MUARA SABAK, KOMPAS Meski kabut asap telah sebulan lebih menyelimuti wilayah Jambi, para korban belum terjamah bantuan dan perlindungan. Puluhan ribu anak hingga lanjut usia terus terpapar tanpa dapat mengungsi.
Kebakaran hebat yang melanda Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh dan perkebunan sawit di sekitarnya mengakibatkan asap tebal. Warga enam desa yang berjumlah lebih dari 14.000 jiwa di Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, tak berdaya terpapar asap.
”Sudah lebih dari seminggu ini kami terus menghirup asap. Napas sudah semakin terasa sesak,” ujar Rahmi (61), warga Desa Pematang Rahim, Mendahara Ulu, Jumat (20/9/2019). Hampir sepanjang hari, ia berjaga di kebun pinang miliknya agar tak tersambar api dari kebakaran lahan yang berjarak 200 meter dari kebunnya. Meski tenggorokannya perih dan sering batuk, tiada pilihan selain tetap berada di sana.
Sebagian besar warga di sana tidak mengenakan masker. ”Sampai hari ini belum ada bantuan masker ataupun oksigen dari pemerintah,” kata Mujiati (53), warga Desa Sinarwajo. Kondisi serupa dialami masyarakat Kecamatan Dendang, Tanjung Jabung Timur, yang berpenduduk lebih dari 15.000 jiwa. Mereka terpapar asap dari kebakaran Hutan Lindung Gambut Londerang, perkebunan sawit dan akasia, serta areal restorasi gambut di wilayah itu.
Sejumlah anak sempat dibawa orangtuanya ke rumah sakit di Kota Jambi. Namun, mayoritas lainnya tak dapat keluar dari desa karena secara ekonomi tidak mampu.
Gubernur Jambi Fachrori Umar mengakui, kabut asap sudah mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Sejauh ini, Pemerintah Provinsi Jambi meliburkan 3.552 sekolah akibat asap yang kian parah. Dinas kesehatan diperintahkan untuk memberikan bantuan ambulans dan alat kesehatan untuk mendukung kelancaran petugas lapangan dalam memadamkan kebakaran hutan dan lahan. Namun, belum ada bantuan bagi masyarakat korban terpapar asap.
Solusi jangka pendek
Operasi teknologi modifikasi cuaca menghasilkan hujan di sejumlah lokasi kebakaran di Sumatera dan Kalimantan, Jumat sore. ”Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat sudah hujan dengan intensitas rendah-sedang. Durasinya 15 menit sampai 1 jam. Namun tidak merata, hanya di kawasan yang ditaburi NaCl dan dibantu arah angin sehingga belum semua titik api terkena,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo.
Meski modifikasi cuaca menunjukkan hasil, hal ini dinilai solusi jangka pendek. ”Solusi ke depan harus permanen. Kembalikan gambut sebagai kawasan yang basah dan berair. Sesuai kodratnya, gambut adalah rawa-rawa,” kata Doni.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar undang-undang tentang pemanfaatan gambut perlu direvisi. Lahan gambut tidak boleh lagi dibuka untuk perkebunan agar tak merepotkan generasi yang akan datang.
Di sisi lain, upaya pembasahan gambut di Sumatera Selatan diakui tidak berjalan optimal. Kepala Subkelompok Kerja Badan Restorasi Gambut Sumatera Selatan Onesimus Patiung mengatakan, kondisi ini disebabkan kerusakan infrastruktur pembasahan akibat beragam aktivitas warga di kawasan yang direstorasi.
Dari Kalimantan Tengah, Kejaksaan Negeri Palangkaraya menilai ada indikasi tindak pidana korupsi dalam pembuatan infrastruktur pembasahan gambut di Kota Palangkaraya. Kemarin, Kejaksaan Negeri Palangkaraya menggeledah dan menyita dokumen juga peralatan yang seharusnya digunakan untuk pembasahan sebagai antisipasi kebakaran hutan dan lahan. Penggeledahan dilakukan di kantor Dinas Lingkungan Hidup Kalteng, kantor Tim Restorasi Gambut Daerah, dan kantor Kelurahan Bukit Tunggal.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Palangkaraya Mahdi Suryanto mengungkapkan, penanganan kasus telah memasuki tahap penyidikan. Dua orang yang terkait dalam kegiatan pembuatan infrastruktur pembasahan gambut telah diperiksa, tetapi belum ada penetapan tersangka. ”Sekarang sudah terjadi bencana asap, tetapi masih banyak peralatan pembasahan yang tak difungsikan. Sekarang kami sita,” katanya. (ITA/NSA/RAM/ESA/IDO/ICH/AIK)