Museum di Tengah Gegap Gempita Pemajuan Kebudayaan
Di tengah gegap gempita upaya pemajuan kebudayaan, nama museum jarang sekali disebut. Bahkan, museum pun tidak masuk dalam daftar 10 obyek pemajuan kebudayaan.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Di tengah gegap gempita upaya pemajuan kebudayaan, nama museum jarang sekali disebut. Bahkan, museum pun tidak masuk dalam daftar 10 obyek pemajuan kebudayaan.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disebutkan 10 obyek pemajuan kebudayaan meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus. Di seluruh pasalnya, UU ini hanya menyebut kata museum sebanyak tiga kali sebagai salah satu contoh dari sarana dan prasarana kebudayaan.
Bahkan, dalam Resolusi Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, nama museum juga hanya disebut sekali pada resolusi ke tujuh sebagai salah satu fasilitas aset publik yang telah ada selain taman budaya. Artinya, resolusi tersebut memaknai museum masih sebatas sebagai lokus atau tempat, bukan sebuah substansi kebudayaan.
”Memang ada kekecewaaan dari para pelaku permuseuman dan pelestari cagar budaya mengapa museum dan juga cagar budaya tidak secara tegas disebut dalam UU Pemajuan Kebudayaan. Cagar budaya termasuk koleksi museum,” kata Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Wiwin Djuwita Ramelan, Rabu (18/9/2019), di Jakarta.
Pemaknaan museum (semata-mata) sebagai aset publik tidak sinkron dengan definisi museum dari International Council of Museums (ICOM) yang memosisikan museum sebagai tempat demokratis, inklusif, dan harmoni untuk dialog-dialog kritis tentang masa lalu dan masa depan. Lebih jauh lagi, museum juga dipercaya bisa mengatasi konflik dan tantangan masa kini, merawat artefak dan spesimen dengan penuh kepercayaan untuk masyarakat, merawat ingatan untuk generasi masa depan, serta menjamin persamaan hak dan aksesibilitas kepada semua orang terhadap warisan koleksi yang ada.
”Indonesia menjadi salah satu anggota ICOM. Artinya, harus ada penafsiran yang sama antara UU Pemajuan kebudayaan dan definisi ICOM, salah satunya penegasan ICOM bahwa museum bukan untuk mencari keuntungan. Para ahli museum harus bisa mengaitkan pengertian yang dianutnya selama ini berdasarkan ICOM dengan upaya-upaya pemajuan kebudayaan,” kata Wiwin.
Keluar dari ”zona nyaman”
Terlepas dari minimnya penyebutan kata museum dalam UU Pemajuan Kebudayaan, menurut Wiwin, tantangan terberat museum saat ini adalah keluar dari ”zona nyaman” mereka. Di tengah lemahnya eksplorasi terhadap narasi-narasi koleksi, kurator museum dan timnya harus kreatif menggali terus-menerus narasi dari seluruh koleksi yang mereka punya.
”Penafsiran itu subyektif, jadi pandai-pandailah menafsirkan sesuatu. Ketakutan para pelaku museum, antara lain pertama mereka takut salah untuk memberikan narasi yang menarik. Kedua, ada anggapan bahwa kalau narasi koleksi dipublikasikan, mereka takut koleksinya tidak aman. Padahal, seperti dikatakan ICOM, masyarakat punya hak untuk tahu informasi tentang koleksi-koleksi museum,” paparnya.
Dua tahun terakhir, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menstandardisasi 184 museum di seluruh Indonesia. Hasil standardisasi menunjukkan, sebagian besar museum masih masuk dalam kategori tipe C atau cukup.
Kurangnya sumber daya manusia profesional di bidang permuseuman, seperti kurator, konservator, dan edukator, menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, banyak museum masih terlena sekadar menampilkan pameran-pameran tetap dan kurang tergerak untuk bereksplorasi menciptakan pameran-pameran temporer yang menarik bagi masyarakat.
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Fitra Arda mengatakan, tantangan terberat museum-museum saat ini adalah mengubah citranya sebagai tempat yang sepi, gudang benda-benda kuno, dan tempat ”mengasingkan” orang. Untuk itulah, museum mesti hadir secara proaktif menginformasikan diri kepada masyarakat.
Tantangan terberat museum-museum saat ini adalah mengubah citranya sebagai tempat yang sepi, gudang benda-benda kuno, dan tempat ”mengasingkan” orang.
Menurut Fitra, untuk mengubah anggapan-anggapan tersebut, museum harus hadir secara proaktif untuk menginformasikan diri kepada masyarakat. Dalam kehadirannya, museum juga mesti ramah terhadap pengunjung, menyampaikan informasi-informasi yang penting kepada publik, dan mau melibatkan komunitas-komunitas serta para penikmat museum dalam kegiatan-kegiatannya.