminisme.
Saminisme merupakan ajaran yang bersumber dari gerakan kultural rakyat Blora, Jawa Tengah, menjelang abad ke-20. Gerakan ini dipimpin oleh Kyai Samin Anom (Raden Kohar) dengan cara menolak membayar pajak kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kyai Samin Anom alias Ki Samin Surosentiko ditangkap pada 1907. Ia dibuang ke Digul, Papua, lalu ke Sawahlunto, Sumatera Barat, dan wafat di sana pada 1914. Perjuangannya diteruskan menantunya, yakni Suro Kidin, dibantu anak angkat, Kamidin.
Dengan demikian, Hardjo Kardi merupakan generasi keempat penerus Saminisme. Ia adalah guru, bapak, sekaligus sesepuh Wong Samin Dusun Jepang dalam berbagai hal, terutama terkait dengan falsafah kehidupan warisan Ki Samin Surosentiko itu. Sejak kecil, ia mematuhi orangtua dan menjalankan pedoman hidup seperti yang diajarkan, antara lain jujur, sabar, trokal (berusaha), narima ing pandum (ikhlas menerima), dan sumeleh. Selain itu, mematuhi larangan srei, drengki (dengki), dahwen, kemeren (iri), dan semena-mena terhadap sesama.
Terbuka
Meski teguh menjalankan Saminisme, Hardjo Kardi bersikap inklusif, bahkan terbuka. Sikap ini jelas diwariskan ayahanda yang pada 1963 mendapatkan kepastian dari Soekarno bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Sejak saat itu, Wong Samin Dusun Jepang menganggap tidak perlu membangkang atau bersedia membayar pajak. Bahkan, mereka menerima dan terlibat dalam sejumlah program tawaran pemerintah.
Misalnya, mereka tidak menolak pendidikan formal. Pada 1970, Hardjo Kardi merintis pendirian sekolah dasar di Dusun Jepang. Alasannya sederhana, mendukung pandangan bahwa pembangunan negeri setelah kemerdekaan memerlukan orang-orang pintar. Sekolah adalah jawabannya. Selain itu, penyelenggaraan sekolah bukan oleh penjajah lagi, melainkan bangsa sendiri (pemerintah).
”Anak-anak saya semua bersekolah,” ujar Hardjo Kardi dalam bahasa Jawa saat perbincangan di sela pelaksanaan Festival Samin, Rabu (11/9/2019), di Dusun Jepang. Anaknya yang bungsu, Bambang Sutrisno, merupakan pegawai Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Cucunya ada yang menjadi anggota Polri dan TNI. Namun, Hardjo Kardi tetap bertani, beternak, dan memenuhi amanat menjaga tradisi.
Sedulur Sikep Dusun Jepang juga tidak menolak berbagai keyakinan. Di sini berdiri Masjid Al Huda yang dibangun pada 1988. Sebagian dana pembangunan berasal dari sumbangan Megawati Soekarputri atas kematian Kamidin. Hardjo Kardi memakai sumbangan tadi untuk membeli tanah guna pendirian surau. Ia juga mendatangi Perhutani untuk kayu-kayu jati sebagai pilar dan kebutuhan pembangunan tempat ibadah itu. Material lainnya disumbang oleh keluarga dan warga. Mereka membangun dengan semangat gotong royong dalam kerukunan dan kebersamaan.
”Semua agama mengarahkan umat ke jalan yang baik, bagaimana penerapannya,” kata Hardjo Kardi.
Bambang Sutrisno mengatakan, ayahanda tidak pernah mewajibkan anak-anak untuk menganut Saminisme. ”Mbah Hardjo sebagai orangtua meneruskan ajaran melalui nasihat dan contoh laku. Saya kemudian secara ikhlas mengamini ajaran Ki Samin Surosentiko yang diwariskan melalui Mbah Harjo,” ujar pegawai Kecamatan Margomulyo sekaligus Ketua Umum Panitia Pelaksana Festival Samin 2019 ini.
Kelugasan dalam berbicara tampak jelas dalam langgam turut Hardjo Kardi dan Wong Samin. Kerap jawaban yang diberikan singkat, tetapi menembus inti pertanyaan. Pola egaliter (kesamarataan) atau tidak membeda-bedakan sesama juga dipegang teguh. Hardjo Kardi sering didatangi pejabat teras kabupaten, provinsi, dan pusat. Namun, ia tak pernah berbeda sikap saat menerima pejabat atau masyarakat. Semuanya diterima, disapa, diajak bicara meski saat ini pendengarannya menurun.
Dalam festival, Hardjo Kardi juga terbuka untuk memperlihatkan beberapa tradisi Wong Samin, bahkan yang amat sakral. Misalnya pemeragaan perkawinan adat yang dilakoni oleh Bambang Sutrisno dan istri, Noveri Ekawati. Pemeragaan itu untuk pertama kalinya ditonton oleh publik yang notabene bukan warga Dusun Jepang.
Pemeragaan dengan sejumlah kesepakatan mengingat perkawinan menempati posisi amat sakral dalam kehidupan mereka, antara lain hanya diperankan oleh yang sudah menikah dan tidak boleh mengucapkan nama. Di dalam prosesi ada pengucapan rabi pisan kanggo saklawase (menikah sekali untuk selamanya) sehingga pantang diucapkan oleh yang belum menikah atau diucapkan lagi oleh pasangan. Inilah salah satu wujud sikap antiperceraian, antipoligami, antipoliandri dalam kehidupan berkeluarga Wong Samin.
”Sudah saatnya kalau orang lain ingin tahu,” kata Hardjo Kardi.
Terampil
Hardjo Kardi tak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun, ia memiliki sejumlah keterampilan yang amat langka. Seperangkat gamelan pelog slendro dan karawitan di Balai Budaya Masyarakat Samin Dusun Jepang merupakan karyanya. Ia juga mampu membuat keris, tombak, pedang, pusaka, memperbaiki alat-alat elektronik. Selain itu, membaca dan menulis Jawa kuno. ”Saya tidak sekolah, tetapi karena pengalaman,” ujarnya.
Hardjo Kardi juga teguh menjalankan prinsip kehidupan dalam pertanian. Petani harus selalu jujur, sabar, trokal, dan nrimo. Berusaha keras, cerdas, dan ikhlas agar hasil panen bisa mencukupi kebutuhan istri (suami), anak, dan cucu. Untuk itu, jika menghadapi kendala atau kegagalan, petani tidak boleh pantang menyerah dan harus selalu belajar.
Di Dusun Jepang, Hardjo Kardi dikenal sebagai petani yang ulet, gigih, tekun, cepat belajar, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu, Hardjo Kardi terus dipercaya memimpin Kelompok Tani Panggih Mulyo sejak didirikan pada 1981. Beberapa inovasi mereka kembangkan, antara lain pertanian organik berbasis pemanfaatan pupuk dari kotoran ternak, pembuatan dan pemeliharaan sumber air atau embung untuk kemudian dialirkan sebagai sistem irigasi serta air untuk kebutuhan rumah tangga dan ternak. Untuk menangkap ikan di Bengawan Solo dan sungai-sungai lainnya, hanya dengan pancing atau jala tradisional. Dilarang keras memakai tuba atau racun dan setrum listrik.
Hardjo Kardi juga membina dan mendorong pengelolaan organisasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan. Kalangan petani Dusun Jepang ialah penggarap atau buruh tani. Bekerja sama dengan Perhutani, mereka mengolah lahan dengan sistem tumpang sari. Mereka juga turut merawat tegakan jati, yang kemudian mendapat sistem bagi hasil dari Perhutani. Pola ini bertahan dan berjalan dengan lancar.
Di Dusun Jepang juga terdapat Sanggar Budaya Seni Karawitan Dewi Laras. Hardjo Kardi dipercaya sebagai pembina. Putra sulung, yakni Karsi, menjadi ketuanya, sedangkan putrinya, yakni Rumini, giat terlibat dalam pelestarian seni karawitan dan macapatan. Setiap ada kunjungan ke Dusun Jepang, kelompok ini menyuguhkan seni tradisi.
Hardjo Kardi
Lahir : Dusun Jepang, Bojonegoro, 1934
Status : Generasi keempat penerus Saminisme sekaligus sesepuh Sedulur Sikep (Wong Samin) Dusun Jepang