Menjadi Saksi Detik-detik Kerusuhan Jayapura
Pada 29 Agustus 2019, kedamaian di Port Numbay, sebutan untuk Kota Jayapura, terusik unjuk rasa yang berakhir anarkistis. Wartawan ”Kompas”, Fabio Maria Lopes Costa, secara langsung menyaksikan dan meliput peristiwa itu.
Pada 29 Agustus 2019, kedamaian di Port Numbay, sebutan untuk Kota Jayapura, terusik dengan aksi unjuk rasa yang berakhir anarkistis. Wartawan Kompas, Fabio Maria Lopes Costa, secara langsung menyaksikan dan meliput bagaimana momen-momen itu terjadi.
Pascamasalah kekerasan dan ujaran rasis atas mahasiswa Papua di Jawa Timur viral pada 16 Agustus 2019 di sejumlah grup media sosial, berbagai elemen masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus 2019.
Aksi unjuk rasa di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, berakhir ricuh yang ditandai dengan adanya pembakaran Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Barat dan Majelis Rakyat Papua Barat.
Aksi ini juga terjadi di Kota Sorong, salah satu daerah yang menjadi pusat ekonomi di Papua Barat. Bandar Udara Domine Eduard Osok Sorong dan lembaga pemasyarakatan setempat dirusak sekelompok orang.
Sementara itu, di Jayapura juga berlangsung aksi unjuk rasa yang diikuti sekitar 10.000 orang, tetapi berakhir dengan damai. Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Rudolf Albert Rodja secara langsung mengawal aksi massa.
Massa menyampaikan aspirasinya, jelas Gubernur Papua Lukas Enembe, Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua Yunus Wonda, di halaman Kantor Gubernur Papua di Kota Jayapura.
Saya pun segera mengontak Kepala Biro Kompas wilayah Sulawesi dan Indonesia Timur (Sulintim) Muhammad Final Daeng yang berada di Makassar, Sulawesi Selatan. Saya meminta izin pergi ke Manokwari untuk memantau situasi keamanan di sana seusai aksi unjuk rasa yang ricuh.
Ternyata Kak Eng, panggilan saya untuk Kepala Biro Sulintim, meminta agar saya tetap berada di Jayapura. Sebab, rekan Sulintim dari Ambon, Frans Pati Herin, akan pergi ke Papua Barat untuk membantu saya.
Pasca-aksi unjuk rasa pada 19 Agustus 2019, pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika membatasi akses jaringan internet. Hanya fasilitas perhotelan, perbankan, pertokoan, atau warga yang memiliki fasilitas jaringan Wi-Fi atau satelit yang bisa mengakses internet, tetapi dengan kapasitas terbatas.
Kerusuhan
Setelah internet dibatasi, saya pun terpaksa harus mengirimkan berita melalui salah satu hotel di Jayapura yang memiliki layanan internet cukup memadai, yakni Hotel Aston Jayapura. Biasanya, kami mengirimkan berita dari lobi hotel.
Namun, layanan internet di hotel juga terbatas. Apabila terdapat puluhan jurnalis di lobi, saya akan kesulitan untuk mendapatkan akses ke jaringan Wi-Fi milik hotel.
Pada 28 Agustus 2019, Papua dihebohkan dengan aksi unjuk rasa di Kabupaten Deiyai yang berakhir anarkistis. Berdasarkan data dari Polda Papua, satu anggota TNI Angkatan Darat dan empat warga sipil meninggal dunia dalam insiden tersebut.
Selain insiden Deiyai, para wartawan juga mendapatkan informasi akan ada aksi unjuk rasa besar-besaran di Kota Jayapura pada keesokan harinya. Aksi ini untuk meminta adanya penegakan hukum atas pelaku persekusi serta rasisme terhadap mahasiswa Papua dan meminta pembatasan internet segera dicabut.
Pada 29 Agustus 2019, sekitar pukul 09.00 WIT, saya telah berada di lobi Hotel Aston untuk memantau informasi. Ternyata massa telah memadati salah satu lokasi di Distrik Abepura.
Sekitar pukul 12.00 WIT, menggunakan sepeda motor, saya mengecek kondisi terakhir di Distrik Abepura. Ternyata ribuan orang telah memadati jalan umum sepanjang daerah Kotaraja hingga depan Polsek Abepura. Situasi keamanan masih kondusif saat itu.
Saya pun memutuskan kembali ke Hotel Aston di Distrik Jayapura Utara. Perjalanan dari Abepura ke Hotel Aston hanya memakan waktu sekitar 20 menit jika tidak mengalami kemacetan di jalan.
Sekitar pukul 14.00 WIT, saya meliput aksi unjuk rasa sekelompok orang di Taman Imbi yang berdekatan dengan Hotel Aston. Salah seorang pengunjuk rasa sempat meneriaki saya agar tidak mengambil foto aksi unjuk rasa. Namun, saya tetap nekat mengambil foto secepat mungkin.
Tiba-tiba salah seorang perwira Polres Jayapura Kota yang berada di Taman Imbi memberikan info bahwa aksi unjuk rasa di Abepura berakhir ricuh. Kantor Majelis Rakyat Papua dibakar massa.
Mendapatkan informasi itu, saya pun langsung menjemput istri di tempat kerjanya di daerah Dok V, Distrik Jayapura Utara. Saya langsung mengantarnya ke tempat kos kami di Distrik Jayapura Selatan. Saya meminta istri saya agar tetap tenang dan segera mengungsi ke tetangga terdekat jika situasi tidak kondusif.
Setelah itu, saya pun langsung memacu motor kembali ke Distrik Abepura untuk melihat langsung Kantor Majelis Rakyat Papua yang dibakar massa. Namun, di tengah jalan di Kelurahan Entrop, sejumlah anggota polisi melarang saya ke Abepura karena situasi tidak kondusif.
Terjebak di hotel
Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Hotel Aston. Sayangnya, saya tak dapat mengakses jaringan internet karena banyak wartawan dan pengguna lain yang telah memakai layanan Wi-Fi. Semua wartawan di lobi Hotel Aston dalam posisi siaga untuk meliput aksi unjuk rasa di pusat kota. Menurut rencana, massa dari Abepura menuju ke Kantor Gubernur Papua.
Kami mendapatkan info, dalam perjalanan ke kantor gubernur, massa telah membakar serta merusak sejumlah fasilitas publik, toko, dan rumah warga. Sekitar pukul 16.00 WIT, massa memasuki pusat kota di Distrik Jayapura Utara. Untuk keamanan, kami semua yang berada di lobi bersembunyi di lantai 11 hotel tersebut. Lantai 11 biasanya menjadi tempat kegiatan atau seminar.
Sekitar 20 orang berkumpul di lantai 11. Dari tempat itulah kami melihat massa mulai membakar sejumlah kantor, seperti Grapari Telkomsel Jayapura dan sejumlah kendaraan bermotor.
Kami pun mendengar beberapa kali aparat kepolisian melepaskan tembakan peringatan untuk menghalau massa. Namun, massa tetap nekat melanjutkan aksinya.
Dari tempat itu, kami melihat banyak pengunjuk rasa yang berada di sekitar area hotel. Dalam hati, saya pun berdoa agar massa tidak menyerang masuk ke dalam hotel. Saat itu, sejumlah wartawan telah memikirkan jalur evakuasi jika massa mencoba masuk ke hotel.
Dalam hati, saya pun berdoa agar massa tidak menyerang masuk ke dalam hotel.
Saat kerusuhan di pusat kota, tiba-tiba layanan pesan dan telepon seluler terputus. Hanya tersisa jaringan internet melalui Wi-Fi. Saya pun meminjam telepon salah satu rekan wartawan bernama Ardiles yang terhubung dengan jaringan Wi-Fi milik hotel.
Saya menghubungi Kak Eng dan melaporkan kondisi kerusuhan di Kota Jayapura via panggilan suara Whatsapp. Setelah itu, saya langsung mengirimkan berita dan foto.
Dari hasil pendataan Polda Papua, fasilitas yang dirusak dan dibakar meliputi 31 kantor, 15 ruko, 24 kios, 33 sepeda motor, 36 mobil, dan 7 pos polisi.
Sekitar pukul 18.00 WIT, kami kembali turun ke lobi dan tetap memantau situasi Jayapura hingga pukul 21.00 WIT. Ada sejumlah wartawan yang memutuskan untuk menginap di hotel karena merasa situasi belum kondusif.
Sementara saya dan sejumlah rekan wartawan tetap pulang ke rumah. Saya merasa khawatir karena belum mengetahui kondisi istri di tempat kos selama berjam-jam akibat jaringan telepon dan SMS terputus.
Dalam perjalanan pulang ke kos, saya menyaksikan puing-puing bangunan yang terbakar. Ada sejumlah ban mobil yang dibakar di tengah jalan.
Saya terus berdoa dalam hati agar tidak menghadapi kendala di jalan. Di salah satu ruas jalan, terdapat sejumlah orang yang berkumpul di pinggir jalan. Saat melewati jalan itu, salah seorang dari mereka memanggil saya. Ia mencoba menghentikan motor saya. Namun, saya tetap memacu motor dengan kecepatan tinggi sehingga orang tersebut kemungkinan tidak berani.
Akhirnya saya tiba di rumah dengan selamat. Istri saya pun dalam kondisi aman. Pasca-insiden tersebut, saya bersama semua pria di kompleks permukiman kami terus berjaga setiap malam hingga dini hari selama sepekan.
Mabes Polri pun segera mengirimkan sekitar 4.000 personel Brimob Nusantara ke wilayah Papua untuk mengamankan situasi pasca-insiden tersebut. Kini, kedamaian telah kembali ke Kota Jayapura. Kota di mana saya bermukim sejak 4 Januari 2014.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan merehabilitasi fasilitas publik yang rusak dalam kerusuhan di Jayapura. Kementerian Sosial, Pemerintah Provinsi Papua, dan Pemerintah Kota Jayapura telah menyiapkan dana untuk membantu para korban dalam insiden itu.
Meliput kerusuhan di Jayapura merupakan salah satu pengalaman menyedihkan selama karier jurnalistik saya. Kota yang begitu saya cintai tiba-tiba berubah menjadi tempat yang menakutkan.
Mudah-mudahan Kota Jayapura kembali pulih dan insiden ini tak terjadi lagi di masa mendatang. Sesuai dengan moto Kota Jayapura, yakni hen tecahi yo onomi t’mar ni hanased yang berarti ’satu hati membangun kota untuk kemuliaan Tuhan’.