Setelah Presiden Joko Widodo meminta penundaan pengesahan RKUHP menjadi undang-undang, masyarakat sipil berharap hal serupa dilakukan untuk RUU Pemasyarakatan dan RUU KPK.
Oleh
Ingki Rinaldi dan Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
Setelah Presiden Joko Widodo meminta penundaan pengesahan RKUHP menjadi undang-undang, masyarakat sipil berharap hal serupa dilakukan untuk RUU Pemasyarakatan dan RUU KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Langkah Presiden Joko Widodo menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan mengkaji ulang 14 pasal ”bermasalah” di dalamnya dinilai belum cukup. Presiden disarankan melangkah lebih jauh dengan menunda pengesahan RUU Pemasyarakatan dan membatalkan pemberlakuan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi undang-undang.
Tidak hanya dari masyarakat sipil, permintaan penundaan pengesahan RUU Pemasyarakatan dan pembatalan pemberlakuan RUU KPK juga disampaikan politisi DPR. Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa adalah salah satunya.
”RKUHP itu satu napas dengan RUU Pemasyarakatan, khususnya jika dilihat dari hukuman (pidana) yang dibahas. Itu berarti RUU Pemasyarakatan harus ditunda,” kata Desmond, Sabtu (21/9/2019), di Jakarta.
Sama seperti RKUHP, kini RUU Pemasyarakatan juga telah disetujui jadi undang-undang dalam pengambilan keputusan tingkat pertama pada 17 September lalu. RUU ini dan RKUHP direncanakan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang, Selasa (24/9/2019).
RKUHP disetujui menjadi undang-undang dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM pada 18 September. Namun, Jumat (20/9/2019), Presiden meminta pengesahan RKUHP ditunda. Presiden juga memerintahkan Menkumham untuk menjaring masukan dari berbagai kalangan demi penyempurnaan RKUHP (Kompas, 20/9/2019).
RKUHP memang ditolak oleh berbagai kalangan karena dinilai mengandung sejumlah pasal ”bermasalah”. Ada potensi kriminalisasi berlebihan terhadap masyarakat jika RKUHP disahkan, serta mengancam demokrasi dan kebebasan sipil.
Terkait penolakan itu, menurut Desmond, sikap serupa semestinya diambil Presiden terkait RUU KPK. RUU KPK yang sudah disetujui menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 September lalu juga menimbulkan gejolak masyarakat.
Pendapat serupa diungkapkan pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, dengan alasan berbeda. Keduanya menyoroti prosedur pembahasan yang tak sesuai ketentuan, terutama karena tidak melibatkan KPK.
Meski demikian, suara berbeda disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Arsul Sani. Ia tidak melihat penundaan pengesahan RKUHP yang dilakukan Presiden sebagai hal untuk mengubah politik hukum yang telah disepakati oleh DPR dan pemerintah dalam pembahasan tingkat pertama.
Perppu KPK
Untuk membatalkan RUU KPK yang telah disahkan melalui rapat paripurna, perlu upaya berbeda. ”Presiden dapat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang menyatakan pembatalan UU KPK hasil revisi,” kata Feri.
Perppu itu didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003). Dengan dasar itu, pembatalan UU KPK tak menyebabkan kekosongan hukum.
”Jika penerbitan perppu dilakukan Presiden Joko Widodo, beliau dapat menyelamatkan keadaan dan menghentikan permasalahan yang muncul menyusul revisi UU KPK. Saat ini hanya perlu komitmen Presiden untuk menghentikan semua keributan,” kata Feri.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta, Bivitri Susanti, mengatakan, perppu serupa pernah diterbitkan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014. Saat itu, ia membatalkan ketentuan RUU Pilkada mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung, yaitu melalui DPRD.
Komite ahli
Untuk memastikan kritik dan masukan dari masyarakat sipil diakomodasi, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Anggara Suwaju mengusulkan pembentukan komite ahli pembaruan hukum pidana. Menurut dia, jika hanya melakukan penundaan pengesahan serta tetap melakukan pembahasan dengan tim perumus atau penyusun RKUHP yang ada saat ini, tidak akan pernah ada masukan dari masyarakat sipil yang diakomodasi.
”Hal itu terjadi sejak 2005. Kami telah memberikan masukan pada 2005, tetapi tak ada satu pun yang diakomodasi. Berbagai masukan kami, termasuk 19 jenis hukuman non-penjara, tidak ada yang masuk,” ujar Anggara.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menyuarakan pentingnya seluruh kelompok masyarakat menyampaikan kepentingan mereka yang tercederai dengan rumusan RKUHP. Hal ini krusial dilakukan mengingat sulitnya kritik dan masukan diakomodasi selama pembahasan RUKHP.
Sementara itu, anggota tim penyusun RKUHP, Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan, pembahasan RKUHP yang akan dilakukan DPR periode berikutnya tidak mesti dimulai lagi dari nol. Pembahasan bisa dilanjutkan dari posisi yang ada pada saat ini.
Sebelumnya, Presiden menyebutkan ada 14 pasal yang menjadi perhatian publik. Hal itu antara lain pasal yang mengatur penghinaan terhadap presiden, pembiaran unggas, mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, dan tindak pidana korupsi.
Adapun terkait penjaringan aspirasi publik, rapat dengar pendapat umum dapat dilakukan jika pembahasannya dibuka lagi. DPR dapat mengundang siapa saja yang berkepentingan. ”Semua harus dikompromikan karena tak mungkin ada satu pihak yang memaksakan pendapat,” ujar Harkristuti.