Hujan Abu Tipis Merapi hingga Radius 15 Kilometer dari Puncak
Awan panas letusan yang terjadi di Gunung Merapi, Minggu (22/9/2019) siang, dilaporkan menyebabkan hujan abu tipis hingga radius 15 kilometer dari puncak.
Oleh
HARIS FIRDAUS / NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Awan panas letusan yang terjadi di Gunung Merapi, Minggu (22/9/2019) siang, dilaporkan menyebabkan hujan abu tipis hingga radius 15 kilometer dari puncak. Meski begitu, warga di sekitar gunung api yang berlokasi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu tetap beraktivitas seperti biasa.
”Hujan abu tipis dilaporkan terjadi di sekitar Gunung Merapi dalam radius 15 kilometer, dominan di sektor barat daya,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida dalam keterangan tertulis, Minggu petang.
Diberitakan sebelumnya, Gunung Merapi mengeluarkan awan panas letusan pada Minggu pukul 11.36 dengan tinggi kolom 800 meter di atas puncak. Berdasarkan data BPPTKG, awan panas letusan itu memiliki amplitudo 70 milimeter, durasi 125 detik, dan jarak luncur 1.200 meter. Ini awan panas letusan pertama yang dikeluarkan Merapi sejak gunung api itu berstatus Waspada pada 21 Mei 2018.
Hanik menjelaskan, sesudah terjadinya awan panas letusan di Gunung Merapi, pihaknya sempat menerbitkan volcano observatory notice for aviation (VONA) dengan kode Oranye. VONA merupakan informasi yang berisi peringatan dampak letusan gunung api untuk penerbangan.
Ancaman bahaya yang timbul dari aktivitas Merapi diperkirakan masih sama dengan sebelumnya, yakni berupa luncuran awan panas dan lontaran material erupsi dengan radius 3 kilometer dari Merapi.
”Untuk mengantisipasi gangguan abu vulkanik terhadap penerbangan, VONA diterbitkan dengan kode warna Orange,” ujar Hanik. Meski begitu, hingga Minggu malam, belum ada laporan adanya penerbangan yang tergganggu akibat penyebaran abu vulkanik Merapi.
Hanik memaparkan, awan panas letusan Minggu siang itu berbeda dengan awan panas guguran yang berkali-kali terjadi di Merapi beberapa bulan terakhir. Sejak statusnya naik menjadi Waspada pada 21 Mei 2018, Merapi tercatat pertama kali mengeluarkan awan panas guguran pada 29 Januari 2019.
Awan panas guguran terjadi akibat runtuhnya material kubah lava baru karena daya tarik gravitasi atau tanpa kecepatan awal yang signifikan. Awan panas letusan disebabkan runtuhnya material kubah lava akibat dari tekanan gas dari dalam tubuh gunung.
Tekanan gas itu muncul seiring adanya suplai magma di dalam tubuh Gunung Merapi. ”Seiring berlangsungnya suplai magma, gas vulkanik diproduksi secara kontinu. Karena dinamika tekanan, gas dapat tersumbat dan terakumulasi di bawah kubah lava dan terlepas secara tiba-tiba, lalu mendobrak kubah lava sehingga runtuh menjadi awan panas,” kata Hanik.
Sebelum terjadinya awan panas letusan di Merapi, BPPTKG juga mendeteksi peningkatan suhu di kubah lava di puncak Merapi. Sekitar satu jam sebelum awan panas letusan terjadi, suhu di beberapa titik kubah lava sempat naik hingga mencapai sekitar 100 derajat celsius.
Namun, setelah terjadinya awan panas letusan, aktivitas vulkanik di Merapi kembali menurun. Minggu pukul 12.00-18.00, misalnya, Merapi hanya mengalami empat kali gempa embusan dan satu kali gempa tektonik jauh. Sementara itu, gempa fase banyak tidak terjadi pada periode ini.
Ancaman bahaya
Hanik mengingatkan, ke depan, Merapi masih berpotensi mengeluarkan awan panas letusan maupun awan panas guguran. Hal ini karena suplai magma di tubuh gunung itu masih berlangsung, ditandai dengan terjadinya beberapa jenis gempa yang jumlahnya masih cukup signifikan.
Meski begitu, menurut Hanik, ancaman bahaya yang timbul dari aktivitas Merapi ke depan diperkirakan masih sama dengan sebelumnya, yakni berupa luncuran awan panas dan lontaran material erupsi dengan radius 3 kilometer dari Merapi.
Sebab, hasil pemodelan yang dilakukan BPPTKG menunjukkan, jika seluruh kubah lava Merapi yang saat ini ada mengalami keruntuhan, luncuran awan panas tidak akan melebihi radius 3 kilometer. Saat ini, volume kubah yang ada di puncak Merapi sekitar 461.000 meter kubik.
Oleh karena itu, BPPTKG masih menetapkan status Merapi berada di level Waspada dengan radius bahaya 3 kilometer. Untuk menghindari bahaya, masyarakat dilarang beraktivitas dalam radius 3 kilometer dari puncak Merapi. Di luar radius itu, masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa.
Aktivitas normal
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman, DIY, Makwan membenarkan terjadinya sebaran abu vulkanik tipis dari Gunung Merapi. Hujan abu terpantau terjadi di Dusun Tunggul Arum, Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Sleman.
Hujan abu itu teramati mulai pukul 12.30. Sekitar pukul 14.00, hujan abu tidak lagi teramati. ”Warga tenang. Tidak ada kepanikan dan masih kondusif. Kondisi aman terkendali. Kebutuhan masker masih tercukupi,” kata Makwan.
Berdasarkan pantauan Kompas di Dusun Tunggul Arum pada Minggu pukul 16.00, warga beraktivitas seperti biasa. Ada yang beraktivitias di ladang, ada pula yang sekadar bersantai di teras rumah. Tampak bercak putih dari genteng pada sebagian rumah mereka.
Ari (25), warga Dusun Tunggul Arum, mengatakan, hujan abu tipis itu dirasakannya sewaktu mengendarai sepeda motor. Saat hujan abu terjadi, Ari mengaku baru saja tiba di dusunnya setelah pergi ke tempat lain. Begitu memasuki Dusun Tunggul Arum, Ari merasa kelilipan.
”Rasanya ada kayak debu yang masuk. Itu terasanya pas masuk ke jalan kampung saya. Saya lihat berita, ternyata baru saja ada awan panas. Saya semakin yakin setelah lihat jok belakang ada abu yang menempel tipis, bekas dari hujan abu itu,” kata Ari.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Pelaksana BPBD DIY Biwara Yuswantana mengatakan, pihaknya meminta masyarakat waspada dan tetap tenang. Masyarakat diminta mengikuti informasi terkini tentang perkembangan Gunung Merapi dari lembaga yang berwenang. ”Jangan sampai terpengaruh kabar bohong yang justru membahayakan keselamatan,” katanya.
Selain itu, Biwara juga menyampaikan, semua desa yang berada di lereng Merapi wilayah DIY sudah menjadi desa tangguh bencana. Oleh karena itu, masyarakat dinilai memiliki kesiapan jika sewaktu-waktu menghadapi situasi kebencanaan. ”Koordinasi dengan instansi-instansi terkait juga senantiasa terjalin demi kesiapan masyarakat menghadapi bencana,” ujarnya.