Transportasi massal yang ramah lingkungan, yaitu yang memakai tenaga listrik atau solar panel, menjadi pilihan utama dalam perencanaan konektivitas di calon lokasi ibu kota negara yang baru.
Oleh
Rini Kustiasih
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transportasi massal yang ramah lingkungan, yaitu yang memakai tenaga listrik atau solar panel, menjadi pilihan utama dalam perencanaan konektivitas di calon lokasi ibu kota negara yang baru, pengganti Jakarta, yaitu di Kalimantan Timur.
”Jenis transportasi yang paling baik dengan gagasan ramah lingkungan adalah transportasi massal, seperti LRT (kereta ringan) dan MRT (moda raya terpadu), sehingga tidak terlalu banyak orang menggunakan alat transportasi pribadi,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat mengunjungi calon lokasi ibu kota negara yang baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kamis (19/9/2019).
Budi Karya meninjau lokasi itu dengan menggunakan helikopter dan menyusuri Teluk Balikpapan dengan kapal. Dari udara terlihat tapak-tapak pembangunan jalan tol Kalimantan dan sepenggal trans-Kalimantan yang belum sepenuhnya tuntas. Sebagian besar wilayah calon lokasi ibu kota masih rimbun ditumbuhi pepohonan. Namun, pemandangan lokasi dari udara itu sedikit terganggu kabut asap akibat kebakaran hutan.
Budi mengatakan, pembangunan infrastruktur transportasi di calon lokasi ibu kota baru menimbang semua elemen lingkungan, misalnya lahan yang dipakai untuk pembangunan gedung di tidak lebih dari 35 persen. Artinya, sekitar 65 persen dari kawasan ibu kota baru adalah kawasan terbuka hijau.
”Untuk mengurangi kerusakan hutan, ada upaya untuk membangun infrastruktur transportasi di bawah tanah. Dengan demikian, bagian atas sarana transportasi itu tetap terpelihara sebagai wilayah terbuka hijau,” katanya.
Dari sekitar 250.000 hektar calon lahan ibu kota baru, hanya sekitar 2.000 hektar yang merupakan kawasan inti pemerintahan. Di kawasan itu akan dibangun gedung-gedung pemerintahan, kementerian, dan lembaga.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan Sugihardjo mengatakan, antargedung pemerintahan di ibu kota negara yang baru diupayakan bisa dicapai dengan jalan kaki, bersepeda, atau naik skuter. Dengan demikian, tidak banyak energi dikeluarkan untuk transportasi, kecuali angkutan massal yang ramah lingkungan.
”Maksimal orang berjalan kaki 10 menit menuju transportasi umum dan perjalanan 20 kilometer diharapkan bisa ditempuh maksimal dalam 30 menit menggunakan alat transportasi massal,” kata Soegihardjo.
Direktur Bina Penataan Bangunan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Diana Kusumastuti mengatakan, calon ibu kota negara yang baru juga dirancang menjadi smart city, yang memiliki dua karakter. Karakter itu ialah tidak menghilangkan identitas bangsa serta menjaga keberlanjutan lingkungan dan sosial-ekonomi warga.