Sepotong Malam
Ia begitu ceria dan cantik. Hanya kafe, sepotong malam, menemukan mereka sebagai dua orang yang asing dalam kisah asmara.
Kompas/Cahyo Heryunanto
Sepotong malam itu, akhirnya sampai juga padamu. Mungkin tak pernah sempat kau tolong. Mungkin pula engkau hanya sekadar mendengar lolongannya—yang serupa jeritan seekor anjing kurus. Engkau mengingat-ingat, barangkali masih ada yang terlupa. Tetapi kau tak menemukan apa-apa di rongga kepalamu.
Kau merasa telah mengingat segalanya: perempuan yang pernah menambat hatimu berulang kali, teman-teman lama, atau yang baru saja dikenal, atau catatan harian tentang seseorang yang pernah terlupa. Tak ada lagi yang tinggal, kini kau ingin pergi seorang diri saja, meninggalkan rumahmu, menelusuri jalanan yang mungkin sudah teramat akrab kau lintasi. Dan malam pun luruh, jatuh di pundakmu yang tegap, tetapi ada ngilu lain yang terasa ketika kau melihat seluruh bangunan kota, di mana kau kerap menghabiskan waktu, menjinjit seluruh kenanganmu.
Kau ingin malam ini berakhir, kau ingin setelah ini segalanya selesai sudah. Ini waktu yang tepat bagimu untuk meninggalkan seluruh dirimu yang pernah silam. Lalu kau bergumam, ”Apakah akan ada seseorang yang merasa kehilangan jika diriku pergi?”
Kau bertanya-tanya pada pijar lelampuan di sepanjang jalan. Rumah sudah menjauh, tinggal sebuah titik, yang melingkari kepalamu. Titik yang terasa begitu haru, membahagiakan. Dan kau ingat lagi pada perempuan itu: pada keyakinanmu, pada senyumannya yang semanis tebu. Namun malam terlampau cepat gegas, menarikmu dengan kehitamannya yang gaib.
Kau berpikir, apakah tidak ada seseorang yang pernah kau tipu selama ini? Orang-orang yang dekat dengan kehidupanmu. Kau merogoh jaketmu yang kusam, mencari rokok, dan menyalakannya. Seperti ingin menyulut seluruh kegundahanmu yang mengeras, tak berbentuk. Dan kau kembali mengenang: jalan-jalan sepanjang kota ini yang acapkali kau lalui dengan perempuan itu. Kau mengenangnya, dan berucap lirih, ”Apakah jika aku pergi, segala masalah akan selesai? Atau apakah segalanya akan semakin rumit dan pelik?”
Telepon selulermu bergetar, kau enggan untuk mengangkatnya. Kau malas, untuk sekadar bergegas melihat siapa yang menghubungimu di malam segelap ini.
Dan ia mengingat-ingat kekasihnya yang telah silam. Ia mencoba mencari-cari hal-hal lain yang barangkali sempat ia lewati. Ia memutar kenangannya kembali, bagaimana lekuk wajahnya satu per satu. Ia tersenyum getir. Sepertinya ia telah kehilangan sebagian waktunya, ternyata memahami seseorang terlampau sulit, bahkan waktu bertahun-tahun ia rasakan tidak lagi cukup.
Malam ini, kau merasa sendirian, kesepian. Sunyi memang selalu tak bisa dijelaskan dengan kalimat. Seperti desiran murung yang mengandung di jelaga hitam. Langit yang terkuak. Bayangan-bayangan hitam yang terjalin, kemudian menyusun segalanya dengan sistematis. Malam selalu meninggalkan kecupan-kecupan tersendiri yang menghantuimu. Atau, mungkin, pikirmu, kau seharusnya menelepon perempuan itu, yang selalu mengganggu dirimu. Mengucapkan perpisahan, tetapi adakah dia akan menerimanya? Apakah ada perempuan yang setia ketika mengetahui sebuah perpisahan? Kau bimbang, tetapi urung untuk kembali ke dalam rumah.
Demikianlah. Ia mesti mengambil sikap terhadap kekasihnya. Semenjak ia melihat perempuannya jalan bergandeng tangan dengan lelaki lain. Suatu pilihan yang amat sulit, ternyata dunia selalu diisi dengan orang-orang yang tak setia. Dunia selalu diisi dengan perselingkuhan yang abadi terhadap cinta.
**
Perempuan itu tersenyum pahit, sepertinya titik air mata di pelupuk mata sudah habis. Sudah letih ia menangis, ketika mengetahui lelakinya pergi jauh. Bahkan ketika ia mencoba menghubungi telepon selulernya, atau telepon rumahnya. Tak ada seorang pun yang tahu kemana ia pergi, tak ada yang mampu menjelaskan.
Kini, ia menatap lagi cermin itu, mencari-cari kenangan, bagaimana ia kerap bercanda tawa dengan lelaki itu, berbicara hal-hal kecil tentang dunia.
Ya, tak ada lagi segala ucapan yang tertinggal bagi dirinya. Baik itu, catatan, kartu pos, atau sedikit penjelasan dari pertemuan terakhir mereka. Yang setidaknya mampu mengobati dirinya, yang setidaknya mampu memberikan sedikit penjelasan, mengapa lelaki itu memilih untuk meninggalkan dirinya. Dan segalanya hanya tinggal kenangan, menusuk segala pemahaman yang usai tentang cinta.
Perempuan itu menghapus titik air matanya yang terakhir. Kesedihan selalu berujung pada tangis, dan sebagai perempuan ia harus kuat. Ada saatnya seseorang mesti lega menerima kepergian orang yang dicintainya. Ada kalanya seseorang harus memberi pemakluman atas cinta. Sebab cinta memang tak mampu dijelaskan dengan nyeri kalimat. Sebab cinta adalah masalah perasaan.
Apakah ia merasa lega mengetahui kenyataan, bila lelakinya telah meninggalkannya? Ia tak paham, hanya ia mampu menatap wajah di cermin. Tiba-tiba ia menemukan sesuatu yang dulu tak pernah dijumpainya. Di muka cermin, ketika berkaca, ia baru sadar bila ia tampak jelek jika menangis. Ia tak boleh menangis banyak-banyak lagi, kesedihan selalu melahirkan getah isak yang getir. Ia tersenyum sebentar, menghapus bekas-bekas kesedihan di wajahnya. Ia mengambil make up, mengulas lipstik, ia tak mau cengeng dan kalah dalam menghadapi asmara. Masih banyak laki-laki lain yang mungkin akan memilih untuk setia padanya. Masih banyak kaum adam yang mendambakan dirinya sebagai pujaan hati.
Tetapi masih ada yang tersisa, setidaknya bagi dirinya. Bagaimana jemari lelaki itu sering menggenggam jemarinya, bibir lelaki itu yang biasa mengecup bibir, dahi, atau pipinya. Atau degup jantung lelaki itu yang sering ia dengar dengan cara menempelkan daun telinganya yang ramping di sana.
Ia masih merasakan detaknya, ia masih bisa bagaimana detak jantung itu tiba-tiba terpacu dengan cepat. Ia masih merasakannya. Tetapi sekarang tinggal kenangan, segalanya sudah berakhir! Seperti sebuah film yang mengingatkannya pada kesia-siaan yang panjang. Dan sekarang ia telah letih menangis, ia merasa capek melakukannya.
Ia berdandan. Kemudian ke luar rumah. Di luar, langit masih sebuah malam yang sepotong. Ada kelam yang nyangkut di dahan-dahan pohon, tiang listrik, besi pada badan becak, dingin yang tak mampu dihangatkan, dan cipratan lampu jalan. Ada sepotong malam yang terjatuh, dingin, dan asing. Tetapi ia terus saja bergegas. Melalui jalanan, mengambil jalan memutar, memasuki lorong-lorong, menatap liukan cahaya kota.
**
Di sebuah kafe, lelaki itu sendirian. Berulang kali ia gundah, melempar pandang ke luar, memandang dalam kejauhan. Nampak olehnya sketsa malam sepotong, bersatu dalam kerumun lampu kendaraan. Orang-orang yang bergegas, juga suara musik yang maju-mundur masuk ke dalam tempurung kepalanya.
Ia mengisap kesepian itu dengan sebatang rokok. Ia meneguk kesepian itu dengan segelas kopi susu. Kafe itu terasa pengap, sepengap dadanya. Sekali lagi ia berucap lirih, ”Apakah cinta selalu diakhiri dengan sebuah perpisahan?”
Ia melongok telepon selulernya, ada pesan yang masuk, dari kekasihnya. Pesan yang meminta dirinya untuk bertemu. Tetapi ia sudah kecewa. Ia tak mau lagi. Hanya sepotong malam yang muram jatuh di permukaan tanah. Cahaya hitam yang malas masuk ke dalam ruangan kafe. Kegelapan yang terlontar, dan kemudian beradu untuk berebut masuk dengan cahaya terang lampu.
Malam yang kali ini seakan menghukum dirinya. Ada yang tak dimengerti olehnya tentang perempuan. Selalu ada yang gagal ia pahami tentang sebuah perasaan. Lelaki itu, berucap lirih kembali, ”Tai kucing dengan cinta!” meski ada cipratan-cipratan kecil yang menuntunnya seperti seberkas peristiwa yang hadir sekilas-sekilas, yang membawanya memasuki segala kenangan.
Ia terdiam, suara musik di kafe itu tak lagi mampu mengusir kegundahannya. Ia seperti diintip oleh sepasang mata, mata perempuan yang menjadi kekasihnya. Ia tahu, ia tak pernah bisa melupakan perempuan itu. Ia paham, jika perpisahan itu terlampau cepat. Betapa perpisahan selalu meninggalkan rasa nyeri yang dalam, yang tak sempat dijelaskan.
Di meja yang lain, perempuan dengan lipstik yang menyala tengah merenung juga. Mengisap kesepian juga, menggeraikan rambut, tetapi tak ada lagi kesedihan yang muncul di wajahnya. Wajahnya tak lagi sembab. Ia nampak sedang mengikuti irama lagu yang melantun dengan perlahan. Ia begitu ceria dan cantik. Hanya kafe, sepotong malam, menemukan mereka sebagai dua orang yang asing dalam kisah asmara.
_____________________
Alexander Robert Nainggolan (Alex R Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kecamatan Menteng Kota Adm Jakarta Pusat.