Setahun berjalan, program JakLingko telah mendapat apresiasi positif dari warga Ibu Kota. Namun, persoalan integrasi, peremajaan armada, dan penggunaan kartu sistem integrasi angkutan umum ini masih jadi pekerjaan rumah.
Oleh
Krishna P Panolih (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Setahun berjalan, program JakLingko telah mendapat apresiasi positif dari warga Ibu Kota. Namun, persoalan integrasi, peremajaan armada, dan penggunaan kartu sistem integrasi angkutan umum ini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemerintah Provinsi DKI.
Program JakLingko adalah alih bentuk dari One Karcis One Trip (OK-OTrip). Awalnya, OK-OTrip merupakan sistem baru yang, menurut rencana, memudahkan warga DKI Jakarta dalam urusan transportasi, yaitu satu harga untuk satu kali perjalanan moda transportasi massal di Jakarta.
Setelah masa uji coba (15 Januari-15 Juli 2018), namanya berubah menjadi JakLingko per 1 Oktober 2018. Konsepnya lebih pada sistem angkutan umum yang terintegrasi, mulai dari rute, manajemen, sampai pembayaran. Artinya, melibatkan angkutan bus Transjakarta hingga yang berbasis rel (MRT dan LRT). Istilah ”Lingko” sendiri diambil dari bahasa Nusa Tenggara Timur yang berarti jejaring sistem persawahan tanah adat di Manggarai.
Sistem JakLingko juga bertujuan untuk memperluas jangkauan angkutan umum hingga 80 persen wilayah domisili warga Jakarta. Warga Jakarta bisa menjangkau angkutan umum dalam jarak 500 meter dan menghubungkannya dengan jaringan angkutan massal.
Tujuan mulia program JakLingko ini cukup membuat warga optimistis dengan sistem transportasi yang lebih baik di Ibu Kota. Mayoritas responden (82 persen) dalam jajak pendapat Kompas, Agustus lalu, memberikan dukungan positif pada program baru transportasi ini.
Bagi angkot dan bus kecil yang ingin bergabung dengan JakLingko wajib mengikuti standar penerapan pelayanan minimum. Di antaranya keselamatan, keamanan, kenyamanan, keteraturan, keterjangkauan, dan kesetaraan yang harus diikuti oleh pengemudi JakLingko.
Soal kelaikan kendaraan adalah hal pertama yang harus dibenahi. Pengemudi diminta menyetir mobil dengan kecepatan maksimal 40 kilometer per jam. Pengemudi juga harus menggunakan seragam dan kartu tanda pengenal.
Hingga Juni 2019, baru 800 dari 12.000 mikrolet yang bergabung dengan JakLingko.
Meski demikian, perubahan kecil yang dilakukan oleh mikrolet yang tergabung dengan JakLingko serta sistem angkutan massal bus TJ, KRL, dan MRT yang telah berjalan telah mengubah persepsi masyarakat pada kondisi angkutan yang beroperasi di Jakarta. Penilaian positif kondisi angkutan umum tersebut diberikan oleh hampir tiga perempat responden.
Keberadaan JakLingko, meski baru setahun berjalan, juga cukup diketahui oleh hampir 60 persen responden. Semua ini juga tidak lepas dari sosialisasi di masyarakat. Mulai dari penyuluhan tingkat lembaga musyawarah kelurahan (LMK), RT-RW, makan bersama anak yatim, sampai senam bersama saat hari bebas kendaraan (car free day). Pemerintah juga telah mengenalkan JakLingko kepada pelajar dengan membagikan kartu JakLingko gratis.
Kartu pembayaran
Pembayaran JakLingko tidak lagi menggunakan uang tunai, tetapi sudah menggunakan kartu. Inilah yang membedakan dengan angkutan umum lainnya, seperti Metromini, Kopaja, atau bajaj, dan menjadi penanda utama. Hampir seperempat responden sudah menandai perbedaan tersebut.
Selanjutnya, slogan ”Satu Kartu untuk Semua Perjalanan” yang tertempel pada stiker angkutan JakLingko cukup mengena dan diingat oleh 15,6 persen responden. Namun, hal ini masih menjadi kendala tersendiri. Kartu JakLingko belum bisa digunakan pada bus Transjakarta ataupun MRT. Jadi, masyarakat setelah turun dari angkot JakLingko harus membayar kembali menggunakan kartu e-tiket dari bank atau kartu Transjakarta saat akan naik bus TJ.
Hal ini bisa jadi mematahkan kelebihan JakLingko, yakni membayar lebih murah. Tarif maksimal JakLingko Rp 5.000 per 3 jam untuk bus, angkot, dan mikrolet yang harus dibayar menggunakan kartu JakLingko. Namun, jika penumpang tidak mempunyai kartu JakLingko dan membayar dengan kartu e tiket lain, dikenakan tarif reguler. Ini juga berarti ongkos yang dibayar bisa lebih mahal.
Meski tampak ideal, tak berarti program ini tanpa kendala. Keharusan membayar dengan kartu umpamanya, menjadi hal yang dianggap mengganjal. Ini diungkapkan sepertiga responden yang masih lebih suka membayar tunai.
Sementara 20 persen lainnya pesimistis sistem JakLingko bisa mengatasi masalah kemacetan lalu lintas. Hal ini karena penataan rute JakLingko belum selesai sehingga masih banyak kawasan hunian yang belum terjangkau sistem jejaring angkutan ini. Akhirnya pilihan masyarakat adalah menggunakan kendaraan pribadi ataupun ojek daring untuk bermobilitas.
Hal lain yang juga harus diseriusi adalah peremajaan angkutan menjadi syarat untuk bergabung dalam JakLingko. Untuk tahun depan, pemda telah menargetkan 10.047 kendaraan, sementara yang baru diremajakan 1.779 bus besar, 420 bus sedang, dan 1.160 bus kecil.
Pemerintah menargetkan 1.400 angkutan umum masuk ke dalam sistem JakLingko. Rutenya pun ditambah, dari 33 menjadi 60. Harapannya, target bisa segera terwujud dan kendala yang ada terselesaikan sehingga JakLingko bisa menjadi sistem transportasi berjejaring menjangkau seluruh wilayah Jakarta dan terintegrasi dengan angkutan massal yang telah ada.