Permintaan Presiden menunda pengesahan RKUHP jadi momentum membuka ruang publik di pembahasan RUU itu. RKUHP mesti dipastikan sesuai semangat demokrasi.
JAKARTA, KOMPAS Dewan Perwakilan Rakyat mempertimbangkan permintaan Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Penundaan itu diharapkan diikuti dengan pembukaan ruang publik yang seluas-luasnya dalam pembahasan RKUHP.
Pembukaan ruang publik ini, antara lain, dapat dilakukan pemerintah dengan membentuk komite yang terdiri dari sejumlah pakar dan tokoh masyarakat untuk ikut memberi masukan dalam pembahasan RKUHP. Dengan demikian, RKHUP yang kelak akan disahkan untuk menggantikan KUHP saat ini, yang merupakan peninggalan kolonial, sesuai dengan semangat demokrasi dan tak mengancam hak-hak sipil.
Permintaan agar masukan masyarakat didengarkan dalam pembahasan RKUHP juga disampaikan Presiden Joko Widodo. ”Saya perintahkan Menkumham kembali jaring masukan dari berbagai kalangan masyarakat sebagai bahan menyempurnakan RUU KUHP yang ada,” kata Presiden di Istana Bogor, Jumat (20/9/2019).
Dalam kesempatan ini, Presiden menyatakan, setelah mendengar masukan dari berbagai kalangan, RKUHP yang telah disepakati dalam forum pengambilan keputusan tingkat pertama antara DPR dan pemerintah pada 18 September lalu masih mengandung sejumlah materi yang butuh pembahasan lebih lanjut. Karena itu, Presiden minta agar rencana persetujuan RKUHP itu disahkan menjadi KUHP dalam Rapat Paripurna DPR pada 24 September mendatang ditunda.
”Saya telah perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR, yaitu pengesahan RUU KUHP agar ditunda. Dan pengesahannya tidak dilakukan DPR periode ini,” katanya.
Presiden berharap DPR punya sikap yang sama dengan pemerintah soal pembahasan RKUHP. Saat ditanya wartawan mengenai materi yang perlu dibahas lebih lanjut, Presiden menyebutkan ada sekitar 14 poin. Secara terpisah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan akan membicarakan teknis penundaan pengesahan RKUHP, seperti yang diperintahkan Presiden, kepada DPR.
RKUHP menjadi salah satu dari sejumlah RUU yang mengundang polemik di masyarakat. Polemik, antara lain, juga muncul saat pembahasan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Selasa lalu, Rapat Paripurna DPR menyetujui revisi UU KPK itu disahkan menjadi UU.
Saat revisi UU KPK, Presiden menyatakan setuju melakukan revisi terbatas atas UU itu. RUU lain yang akan segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi UU adalah revisi UU Pemasyarakatan. Dalam RUU itu, antara lain, ada ketentuan narapidana boleh mengajukan cuti.
Dipertimbangkan
Menanggapi permintaan Presiden untuk menunda pengesahan RKUHP, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan telah mengomunikasikan hal itu dengan beberapa unsur pimpinan fraksi di DPR dan disepakati untuk mengkaji permintaan tersebut.
”Kami menyambut baik apa yang disampaikan Presiden. Namun, saya belum bisa bicara (pengesahan RKUHP) akan ditunda atau dibatalkan karena masih perlu dibahas pada rapat internal DPR,” kata Bambang.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, pada dasarnya pengesahan UU harus didasarkan pada kesepakatan DPR dan pemerintah. Jika salah satu pihak belum setuju, pengesahan tidak bisa dipaksakan.
Sebagai anggota fraksi pendukung pemerintah, Arsul menyatakan sepakat dengan usulan Presiden untuk menunda pengesahan RKUHP.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, juga menyatakan tidak mempermasalahkan permintaan Presiden. Dinamika di masyarakat terkait RKUHP perlu diperhatikan.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, menghormati permintaan Presiden. Ia berharap Presiden bersedia menunggu keputusan DPR terhadap usulan penundaan RKUHP. Menurut dia, penundaan pengesahan RKUHP harus didasarkan pada alasan rasional. ”Jika penundaan hanya karena tekanan, tentu tak sehat bagi iklim pembentukan perundang-undangan,” ujarnya.
Pembahasan mendalam
Asfinawati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia berharap RKUHP tak hanya ditunda disahkan, tetapi juga ada pembahasan ulang terhadap sejumlah pasal bermasalah dan multitafsir yang berpotensi mengganggu kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan catatan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, terdapat lebih dari 20 pasal yang masih bermasalah dalam RKUHP.
Pasal itu antara lain yang mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat; penghinaan presiden, pemerintahan yang sah, dan lembaga negara; ancaman terhadap perempuan dan kelompok rentan; korupsi; serta pelanggaran HAM berat.
Anggara dari Institute for Criminal Justice Reform mengusulkan agar Presiden membentuk komite yang, antara lain, terdiri atas akademisi berbagai disiplin ilmu. Tugas komite ini adalah ikut memastikan agar RKUHP disusun secara komprehensif, selalu sejalan dengan prinsip demokrasi konstitusional, dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Ketua Tim Perumus RKUHP Muladi berjanji, masukan masyarakat akan didengarkan. ”Semua masukan akan kami kaji tapi tak 100 persen kami terima. (RKUHP) ini jangan sampai gagal, ditunda boleh,” katanya. (IAN/MTK/DVD/ICH/EDN/REK/INK/INA)