Industri Dalam Negeri Terpukul
Peredaran telepon seluler ilegal di Tanah Air tidak hanya menggerus penerimaan negara tetapi juga memukul industri ponsel dalam negeri. Hal ini berimbas pada pengurangan produksi dan tenaga kerja.
JAKARTA, KOMPAS – Peredaran telepon seluler ilegal yang marak di Tanah Air tidak hanya menggerus penerimaan negara tetapi juga memukul industri ponsel dalam negeri akibat kalah bersaing di pasaran. Karena tidak terkena pajak, ponsel ilegal dijual lebih murah baik di gerai maupun secara daring sehingga mengikis pasar ponsel resmi.
Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI) memperkirakan peredaran ponsel ilegal di pasar gelap (black market) mencapai 9 juta unit atau 20 persen dari penjualan ponsel resmi sebesar 45 juta unit per tahun.
Abidin Fan, Presiden Direktur PT Sat Nusapersada Tbk, selaku perusahaan perakit ponsel Xiaomi, mengakui, maraknya peredaran ponsel ilegal membuat perusahaannya merugi. Sebagai gambaran, produksi ponsel Xiaomi di PT Sat Nusapersada anjlok dari 800.000 unit per bulan menjadi 200.000 unit per bulan karena terganggu peredaran ponsel ilegal.
Akibatnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terelakkan. PT Sat Nusapersada harus memangkas tenaga kerja dari 6.000 orang menjadi 4.000-an orang. “Itu karena ponsel BM (black market) membanjir dimana-mana. Seperti tidak ada selesainya,” ujar Abidin, saat ditemui di ruangan kantornya, di Kota Batam, Kepulauan Riau, Jumat (30/8/2019). Selain merakit Xiaomi, Sat Nusapersada juga memproduksi ponsel Huawei, Asus, dan Honor.
Baca juga : Tips Mengenali Ponsel Pasar Gelap
Chandra Tansri, Direktur Operasional PT Bangga Teknologi Indonesia selaku produsen ponsel Advan, mengungkapkan, peredaran ponsel ilegal mengacaukan harga pasaran ponsel resmi. Kondisi ini membuat penjualan ponsel resmi tergerus, termasuk merek lokal seperti Advan. “Yang pasti penjualan (kami) jadi tidak bagus,” ucap Chandra.
Persaingan tidak sehat
Hansen Lie, Direktur PT Maju Express Indonesia, selaku pemegang merek ponsel Mito, mengakui, persaingan pasar ponsel menjadi tidak sehat karena maraknya ponsel ilegal. Sebab, industri ponsel sudah berinvestasi membuat pabrik, merekrut tenaga kerja, serta membuat jaringan distribusi dan tempat perbaikan. “Sementara itu, penyelundup tidak perlu berinvestasi besar untuk menjual (ponsel) di Indonesia,” ucap Hansen.
Tidak hanya itu, lanjut Hansen, untuk meluncurkan produk ponsel baru, pihaknya harus mengurus perizinan ke pemerintah hingga 3-6 bulan. Sedangkan penyelundup bisa memasukan berbagai jenis ponsel baru hanya dalam waktu singkat. “Kami sudah bayar pajak dan urus semua perizinan. Sedangkan mereka masuk saja melewatkan semua proses itu,” ujar Hansen.
Baca juga : Ponsel Diselundupkan lewat Berbagai Jalur
Wakil Ketua APSI Syaiful Hayat menilai, membanjirnya ponsel ilegal membuat investasi industri ponsel di dalam negeri terganggu. “Mulai tahun 2012 kan kita sudah dipaksa untuk membangun industri dalam negeri. Tapi kalau (peredaran ponsel ilegal) dibiarkan maka kita yang sudah investasi malah enggak terproteksi,” tutur Syaiful.
Menurut Syaiful, ponsel ilegal dapat leluasa masuk ke Indonesia karena wilayah pantai di Indonesia yang cukup terbuka, tetapi di lain sisi patroli dan pengawasan di laut masih minim. Maraknya penyelundupan juga terkait dengan tingginya permintaan pasar terhadap ponsel.
Petugas toko menunjukkan ponsel bekas yang dijual di sebuah gerai ponsel di pusat pertokoan Lucky Plaza, Kota Batam, Kepulauan Riau, Selasa (27/8/2019). Kebanyakan ponsel bekas yang beredar di Batam kebanyakan diimpor dari Singapura secara ilegal.Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, peredaran ponsel ilegal merugikan negara yang kehilangan potensi penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Dua jenis pajak itu setidaknya 12,5 persen dari nilai impor ponsel.
Sebagai gambaran, jika terdapat 9 juta unit ponsel ilegal beredar sesuai dengan perkiraan Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), maka negara kehilangan potensi penerimaan Rp 2,475 triliun per tahun dengan asumsi harga rata-rata setiap ponsel Rp 2,2 juta. Apabila praktik impor ponsel ilegal ini sudah berlangsung lima tahun, maka negara kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp 12,375 triliun.
Konsumen juga rugi
Dari sisi konsumen, peredaran ponsel ilegal membuat pembeli merugi karena tidak mendapatkan layanan purnajual yang layak akibat garansi yang dicantumkan bukan garansi resmi. Perbaikan hanya ditanggung oleh gerai layanan perbaikan dari distributor independen atau toko yang menjual ponsel tersebut.
Baca juga : Konsumen Ponsel Ilegal Merasa Untung, Ternyata Buntung
Tuti (45), salah satu konsumen ponsel yang hanya bergaransi distributor, mengaku awalnya membeli ponsel Xiaomi miliknya karena harganya lebih murah dibandingkan ponsel yang dijual di distributor resmi. Namun, kini ia menyesal karena kesulitan untuk memperbaiki ponsel miliknya yang sedang rusak tersebut.
Pelaksana Tugas Ketua Presidium Asosiasi Industri Teknologi Informasi Indonesia (AITI) Setyo Handoyo Singgih mengungkapkan, seluruh pihak dirugikan akibat peredaran ponsel black market. Pihak yang diuntungkan hanya penyelundup dan pedagang ponsel ilegal.
“Negara, pelaku industri, distributor resmi, dan konsumen dirugikan dari peredaran ponsel ilegal ini,” ujar Setyo Handoyo, beberapa waktu lalu.
Baca juga : Adu Siasat Atasi Ponsel Pasar Gelap
Menurut Setyo, peredaran ponsel ilegal membuat negara dirugikan tidak hanya karena kehilangan penerimaan dari sektor pajak tetapi juga membuat data impor tidak valid sehingga menyulitkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan karena tidak sesuai kenyataan pasar.
Momentum
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengakui, ponsel ilegal yang beredar di pasar gelap ini dipastikan tidak melewati suatu proses pengecekan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dan tidak membayar pajak sehingga jelas-jelas merugikan negara. “Ini jelas enggak fair. Kita sudah capek-capek meningkatkan nilai tambah dalam negeri, tapi ada (ponsel) black market. Untuk itu, akan kita tata,” kata Rudiantara.
Untuk membendung peredaran ponsel ilegal tersebut, pemerintah berencana menerbitkan kebijakan pengendalian nomor identitas telepon seluler internasional atau IMEI. Awalnya, pemerintah berencana menerbitkan kebijakan pemblokiran ponsel dengan IMEI tidak terdaftar pada pertengahan Agustus silam. Namun, hingga pertengahan September ini, penerbitan regulasi tersebut belum ada kejelasan.
Yustinus Prastowo menilai, rencana pemerintah menerbitkan kebijakan terkait IMEI sebagai upaya menekan peredaran ponsel ilegal seharusnya sekaligus menjadi momentum untuk mendorong pertumbuhan industri ponsel dalam negeri. Untuk itu, kebijakan yang dikeluarkan perlu komprehensif termasuk mengatur insentif bagi industri dan penguatan penegakan hukum.
Direktur Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail mengatakan, kebijakan pengendalian IMEI akan diterapkan enam bulan setelah peraturan terkait hal itu diterbitkan. Selain untuk melindungi konsumen, kebijakan penertiban IMEI melalui sistem informasi basis database IMEI nasional (Sibina) adalah untuk melindungi industri manufaktur ponsel dan memastikan investasi terus tumbuh.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggriono Sutiarto menambahkan, pemerintah berupaya membatasi peredaran produk ilegal melalui sebuah tata niaga, yakni dengan menerapkan importir terdaftar. Artinya, jika ada perusahaan yang ingin mengimpor tetapi tanpa dokumen maka patut diduga ilegal.