Ponsel Baru Tidak Selalu Laku
Unsur kebaruan teknologi memang menjadi area persaingan para produsen ponsel untuk memperebutkan konsumen. Namun, kebutuhan akan ponsel canggih dan mutakhir bukanlah prioritas bagi masyarakat Indonesia
Gencarnya produsen memasarkan telepon seluler terbaru tidak serta merta diikuti oleh minat masyarakat Indonesia untuk membelinya. Skala prioritas konsumsi dan kebutuhan teknologi menjadi pertimbangan dalam penggantian ponsel.
Jika melihat ponsel yang Anda miliki saat ini, sudah berapakah usia pakainya? Apakah saat ini Anda ingin menggantinya dengan ponsel yang lebih canggih? Pertengahan Agustus 2019, lembaga penelitian Amerika Serikat, Ting Mobile, merilis temuan survei mengenai kebiasaan mengganti atau memperbarui ponsel.
Hasilnya, hampir setengah responden akan mengganti atau memperbarui ponsel mereka setelah tiga hingga lima tahun ponsel itu digunakan. Lainnya, mengganti ponsel ketika sudah lebih dari lima tahun pemakaian (10 persen), dua tahun pemakaian (30 persen), satu tahun pemakaian (10 persen), dan ada juga kurang dari setahun pemakaian (5 persen).
Baca juga: Tips Mengenali Ponsel ”Black Market”
Ketika responden ditanya alasan mengganti ponsel, paling banyak (32 persen) menjawab bahwa ponsel mereka sudah tidak berfungsi dengan baik seperti sebelumnya. Alasan ini dapat dimengerti karena sistem pengoperasian ponsel, baik android maupun iOS, senantiasa mengalami pembaruan setiap tahun.
Dari enam alasan yang diberikan, tiga alasan cenderung implisit menginginkan pembaruan untuk ponsel mereka, yakni ponsel yang dimiliki saat ini sudah ketinggalan zaman, ingin ponsel baru, dan menginginkan peningkatan fitur.
Unsur kebaruan teknologi memang menjadi area persaingan para produsen ponsel untuk memperebutkan konsumen. Kebaruan ini juga meliputi unsur desain fisik ponsel, resolusi kamera, daya tahan baterai, dan deretan spesifikasi lainnya yang biasa terlihat dalam iklan produk tersebut. Bahkan, sebelum ponsel itu resmi dirilis, sudah ada berita atau informasi mengenai kebaruan teknologi yang ditawarkan.
Hasil penelusuran Google Trends per 27 Agustus 2019 menunjukkan bahwa ulasan atau review ponsel menjadi kata kunci yang cukup sering ditik warganet Indonesia.
Setidaknya selama setahun ke belakang, ulasan ponsel keluaran terbaru mendapat porsi sepertiga dari daftar pencarian terpopuler. Dengan kata kunci ”review” di semua kategori, muncullah beberapa merek dan jenis ponsel terbaru yang setahun ini menarik perhatian warganet.
Kehadiran ponsel-ponsel mutakhir seakan terus-menerus menggempur media massa daring ataupun luring. Sebut saja deretan ponsel seperti Redmi K20, Xiaomi 9T, Vivo Z1 Pro, Huawei P30, atau Samsung Galaxy A50 sudah beredar ulasan dan harganya selama Agustus 2019.
Beberapa dari ponsel ini kerap menyandang status flagship (produk terbaik dari produsen saat itu) hingga flagship killer (produk baru yang mampu bersaing dengan produk laris sebelumnya).
Kebutuhan akan ponsel canggih dan mutakhir bukanlah prioritas bagi masyarakat Indonesia karena masih ada kebutuhan hidup lain yang lebih penting untuk didahulukan.
Terkait harga, setiap ponsel terbaru yang beredar di Indonesia memiliki pangsa pasar tersendiri. Salah satu strategi pemasaran yang dilakukan produsen untuk ponsel barunya ialah melalui flash sale (jual kilat) yang sering kali berujung pada istilah ”ponsel gaib” pada produk yang dijual.
Maksudnya, ponsel tersebut sulit didapatkan ketika dijual melalui metode flash sale. Dugaannya, ada pebisnis atau tengkulak yang turut memborong.
Metode flash sale terbilang menarik karena menawarkan harga yang cukup terjangkau dan sebanding dengan kebaruan produk yang ditawarkan. Masalahnya, jika ponsel tersebut sudah jatuh ke pihak ketiga, harga jualnya pun menjadi naik. Inilah salah satu penyebab harga ponsel baru yang semula murah, justru menjadi mahal.
Pembaruan sistem
Pengembangan sistem pegoperasian ponsel terus dilakukan secara berkala. Inilah yang dilakukan oleh dua produsen sistem terbesar, Android dan iOS. Berdasarkan catatan, hampir setiap tahun keduanya memperbarui sistem pengoperasian.
Dimulai dari sistem pengoperasian yang paling banyak ditanamkan di ponsel pintar saat ini, yakni Android. Sistem operasi berbasis Linux ini dikembangkan oleh Android Incorporation dengan dukungan dana Google.
Dalam model penamaannya, Andorid selalu menggunakan nama camilan manis dari berbagai negara (mulai dari ”Cupcake” hingga terakhir ”Pie”), kecuali untuk versi terakhirnya yang menggunakan bilangan numerik.
Secara historis, pembaruan sistem Android sudah dimulai sejak 2009. Pada tahun itulah Android masih dalam tahap pengembangan dan persaingan dengan kompetitornya, seperti Apple dan Microsoft, kala itu. Baru di 2012, sistem pembaruan ini berjalan lebih stabil hingga versi terbaru (Android 10) yang akan dirilis tahun ini.
Sebagai pesaing, Apple Incorporation hadir secara konsisten dengan produk iPhone (khusus ponsel) yang berbasis iOS. Sistem pengoperasian yang dulu bernama iPhone Operating System (iPhone OS) menjadi sistem pengoperasian multiplatform, seperti ponsel, alat pemutar musik, televisi, laptop, ataupun tablet. Jika dibandingkan dengan Android, iOS memang terlihat memiliki rentang waktu yang lebih lama dari pembaruan sistem yang satu ke selanjutnya.
Baik Android maupun iOS menerapkan sistem yang mirip kepada para penggunannya. Semakin tinggi versi sistem pengoperasiannya, semakin tinggi pula spesifikasi ponsel yang dibutuhkan. Jika spesifikasi ponsel tidak mampu atau tidak mendapat versi terbaru sistem pengoperasian, ada sejumlah fitur yang tidak dapat dinikmati atau mengalami perlambatan performa saat mengakses aplikasi.
Baca juga: Adu Strategi Merebut Pasar Ponsel Indonesia
Sebagai contoh, ponsel berbasis Android yang keluar pada awal 2014, semula mendapat versi Android Kitkat. Pada 2019, sistem perngoperasiannya tidak dapat diperbarui ke Android Pie atau 9. Ponsel masih dapat digunakan, meskipun ada beberapa fitur dan aplikasi yang tidak dapat dipasangkan dalam perangkat (install). Logika yang sama juga turut berlaku bagi ponsel berbasis iOS.
Karena itu, dapat disimpulkan, mengganti atau memperbarui ponsel memang diperlukan tergantung dengan kebutuhan pengoperasian setiap pengguna. Jika ponsel yang sudah berusia dua tahun pemakaian, tetapi masih dapat berfungsi baik, untuk apa mengganti dengan yang baru?
Gaya hidup vs kebutuhan
Tidak dapat dimungkiri bahwa harga ponsel yang mahal turut menjadi bagian dari gaya hidup penggunanya. Alasan itulah yang kemudian menjawab pertanyaan atas larisnya ponsel pintar terbaru ataupun ponsel yang kini pun masih memiliki harga tinggi. Akan tetapi, jika melihat lebih rinci, masyarakat Indonesia pada umumnya cukup memperhitungkan harga yang terjangkau dari sebuah ponsel.
Tentang harga, laporan International Data Corporation (IDC) 2018 menunjukkan lima kelas dan tingkat harga penjualan ponsel di Indonesia. Mulai dari yang terendah, yakni di bawah Rp 1,4 juta hingga termahal di atas Rp 8,5 juta. Dari keempat kategori harga itu, ponsel yang paling banyak terjual berada di kisaran Rp 1,4 juta hingga Rp 2,8 juta. Artinya, secara harga beli, masyarakat masih mencari ponsel yang sesuai dengan kebutuhan dan budget yang dialokasikan.
Hampir setengah responden akan mengganti atau memperbarui ponsel mereka setelah tiga hingga lima tahun ponsel itu digunakan.
Berdasarkan laporan Susenas Maret 2018, alokasi rata-rata konsumsi dan pengeluaran sebulan per kapita untuk telepon seluler sebesar Rp 34.523 (aksesoris-perbaikan, pulsa, dan kuota internet).
Dari sisi alokasi biaya aksesoris dan perbaikan saja, pengeluarannya berada di bawah biaya kendaraan untuk kategori komoditas bukan makanan dan barang tahan lama. Demikian pula jika disandingkan dengan komoditas lainnya, seperti pakaian atau alas kaki, konsumsi untuk ponsel masih terbilang kecil.
Secara logis, kebutuhan akan ponsel canggih dan mutakhir bukanlah prioritas bagi masyarakat Indonesia karena masih ada kebutuhan hidup lain yang lebih penting untuk didahulukan. Namun, bagaimana jika anggaran terbatas, tetapi ingin ponsel yang canggih? Itulah sebabnya muncul nama yang tak asing kemudian: ”Ponsel Batam”, ”Ponsel Black Market”, ”Ponsel Tanpa Cukai”, dan deretan istilah lainnya. (LITBANG KOMPAS)