Meretas Mimpi lewat Inkubasi
Pasar industri gim di Indonesia terus tumbuh dalam tiga tahun terakhir. Namun, hingga kini, ceruk utamanya masih digenggam produk asing.
Pasar industri gim di Indonesia terus tumbuh dalam tiga tahun terakhir. Tahun lalu, nilainya menembus 1,084 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15,6 triliun. Sayangnya, 99 persen dari nilai pasar itu masih digenggam produk asing. Lewat program inkubasi, pengembang gim lokal rintisan meretas mimpi untuk merebut pasar gim di Tanah Air.
Lucky Putra Dharmawan (25) dan empat rekannya baru tiba di Kota Bandung, Minggu (8/9/2019). Letih menempuh perjalanan 11 jam menggunakan bus dari Lampung masih terasa. Namun, letih itu hilang seketika saat mereka memasuki gedung Bandung Digital Valley, Senin (9/9) pagi.
Pagi itu, Lucky dan rekan-rekannya mengikuti boothcamp program Indigo Game Startup Incubation. Di bawah ”bendera” Eternal Dream Studio, mereka akan digembleng membuat gim selama tiga bulan ke depan. Program inkubasi juga diikuti sembilan kelompok lain dari berbagai daerah, seperti Bandung, Bogor, Jakarta, dan Yogyakarta.
Indigo Game Startup Incubation menjadi pengalaman perdana bagi Lucky dan rekan-rekannya mengikuti inkubasi. Indigo merupakan inkubator dan akselerator usaha rintisan milik PT Telekomunikasi (Telkom) Indonesia. ”Inkubasi ini seperti jembatan untuk mewujudkan mimpi. Membuat gim yang tak hanya bagus, tetapi juga diminati banyak orang,” ujar Lucky.
Setelah pengenalan program inkubasi, suasana boothcamp relatif santai. Antarkelompok saling bertegur sapa. Lucky menyalakan komputer untuk menginstal aplikasi pembuatan gim.
Baca juga: Pesona Gim Kita Memeluk Dunia
Sembari menunggu proses instal, Lucky dan timnya duduk melingkar untuk berdiskusi. Mereka membahas banyak hal, mulai dari pembagian tugas hingga mematangkan konsep membuat gim.
Sebelum tiba di Bandung, mereka telah sepakat membuat gim horor. Sebab, selama dua tahun berdiri, Eternal Dream Studio sudah memproduksi sepuluh gim yang kebanyakan bergenre horor.
Di tengah diskusi, mereka dihampiri CEO Agate Arief Widhiyasa. Agate merupakan pengembang gim asal Bandung yang berdiri sejak 2009 dan telah memproduksi lebih dari 250 gim.
Kesempatan ini dimanfaatkan Lucky bertanya lebih jauh tentang pengembangan gim. Apalagi, Arief akan menjadi salah satu mentor dalam program inkubasi itu.
Arief menyarankan, sebelum membuat gim, setiap kelompok harus menyadari keunggulan timnya masing-masing. Sebab, hal itu akan bermuara pada kualitas produk yang dihasilkan.
”Jika kuat di story, perbanyaklah ceritanya. Namun, jika kekuatan ada di artistik, gambarnya yang harus diperbanyak,” ujarnya.
Arief juga mengingatkan pentingnya mengestimasikan waktu pembuatan gim. Sebab, program inkubasi hanya berlangsung tiga bulan.
”Pertimbangkan kesulitan-kesulitan pembuatannya. Konsepnya harus disesuaikan dengan waktu yang disediakan,” ujarnya.
Baca juga: Perguruan Tinggi Lirik Potensi Gim
Lucky lebih banyak mengangguk dan tersenyum mendengar ucapan Arief. Tidak lupa dia meminta rekannya, Ajis Santoso (21), mencatat saran Arief tersebut.
”Saran ini sangat penting untuk memantapkan perencanaan. Masukan seperti ini nyaris tidak pernah kami dapat di Lampung,” ujar lulusan Jurusan Informatika Universitas Bandar Lampung (UBL) itu.
Berbeda dengan Lucky yang telah meraih gelar sarjana, Ajis masih berstatus mahasiswa semester VII di Jurusan Informatika UBL. Demi mengikuti program inkubasi itu, dia rela menunda tugas akhirnya.
Ajis tak ingin menyia-nyiakan kesempatan mengikuti inkubasi itu. Sebab, tak banyak pihak di Indonesia yang mengadakan program serupa untuk mendukung pengembang gim lokal rintisan.
”Kalau kesempatan ini dilewatkan, mungkin harus menunggu tahun depan. Itu pun belum pasti ikut karena harus seleksi lagi dari awal,” ujarnya.
Kalau kesempatan ini dilewatkan, mungkin harus menunggu tahun depan. Itu pun belum pasti ikut karena harus seleksi lagi dari awal.
Selama inkubasi, Ajis ingin menyerap ilmu sebanyak mungkin. Terutama dalam menggali ide kreatif sehingga dapat menganalisis kebutuhan di pasar gim.
Oleh sebab itu, perencanaan menjadi sangat krusial. Tidak asal membuat gim, tetapi harus diminati.
Baca juga: Intip Ruang Latihan E-Sport
Datang jauh-jauh dari Sleman, Yogyakarta, Andhika Bhanu Raditya (21) juga mengapungkan mimpi serupa. Dia ingin menambah wawasan di dunia gim.
Tidak hanya terkait teknis pembuatan, tetapi juga peluang pasarnya.
Dia menyadari industri gim di Indonesia sangat potensial. Mengutip hasil riset Newzoo ”The Indonesian Gamer 2017”, pada 2017 diperkirakan ada 43,7 juta pemain gim di Indonesia (Kompas, 9/7/2019).
Nilai pasarnya juga menggiurkan. Pada 2016, penghasilan di industri pembuatan gim sebesar 480 juta dollar AS atau Rp 6,9 triliun. Satu tahun berselang, nilainya naik menjadi 800 juta dollar AS atau Rp 11,5 triliun, terus meningkat menjadi 1,084 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15,6 triliun pada 2018.
Nilai pasarnya juga menggiurkan. Pada 2016, penghasilan di industri pembuatan gim sebesar 480 juta dollar AS atau Rp 6,9 triliun. Satu tahun berselang nilainya naik menjadi 800 juta dollar AS atau Rp 11,5 triliun, terus meningkat menjadi 1,084 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15,6 triliun pada 2018.
Akan tetapi, potensi itu harus dibarengi dengan peningkatkan kuantitas dan kualitas gim produk lokal. Jika tidak, pengembang gim lokal hanya akan gigit jari menonton terkaman produk asing menguasai pasar gim dalam negeri.
”Itu sebabnya pengembang gim rintisan membutuhkan lebih banyak pelatihan. Lewat inkubasi ini, kami ingin meningkatkan kompetensi sehingga lebih berdaya saing dalam membuat gim,” ujarnya.
Andhika mendaftar dalam Indigo Game Startup Incubation lewat jalur perseorangan. Belum banyak yang bisa dikerjakan. Bahkan, dia pun belum mengenal rekan satu timnya.
”Mereka dalam perjalanan. Tidak terlalu masalah karena seminggu ke depan masih dalam tahapan boothcamp untuk mendiskusikan ide gim yang akan dibuat,” ujarnya.
Baca juga: Butuh Kolaborasi Kembangkan Gim
Coordinator Open Innovation Incubation Management Media and Digital Department Telkom Indonesia Johannes Adi Purnama Putra berharap peserta memanfaatkan kesempatan mengikuti inkubasi itu. Sebab, selain meningkatkan kompetensi, produk mereka juga berpeluang untuk dirilis oleh PT Melon Indonesia, perusahaan layanan digital milik PT Telkom.
Selama inkubasi, setiap peserta mendapatkan dana Rp 4 juta per orang per bulan. Harapannya, peserta tidak lagi dipusingkan memenuhi kebutuhan hidup selama tiga bulan di Bandung sehingga fokus mengikuti inkubasi.
Mereka juga berpeluang mendapatkan suntikan dana Rp 120 juta per tim. ”Syaratnya harus memenuhi kualifikasi tim penilai. Namun, kuotanya belum ditetapkan,” ujarnya.
Selain itu, setiap tim akan mendemonstrasikan produk gimnya pada Desember mendatang. Di situ mereka berkesempatan menjalin kerja sama dengan investor. Hal yang selama ini susah mereka dapatkan sehingga sulit untuk berkembang.
Hari beranjak siang. Ide mereka sepanas Bandung di musim kemarau kali ini. Setiap tim masih berkutat dengan diskusi timnya masing-masing. Mereka berkompetisi, tetapi sekaligus berkolaborasi. Membangun ekosistem pengembangan gim untuk menjadi motivasi saat kembali pulang ke daerah masing-masing.
Inkubasi menjadi pijakan bagi pengembang gim rintisan untuk meningkatkan kompetensi. Tak hanya teknis, tetapi juga bisnis. Namun, program ini tak serta-mereka menyulap mereka menjadi hebat. Dibutuhkan konsistensi komitmen dan usaha agar pengembang gim lokal tak mudah diterkam di rumahnya sendiri.