KAIRO, KOMPAS -- Hasil pemilu parlemen Israel, Selasa lalu, cukup mengejutkan dan sekaligus mencemaskan elite dan publik Israel. Hal ini setelah faksi Joint List (aliansi partai-partai Arab) meraih 12 kursi Knesset setelah penghitungan suara mencapai 95 persen pada Rabu lalu.
Pada pemilu April lalu, dua partai Arab hanya meraih 10 kursi di Knesset, yaitu partai Hadash-Ta’al (6 kursi) dan partai Balad (4 kursi).
Perolehan kursi cukup besar Joint List saat ini bisa menjadi daya tawar kuat bagi komunitas Arab di Israel—sekitar 1,8 juta jiwa atau 20 persen warga Israel—untuk mewujudkan misi-visi politik mereka, khususnya opsi solusi dua negara, Israel dan Palestina.
Daya tawar kuat itu bisa dimanfaatkan di Knesset (parlemen) dan ranah publik secara umum agar Pemerintah Israel lebih mengambil kebijakan yang bisa memberi konsesi bagi rakyat Palestina di dalam negeri Israel ataupun di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
”Kami mempersembahkan hadiah terbaik kepada rakyat saat kami berhasil mencegah PM Benjamin Netanyahu meraih kemenangan,” ujar Ketua Joint List Ayman Odeh ketika berbicara via telepon dengan Ketua Partai Biru-Putih Benny Gantz, Rabu.
Melalui kekuatan daya tawar Joint List di Knesset, perlawanan Palestina untuk mendapatkan hak-hak mereka terhadap Israel bisa menjadi lebih efektif secara politik dari dalam negeri Israel, dibandingkan dengan perlawanan yang selama ini dilakukan dari Jalur Gaza dan Tepi Barat serta dunia Arab dalam rentang waktu lebih 60 tahun.
Warga Palestina di dalam negeri Israel bisa mendapat perlakuan lebih adil dan menikmati persamaan hak jika perlakuan rasialis dan diskrimatif terhadap mereka selama ini dapat diakhiri. Adapun warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza bisa mendapat konsesi lebih besar dari pemerintah Israel dengan membuka pintu bagi berdirinya negara Palestina yang beribu kota di Jerusalem Timur.
Warga Arab di Israel, menurut Biro Pusat Statistik Israel, mencapai 1.890.000 jiwa atau sekitar 20,95 persen dari keseluruhan penduduk Israel yang mencapai 8.710.000 jiwa. Warga Arab di Israel selama ini dikenal mendapat perlakuan rasialis dan diskriminatif.
Koalisi Netanyahu yang terdiri dari kubu kanan dan agama (ortodoks), yang dikenal sangat provokatif dan diskriminatif terhadap rakyat Palestina, meraih 55 kursi. Sebanyak 55 kursi tersebut dengan rincian partai kanan Likud 31 kursi, partai agama Shas 9 kursi, partai ortodoks United Torah Judaism 8 kursi, dan partai ultra kanan Yamina 7 kursi.
Menurut undang-undang pemilu Israel, partai atau koalisi partai minimal memiliki 61 kursi dari 120 kursi Knesset untuk bisa membentuk pemerintahan koalisi.
Keberhasilan aliansi partai Arab meraup kursi cukup besar itu mulai mengubah sikap elite politik Israel pada kekuatan politik Arab Palestina. Ketua Partai Biru-Putih Benny Gantz, hari Rabu lalu, langsung menelepon Ketua Joint List Ayman Odeh untuk membahas kemungkinan membangun kemitraan. Komunikasi Gantz dan Odeh itu, menerobos tabu politik. Selama ini tabu bagi para pemimpin Israel menjalin komunikasi politik dengan pemimpin politik Arab di Israel.
Di kubu kanan, Netanyahu segera bersiaga membangun kekuatan untuk mencegah Joint List masuk dalam koalisi pemerintah mendatang. Netanyahu pada Kamis (19/9/2019) secara resmi menyerukan Gantz membentuk pemerintah persatuan nasional. Netanyahu juga mengundang Gantz segera bertemu untuk membahas kemungkinan membentuk pemerintahan persatuan nasional itu.
PM Israel itu mengatakan, sesungguhnya dirinya masih mengutamakan membentuk pemerintah koalisi kanan. Namun, hasil pemilu tidak memungkinkan membentuk koalisi kanan saat ini.
Rabu lalu, Netanyahu telah bertemu pimpinan partai kubu kanan dan ortodoks, menyampaikan kecemasannya atas kemungkinan Gantz dan Joint List membentuk koalisi pemerintahan. Ia berjanji menggunakan segala cara untuk menggagalkan koalisi itu.