Meski ditolak sebagian masyarakat, DPR dan pemerintah tetap meloloskan revisi Undang-Undang KPK. Bukan hanya satu atau dua pasal, melainkan hampir 20 pasal yang diubah dan ditambahkan.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
Sejumlah kalangan meragukan performa Komisi Pemberantasan Korupsi setelah disahkannya Undang-Undang KPK hasil revisi akan seperti sebelumnya. Keberadaan Dewan Pengawas dan SP3 menjadi alasannya.
Meskipun ditolak sebagian masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah tetap meloloskan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Bukan hanya satu atau dua pasal, melainkan hampir 20 pasal yang diubah dan ditambahkan. Revisi ini diperkirakan akan mengubah operasionalisasi KPK secara keseluruhan, terutama upaya penindakan korupsi, baik melalui operasi tangkap tangan maupun case building.
Dengan berlandaskan undang-undang lama, performa KPK cukup menonjol. Sejak berdiri hingga kini, setidaknya KPK telah menindak 255 anggota parlemen, 130 kepala daerah, sejumlah ketua partai politik, serta 12 jaksa dan 2 anggota kepolisian. Jumlah itu belum termasuk pihak swasta, mulai dari advokat hingga pengusaha besar.
Dengan aturan baru, sejumlah pihak ragu akan performa KPK menindak korupsi akan seperti sebelumnya. Apalagi, terjadi pergeseran fokus dari penindakan ke pencegahan.
Dewan Pengawas memegang peran sentral dalam undang-undang baru ini, baik dari segi etik maupun penanganan perkara. Meskipun demikian, Dewan Pengawas tidak menjadi penanggung jawab tertinggi. Tidak ada lagi penanggung jawab tertinggi KPK setelah DPR dan pemerintah menghapus ketentuan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi.
Jadi, siapa yang bertanggung jawab, pimpinan atau Dewan Pengawas juga tidak jelas. Namun, Dewan Pengawas bisa memeriksa pimpinan dan jajarannya. Pemimpinnya diabaikan di sini. (Kondisi) Ini bisa menjadikan lembaga itu enggak keruan dan bisa menjadi lembaga liar. Siapa yang bertanggung jawab tidak disebutkan. Dengan UU lama yang sekuat itu saja kami sering kesulitan. Apalagi sekarang,” kata mantan Wakil Ketua KPK M Jasin dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”KPK Lemah, Harapan Punah” di Kompas TV, Rabu (18/9/2019) malam.
Lebih lanjut, dalam acara yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu, Jasin memprediksi kinerja KPK ke depan. ”Ini akan berbeda performanya. KPK akan turning down. Ini jelas harapan agar tidak menangkap pejabat negara,” ujarnya.
Selain Jasin, hadir pula dalam acara itu anggota Komisi III DPR, Arsul Sani; Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari; Pemimpin Redaksi Tempo Arif Zulkifli; pakar komunikasi Emrus Sihombing; dan komisioner KPK terpilih, Nurul Ghufron, melalui telewicara.
Jasin pun menyoal kewenangan Dewan Pengawas yang masuk dalam penanganan perkara. Ini berbeda dengan badan pengawas penegak hukum lain, seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial. Mereka tidak masuk ke penanganan perkara.
SP3
Prediksi bahwa performa KPK tidak akan seperti sebelumnya akan dipengaruhi oleh kewenangan baru yang dilekatkan pada lembaga ini, yaitu menghentikan perkara. Dalam UU hasil revisi, KPK berwenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Padahal, spirit tidak adanya SP3 di KPK dalam undang-undang yang lama itu adalah karena KPK sebagai trigger mechanism harus memberikan contoh dan tidak terjebak dalam permainan penghentian perkara seperti di lembaga penegak hukum lain.
”Teorinya untuk kepastian hukum, pada praktiknya (SP3) menjadi alat transaksi. Hukumnya jadi tidak pasti,” ujar Jasin.
Mengacu pada kasus yang melibatkan penegak hukum yang ditangani KPK, modus yang sering digunakan adalah suap dari pihak beperkara. Suap dimaksudkan untuk menghentikan perkara, meringankan tuntutan, meringankan hukuman, hingga menjatuhkan putusan bebas.
Arif punya kekhawatiran serupa. Apalagi, perkara yang masih berjalan di KPK saat ini berkaitan langsung dan tidak langsung dengan petinggi partai politik. ”Eksekutif dan legislatif punya kepentingan yang sama agar kasus yang ditangani KPK tidak terungkap. Ini yang berbahaya,” kata Arif.
Sementara Feri Amsari berpandangan ada misi lain di balik pemberian kewenangan SP3 ke KPK. ”Pimpinan baru tidak bisa menghilangkan kasus yang sudah ditangani, sedangkan banyak kasus besar yang masih berjalan,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Feri juga menyoroti cacat prosedur dalam pembahasan revisi UU KPK. Mulai dari tidak masuknya revisi UU KPK di dalam Program Legislasi Nasional 2019 dan pengambilan keputusan yang hanya dihadiri 108 dari 560 anggota DPR yang artinya tidak kuorum. ”Dalam hukum administrasi negara, cacat prosedur ini harus dianggap batal demi hukum,” kata Feri.
Namun, apa yang disoal Feri itu dianggap wajar oleh Arsul. Menurut dia, selama ini, jumlah anggota DPR yang hadir fisik jarang mencapai kuorum, tetapi secara catatan kehadiran memenuhi. ”Ini, kan, sudah biasa. Kenapa baru dipermasalahkan sekarang? Lagi pula untuk soal prolegnas itu sebenarnya ada dalam prolegnas lima tahunan. Menggelinding di 2016 dan 2017, tapi sepakat mengundur karena kontroversi besar. Jadi, ini barang tundaan. Apakah harus masuk prolegnas prioritas 2019? Itu disputing debate. Silakan ke MK (Mahkamah Konstitusi),” ujar Arsul.
Secara terpisah, Nurul yang baru saja disahkan oleh DPR sebagai komisioner terpilih KPK 2019-2023 pun tak menyangka revisi UU KPK yang dilakukan anggota Dewan dan pemerintah cukup signifikan dan diprediksi memengaruhi kinerja KPK di masa kepemimpinannya.
”Jadi, tidak bisa membandingkan kinerja kami dengan pemimpin sebelumnya karena norma baru untuk kami ini berbeda sekarang,” ungkap Nurul.