Kerugian di Balik Ekonomi ”Bawah Tanah”
Pemerintah setiap negara, termasuk Indonesia, selalu berhadapan dengan persoalan ekonomi ”bawah tanah”. Semakin besar porsi ekonomi ”bawah tanah”, semakin besar kerugian yang dialami negara.
Ekonomi ”bawah tanah” diartikan sebagai kegiatan ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak terpantau dalam penghitungan produk domestik bruto (PDB). Kegiatan ilegal terjadi saat barang dan jasa diproduksi, diperdagangkan, dan dikonsumsi secara ilegal atau melanggar hukum. Kegiatan ilegal yang marak terjadi, antara lain, penyelundupan tenaga kerja, peredaran obat terlarang, dan prostitusi.
Kegiatan legal yang termasuk ekonomi ”bawah tanah” berupa produksi barang dan jasa secara sah yang dengan sengaja dilakukan secara tertutup. Hal yang umumnya mendasari kegiatan tersebut, antara lain, penghindaran pajak. Keengganan untuk mengikuti standar dan prosedur administrasi yang telah ditetapkan turut membentuk ekonomi ”bawah tanah”.
Sering disebut sebagai underground economy, shadow economy, atau black economy, kegiatan ini sulit tecermin dalam profil ekonomi negara-negara di dunia. Publikasi IMF Working Paper yang memuat penelitian Leandro Medina, Januari 2018, menunjukkan bahwa rata-rata nilai ekonomi ”bawah tanah” terhadap PDB dari 158 negara adalah 31,77 persen.
Tiga negara dengan nilai ekonomi ”bawah tanah” tertinggi yakni Georgia (64,87 persen), Bolivia (62,28 persen), dan Zimbabwe (60,64 persen). Artinya, hampir dua pertiga ekonomi di tiga negara itu adalah kegiatan gelap yang tak tercatat dalam PDB mereka.
Berbeda dengan ketiganya, rasio ekonomi ”bawah tanah” di Swiss, Amerika Serikat, dan Austria kurang dari 10 persen. Angkanya secara berturut-turut 7,24 persen, 8,34 persen, dan 8,93 persen. Sekilas tampak kecil, tetapi hal itu menunjukkan negara dengan ekonomi besar dan maju tak lepas dari kegiatan ekonomi ”bawah tanah”.
Mengacu pada penelitian yang sama, aktivitas ekonomi ”bawah tanah” Indonesia tercatat 24,11 persen dari PDB. Catatan itu menempatkan Indonesia di peringkat 116 dari total 158 negara. Kesimpulan riset ini mengacu pada data yang dihimpun di masing-masing negara selama seperempat abad, tahun 1991 hingga 2015.
Penyelundupan
Kegiatan ekonomi ”bawah tanah” di Indonesia yang menjadi sorotan, antara lain, penyelundupan tenaga kerja, peredaran narkotika, kegiatan prostitusi, penyelundupan barang ke luar negeri, dan masuknya barang dari luar negeri tanpa melalui bea cukai.
Penyelundupan tenaga kerja ke luar negeri dan peredaran narkotika sering terjadi di Indonesia. Belum lama ini, 21 tenaga kerja asal Nusa Tenggara Timur nyaris diperdagangkan ke Malaysia. Dua di antaranya adalah gadis di bawah umur (Kompas, 17 Juni 2019). Peredaran narkoba tak kalah masif. BNN mencatat, sepanjang 2018, dua juta mahasiswa dan satu setengah juta pekerja terlibat narkoba. Kerugian negara akibat narkoba mencapai Rp 70 triliun per tahun.
Kegiatan prostitusi turut berkontribusi pada ekonomi ”bawah tanah” di Indonesia. Global Black Market Information (Havecscope) mencatat, pendapatan dari kegiatan prostitusi 2,25 miliar dollar Amerika Serikat per tahun di Indonesia. Data yang dihimpun National AIDS Commission Jakarta pada tahun 2014 menyebutkan, di Jakarta saja, jumlah perempuan pekerja seks sebanyak 11.860 orang.
Penyelundupan hewan dan komoditas lain juga cukup sering terjadi. Pemberitaan Kompas sebelumnya mencatat beberapa kasus penyelundupan hewan dilindungi ke luar negeri. Tahun 2007 hingga 2011, tercatat 37.140 kilogram daging dan 514,6 sisik trenggiling diselundupkan ke luar negeri, setara 7.136 trenggiling. Perdagangan ilegal ini berlanjut hingga 2019. Satu bulan lalu, polisi menangkap penjual trenggiling dengan barang bukti 6,3 kilogram sisik trenggiling di Banda Aceh.
Tak hanya trenggiling, petugas gabungan, Juni lalu, menemukan orangutan, komodo, dan kura-kura moncong babi turut diperdagangkan. Baru-baru ini, Kompas memberitakan upaya penyelundupan 65.076 benih lobster ke luar negeri yang digagalkan Polres Lampung Selatan. Kekayaan alam lain yang sering diperdagangkan adalah kayu. Perdagangan kayu jati ilegal yang berasal dari Blora, Jawa Tengah, terjadi pada 2017.
Publikasi penyelundupan kayu di Indonesia yang diterbitkan Center for International Forestry Research (Cifor) menyebutkan, penyelundupan kayu besar-besaran terjadi awal 2000-an. Penyelundupan mencapai sekitar 10 juta meter kubik per tahun. Sebagian besar berasal dari Papua, sisanya dari Kalimantan dan Sumatera. Sebagian besar penyelundupan kayu ditujukan ke Malaysia.
Penyelundupan bahan bakar minyak turut berkontribusi pada ekonomi bawah tanah Indonesia. Salah satunya terjadi pada awal tahun ini. Waktu itu, ada upaya menyelundupkan 2.900 liter BBM ke Timor Leste, tetapi digagalkan TNI.
Kegiatan memasukkan barang dari luar negeri secara ilegal juga cukup sering terjadi. Ratusan jenis dan merek kosmetik beredar di Indonesia tanpa izin edar. Barang impor yang kini tak kalah digandrungi masyarakat adalah barang elektronik berupa telepon genggam, laptop, dan tablet. April lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberitakan menyita 18.920 produk elektronik ilegal.
Cenderung meningkat
Hingga sekarang, belum ditemukan cara pengukuran yang dapat memberikan gambaran jelas nilai ekonomi bawah tanah. Namun, perkembangan jumlah uang beredar dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk memperkirakan ekonomi bawah tanah. Adapun jumlah uang beredar yang dimaksud adalah uang kertas dan uang logam—dalam istilah moneter dikenal M0.
Ada atau tidaknya kegiatan ekonomi bawah tanah dan estimasi besarannya dapat diduga melalui perbandingan M0 dengan uang giral atau saldo pada rekening bank di Indonesia.
Perkembangan teknologi menjadikan uang tak hanya dapat diukur dari kuantitas secara fisik, tetapi juga mencakup transaksi digital, mulai dari saldo rekening di bank hingga transaksi jual-beli yang dapat terpantau dan dilakukan secara daring. Hal ini biasa disebut dengan M1, atau uang beredar dalam arti sempit, yaitu kewajiban sistem moneter yang terdiri dari uang kartal dan uang giral.
Ada juga M2 yang terdiri dari M0, M1, ditambah dengan uang kuasi dan surat berharga selain saham. Dengan kata lain, hal itu merupakan uang beredar dalam arti luas, yaitu kewajiban sistem moneter yang terdiri dari M1 dan uang kuasi (tabungan dan deposito berjangka dalam rupiah dan valas pada bank umum).
Kegiatan ekonomi ”bawah tanah”, yang tidak lain adalah kegiatan tersembunyi, membuat pelakunya menghindari pembayaran secara elektronik atau daring. Mereka menyadari pembayaran elektronik akan meninggalkan jejak berupa catatan yang mudah ditelusuri.
Mengacu pada data uang beredar di Indonesia yang dipublikasikan Bank Indonesia, pada 2009-2018, rasio M0 terhadap M1 rata-rata 43,3 persen per tahun. Adapun rasio M0 terhadap M2 rata-rata 10,6 persen per tahun pada periode sama.
Pada 2009 hingga 2013, rasio M0 terhadap M1 dan rasio M0 terhadap M2 cenderung meningkat. Tiga tahun berikutnya menunjukkan tren menurun. Namun, dua rasio tersebut cenderung kembali meningkat tiga tahun terakhir.
Ukuran lain yang dapat menjadi salah satu indikasi ekonomi bawah tanah adalah diskrepansi statistik. Maksudnya ada ketidaksesuaian antara PDB yang dihitung melalui pendekatan pengeluaran dan PDB yang dihitung melalui pendekatan pendapatan. Itulah diskrepansi statistik.
Secara teori, PDB yang dihitung melalui pendekatan pengeluaran dan pendapatan akan menghasilkan angka yang sama. Perbedaan kedua nilai PDB dapat mengindikasikan terdapat kegiatan underground economy di suatu negara.
Publikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan diskrepansi statistik Indonesia pada 2012 hingga 2018. Diskrepansi statistik pada periode tersebut rata-rata Rp 74,2 triliun setiap tahun.
Kerugian negara
Kegiatan ekonomi gelap menimbulkan kerugian bagi sebuah negara. Secara sekilas, kegiatan ekonomi aktif dilakukan, tetapi hal itu tidak memberi kontribusi pada negara. Kegiatan tersembunyi dilakukan untuk menghindari pajak, misalnya, membuat negara kesulitan meraih target penerimaan pajak.
Laporan keuangan pemerintahan pusat menunjukkan, pada 2014 hingga 2018, selalu ada selisih antara target penerimaan pajak dan realisasinya. Rata-rata selisih pada periode tersebut Rp 166,7 triliun per tahun.
Dengan kata lain, sekitar 11 persen dari target penerimaan pajak per tahun gagal terealisasi pada lima tahun terakhir. Andaikata pemerintah mampu meraih target selisih pajak tersebut, upaya menutup hampir separuh dari defisit anggaran yang selama ini terjadi bukan sesuatu yang sulit dicapai.
Tak sedikit penelitian yang mengungkap bahwa salah satu penyebab maraknya kegiatan ekonomi ”bawah tanah” adalah beban pajak dan rumitnya regulasi. Hal itu bukan berarti pajak harus dihilangkan. Sebab, pendapatan dari pajak selama ini merupakan yang terbesar dalam menopang belanja negara.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah menyederhanakan regulasi, khususnya dalam perdagangan. Regulasi yang tidak berbelit-belit diharapkan dapat mengurangi keengganan pelaku ekonomi untuk mengikuti peraturan yang berlaku, sehingga mempersempit celah bagi aktivitas ilegal.
Penyederhanaan perpajakan juga bisa dilakukan untuk memperoleh potensi pajak yang hilang. Pengawasan yang berkualitas dari instansi terkait juga diharapkan memperkecil ruang ekonomi ”bawah tanah”.
(Agustina Purwanti/Litbang Kompas)