Indonesia meratifikasi Konvensi 2005 mengenai Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya yang salah satu area pemantauannya mencakup tentang keragaman media sejak delapan tahun lalu.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia meratifikasi Konvensi 2005 mengenai Perlindungan dan Promosi Keragaman Ekspresi Budaya yang salah satu area pemantauannya mencakup tentang keragaman media sejak delapan tahun lalu. Meski demikian, cara pandang media Indonesia tentang isu-isu keragaman masih berbeda-beda.
Indonesia meratifikasi Konvensi 2005 melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2011. Konvensi ini merupakan instrumen peraturan standar internasional yang menyediakan kerangka kerja bagi tata kelola kebudayaan. Konvensi ini juga mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang berbasis pada prinsip-prinsip kebebasan ekspresi, kesetaraan, keterbukaan, keberimbangan, dan keberlanjutan.
Dalam konteks media, Konvensi 2005 berupaya memastikan terciptanya keragaman media dan keragaman dalam media. Keragaman media ini bisa dilihat dari beberapa indikator, mulai dari keragaman konten, kepemilikan media, kemerdekaan media, demografi media, konten media, aksesibilitas media, transparansi media, hingga keberadaan data.
Konvensi 2005 berupaya memastikan terciptanya keragaman media dan keragaman dalam media.
Sebagai contoh, dari indikator kepemilikan media akan tampak siapa pemilik media, apakah pihak asing atau domestik, pangsa pasar, hingga afiliasi politiknya. Sementara dari indikator aksesibilitas akan tampak bagaimana media merangkul publik secara umum atau tidak, apakah mudah terjangkau atau tidak, dan apakah menyediakan multiplatform atau tidak.
”Media adalah produsen, distributor, penyebar, dan mediator ekspresi-ekspresi kebudayaan. Karena itu, memastikan adanya keragaman media dan keragaman di dalam media sangat krusial untuk mempromosikan keragaman ekspresi budaya,” kata Charles Vallerand, anggota pakar kelompok fasilitasi UNESCO untuk Konvensi 2005, Kamis (19/9/2019), di sela-sela Pelatihan Keragaman Media yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, UNESCO, Diversity of Cultural Expressions dengan dukungan Sweden Sverige di Jakarta.
Diatur sendiri-sendiri
Meski telah menjadi konvensi internasional sejak 2005, isu tentang keragaman media belum menjadi wacana umum yang disepakati bersama oleh seluruh pemangku kepentingan media di Indonesia. Sampai saat ini, Dewan Pers pun belum menyusun pedoman khusus tentang keragaman media.
Karena belum ada rumusan bersama secara nasional dari kalangan media Indonesia, maka pemahaman tentang keragaman masih dimaknai sendiri-sendiri oleh perusahaan-perusahaan media yang ada. Kalaupun sudah mulai diterapkan dalam proses-proses peliputan, banyak media masih cenderung memaknai keberagaman media dalam kacamata yang sempit, semata-mata soal keragaman etnis, suku, dan agama yang ada di Indonesia.
Pemahaman tentang keragaman masih dimaknai sendiri-sendiri oleh perusahaan-perusahaan media yang ada.
”Banyak yang tak memahami bahwa makna keragaman media lebih kompleks dan luas. Semestinya Dewan Pers bersama seluruh konstituen kumpul bersama-sama menyusun pedoman bersama tentang keragaman media agar pemahaman seluruh jurnalis tentang isu ini sama dan mereka memiliki perhatian khusus untuk mengimplementasikannya di media masing-masing,” kata Rochimawati, pengurus Aliansi Jurnalis Independen Bidang Pendidikan, Etik, dan Profesi.
Kurangnya pemahaman tentang keragaman media juga tampak dari minimnya laporan seputar media dalam Laporan Periodik Empat Tahunan tentang Konvensi 2005 UNESCO yang disusun Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam laporan 2016, lampiran tentang jumlah surat kabar dan media daring di seluruh Indonesia kosong. Padahal, data tersebut bisa diakses di Dewan Pers serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait keragaman media. Beberapa persoalan akut yang selama ini belum bisa dipecahkan adalah tentang kepemilikan media yang rata-rata masih didominasi oleh para politisi, kualitas konten siaran yang buruk dan cenderung mementingkan rating dan share, serta tidak berjalannya penerapan televisi berjaringan yang kemudian berimplikasi pada siaran-siaran televisi menjadi sangat ”Jakartasentris”.