Inklusi Tak Tumbuh, Kemampuan Agen Sampaikan Produk Rendah?
Asuransi syariah masih lesu karena agen-agen asuransi masih belum mengerti produk itu sendiri. Agen tersebut cenderung menyamakan produk-produk syariah dan konvensional.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Asuransi syariah merupakan elemen keuangan syariah dengan pangsa pasar terendah. Inklusi asuransi syariah masih rendah, yaitu 6,5 persen, karena rendahnya kemampuan penyampaian produk dan kecilnya skala usaha perusahaan.
Data Otoritas Jasa Keuangan pada Januari 2019 menyebutkan asuransi syariah yang masuk ke dalam industri keuangan non-bank (IKNB) syariah memiliki pangsa pasar terendah hanya 4,2 persen dibandingkan konvensional. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan pangsa pasar perbankan syariah, 5,9 persen dan pasar modal, 15,2 persen.
Direktur Hukum, Promosi, dan Hubungan Eksternal Komite Nasional Keuangan Syariah, Taufik Hidayat, mengatakan, asuransi syariah masih lesu karena agen-agen asuransi masih belum mengerti produk itu sendiri. Agen tersebut cenderung menyamakan produk-produk syariah dan konvensional.
“Yang paling menjadi hot topic adalah soal literasi promosi. SDM (Sumber Daya Manusia) di perusahaan asuransi perlu lebih menjelaskan ke nasabahnya. Jangan disamakan saja, yang beda hanya nama dan halal, itu yang selama ini terjadi di industri,” kata Taufik, Minggu (22/9/2019), kepada Kompas.
Asuransi syariah masih lesu karena agen-agen asuransi masih belum mengerti produk itu sendiri.
Persoalan pengetahuan produk ini yang sedang coba diselesaikan KNKS bersama industri. KNKS sedang giat menggelar diskusi bersama pelaku-pelaku industri pada September-Oktober 2019. Diskusi pertama berlangsung Selasa (17/9/2019).
Menurut Taufik, promosi produk kepada nasabah asuransi syariah harus dibuat sesederhana mungkin. Sebab, produk-produk asuransi syariah memang cenderung lebih sulit dipahami karena istilah yang menggunakan bahasa Arab.
Penguatan asuransi syariah nasional sangat sulit. Literasi dan inklusi asuransi secara umum bahkan masih rendah. Adapun inklusi asuransi secara umum berdasarkan data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), baru mencapai 6,5 persen.
“Di konvesional pun masih rendah. Apalagi di syariah, yang banyak belum paham. Jadi harus penyederhanaan proses, penyederhanaan isitilah. Kalau ribet penjelasan produknya pasti nasabah sudah menghindar duluan. Apalagi sekarang nasabahnya lebih banyak milenial,” sebut dosen di Universitas Ahmad Dahlan tersebut.
Skala perusahaan
Di sisi lain, KNKS juga menyoroti skala usaha perusahaan kecil yang membuat sulit berkembangnya industri asuransi syariah. Kecilnya skala itu membuat keuntungan menjadi nasabah asuransi syariah lebih rendah dibandingkan dengan konvensional.
AVP Head of Business Development and Strategy Manulife Indonesia Harsa Martana mengatakan, Manulife Indonesia juga kesulitan dalam menjelaskan produk syariah kepada nasabah. Kesulitan menjelaskan itu diperparah dengan minimnya tawaran menarik di asuransi syariah.
“Tawaran penjual ke calon nasabah kurang menarik. Stimulus itu harusnya ada sehingga bisa membuat industri ini bergairah. Misalnya dengan regulasi yang mewajibkan bank syariah bekerja sama dengan lembaga keuangan syariah, termasuk asuransi,” ucap Harsa.
Kesulitan menjelaskan produk syariah itu diperparah dengan minimnya tawaran menarik di asuransi syariah.
Chief Executive Officer Adira Insurance Julian Noor menjelaskan, perusahaan cenderung tidak mau repot menjelaskan produk asuransi syariah secara lengkap. Mereka takut nasabah tidak membeli produk karena konsep-konsep syariah yang sangat berbeda dari konvesional
“Seperti misalnya di syariah kan bagi hasil. Yang diceritakan itu hanya kalau hasilnya positif. Kalau hasilnya negatif, biasanya tidak berani dijelaskan. Ini juga membuat masyarakat menjadi lambat teredukasi tentang produk syariah,” kata Julian.