Pegasus Jatuh
Pegasus jatuh. Tumbang. Berdebam. Sebelum mendarat ke tanah, ia sempat menabrak beberapa dahan dan ranting, memunculkan bunyi krak krek dan kemresek dedaunan yang ikut tergesek tubuhnya dan berguguran. Mian langsung menghambur keluar rumah dan berteriak kencang.
”Bapak! Pegasus jatuh!”
Kuletakkan golok yang tengah kuasah dan bergegas menuju ke samping rumah. Di sana, di dekat pohon tengkawang, kulihat Pegasus tergeletak diam. Mian tampak bersimpuh di sebelahnya, menangis terisak-isak sambil menyentuh tangan Pegasus. Ketika sudah berada di dekat Mian dan Pegasus yang tergeletak diam, aku menyentuh pergelangan tangan Pegasus, kemudian ke bagian lehernya, dan bagian-bagian tubuh lainnya yang secara nalarku, menunjukkan detak jantung, sama seperti bagian tubuh manusia. Sayangnya, Pegasus bukan manusia.
Pegasus adalah nama yang diberikan Mian untuk memanggil orangutan berumur lima tahun itu, yang kutemukan setahun lalu. Nama Pegasus sendiri didapatkan Mian dari buku dongeng bergambar yang dia baca di mobil perpustakaan keliling yang sebulan sekali singgah di sekolahnya. Bagi Mian, nama Pegasus keren sekali, sekeren sosok binatang mitologi itu, seekor kuda bersayap yang membuat kuda tersebut bisa terbang tinggi menembus awan.
Ketika kubilang nama Pegasus tak cocok untuk orangutan, dia langsung membantah, ”Nanti akan cocok Pak, kalau dia sudah bisa memanjat pohon dan loncat sana-sini. Sama kayak terbang kan?” ujar bocah enam tahun itu dengan senyum yang menurun dari ibunya.
Alasannya kuterima tanpa perbantahan. Bagiku, nama apa pun tak masalah. Aku bilang kepadanya nama itu tak cocok buat orangutan, lebih karena ingin mengajari anakku itu untuk punya alasan atas pilihannya. Tak penting apakah alasannya diterima orang lain, yang buatku penting adalah dia yakin akan alasannya. ”Dari kecil, kamu sudah mengajari dia keras kepala,” protes istriku setiap kali dia memergoki aku mengajari Mian untuk menemukan alasan dan mempertahankannya. ”Kalau aku tak keras kepala, aku tak akan menikahi kamu,” jawabku yang langsung dibalas dengan dengusan kesal istriku.
Jawaban ini paling cepat dan mudah membungkam omelannya, karena memang seperti itu kejadiannya. Aku meninggalkan kampung halamanku di Jawa, merantau tak tentu arah di Kalimantan, dan ketika bertemu dengannya di desa ini, aku memutuskan menyudahi perantauanku. Ketika Mian lahir, niatku yang sempat ingin mencoba peruntungan di daerah lain, semakin memudar, meski uang yang kudapatkan dari kerja serabutan masih jauh dari cukup.
Waktu menemukan Pegasus, sebenarnya aku melihat peluang mendapatkan uang. Aku dengar dari Jamal, salah satu manajer di kebun sawit tempatnya bekerja, suka memelihara binatang liar. ”Sudah lama dia nyari orangutan. Kalau kamu temukan binatang aneh-aneh selagi motong kayu, ambil aja, dia pasti mau beli,” kata Jamal suatu kali di sebuah warung kopi. Aku tidak menjanjikan apa pun karena aku tahu risiko membawa binatang keluar dari hutan sangat tinggi. Cukup sudah risiko yang kutanggung dengan membawa kayu-kayu gelap dari hutan, yang biasanya kuhanyutkan ke sungai saat malam hari. Tak mau aku menambahnya dengan kemungkinan ditangkap polisi hutan saat membawa binatang.
Iming-iming dari Jamal langsung teringat ketika aku menemukan Pegasus. Dia tergeletak lemah di sebelah induknya yang sekarat karena terkena perangkap pemburu. Aku duga ini pasti ulah Karman, yang memang dikenal gemar berkoar-koar di kampung, berburu ini-itu bahkan sering kali menenteng hasil tembakannya terang-terangan di jalanan kampung. Anak-anak biasanya langsung mengekornya, karena penasaran melihat bangkai binatang.
Aku sempat terdiam bingung kira-kira seperempat jam, memandang lekat ke Pegasus yang menggeliat-geliat di samping tubuh induknya. Tak tahan melihat matanya, aku mengambilnya dan kumasukkan ke dalam keranjang, kututupi daun nipah, dan setengah berlari bergegas pulang. Saat itu senja sudah surut dan hutan mulai gelap. Untunglah saat itu kondisi mendukung. Polisi hutan desa sudah tak beredar biasanya kalau sudah mulai gelap. Lagi pula, saat itu, aku tahu, mereka sedang malas patroli karena belum mendapat gaji.
Begitu tiba di rumah, Mian bengong sesaat melihat bayi orangutan yang besarnya hampir sebesar dirinya yang terhitung tak terlalu tinggi untuk anak usia lima tahun sebayanya. Mungkin karena aku tak bisa membelikannya susu sering-sering sehingga pertumbuhan badan Mian begitu lambat. Istriku sempat protes melihat keberadaan Pegasus. Tapi ia dengan cepat diam dan menahan senyum begitu melihat Mian melonjak-lonjak kegirangan dan memeluk Pegasus dengan gemas.
Tak lama setelah jatuh berdebam, Pegasus meregang nyawa dan mati. Orangutan bocah itu memang belum piawai memanjat pohon. Aku sempat bertanya-tanya tentang tingkah laku orangutan kepada Madun, yang pernah bekerja di sebuah kebun binatang di ibu kota provinsi. Demi menutupi keberadaan Pegasus, aku berbohong dengan bilang cuma iseng ingin tahu tentang orangutan karena pernah ikut Jamal mencari binatang itu untuk manajernya. Madun pun lalu memberitahu kalau orangutan yang masih muda, harus diajari memanjat pohon dengan cara dipancing. Apalagi untuk orangutan yang dari kecil hidup bersama manusia. Mereka biasanya lupa cara hidup di hutan.
Pegasus akhirnya memanjat pohon karena mengikuti Mian. Ia selalu mengikuti tingkah laku anakku yang lebih pecicilan. Biasanya mereka sering keluyuran bersama hingga ke pinggiran hutan di belakang rumah. Kubiarkan Mian mengajak Pegasus, tanpa khawatir ada orang lain tahu bahwa ada anak orangutan di rumahku. Paling aku cuma berpesan kepada Mian untuk tidak terlalu dekat dengan sungai. Kata Madun, orangutan tidak bisa berenang.
Sejak menikah, aku membeli tanah di dekat percabangan sungai, sedikit menjauh dari keramaian permukiman. Perlu waktu 30 menit memakai sampan untuk menyeberangi sungai hingga tiba ke kampung. Aku tak banyak bergaul, begitu pun dengan istriku. Wajar jika orang-orang kampung malas bertegur sapa denganku. Alhasil aku tak terlalu cemas ketika sepanjang hari hingga malam, Mian meraung-raung keras menangisi kematian Pegasus. Hanya istriku saja yang mulai uring-uringan dengan ulahnya.
”Inilah kenapa aku tak suka kamu bawa piara itu orangutan. Sekarang dia sudah mati, bikin susah kita juga. Biasanya kalau sudah menangis macam ini, lihat saja besok pasti Mian demam,” kata istriku sambil menaruh semangkuk sayur gulai nanas di depanku sambil merengut. Tak kutanggapi gerutuannya dan berusaha tak memperlihatkan ekspresi apa pun, aku menyendok nasi, mencampurnya dengan sayur gulai nanas, dan melahapnya dengan ikan asin goreng.
Benarlah kata istriku. Keesokan hari Mian demam. Tak berhenti sampai di situ, masalah kami bertambah dengan kemunculan Karman ke rumah. Dia langsung nyerocos mengancam melaporkan ke polisi begitu melihat Mian yang tak mau beranjak menangisi jasad Pegasus.
”Aku bisa saja tak melaporkanmu ke polisi. Tapi kau harus mau bawa teman-temanku ke lokasi emas. Kamu tak bisa menyangkal lagi. Aku tahu dari Jamal kalau kamu tahu tempat tambang emas di dalam hutan,” ancam Karman sambil menyeruput kopi yang dihidangkan istriku.
Sialan! Ternyata cerita itu sudah menyebar. Sebulan lalu, Pak Juo, orang paling tua di desa ini, memberitahuku tentang lokasi di salah satu kelokan sungai yang menurutnya, tanahnya masih mengandung emas. Dulu, memang banyak penambang emas yang datang ke desa ini, tapi mereka tak kembali setelah tak lagi mendapati emas di tanah yang mereka gali. Sungai-sungai pun kembali jernih setelah kepergian mereka yang sebelumnya membuat air sungai berwarna coklat keruh karena merkuri.
Tak ada yang tahu cerita Pak Juo selain aku. Ia bercerita ke aku pun lebih karena akulah satu-satunya orang di desa yang suka mengunjungi dirinya yang hidup sendiri di salah satu sisi hutan. Anaknya pindah ke kota lain dan jarang pulang menjenguknya. Banyak cerita ajaib yang kudapatkan dari suku Dayak tua satu itu yang membuatku betah berlama-lama di rumahnya. Salah satunya tentang tempat-tempat yang ternyata masih ada emasnya. Bodohnya aku yang begitu mudah ceritakan hal ini ke Jamal yang ternyata bermulut ember.
Sepulangnya Karman, aku gelisah memikirkan ancamannya yang akan memberikan versi ke polisi bahwa aku yang membunuh induknya Pegasus, dan Pegasus mati karena tak kuurus dengan benar. Aku sendiri tak tahu apakah memang ancaman dia itu bisa memenjarakanku, tapi semua orang di desa tahu bahwa dia punya kakak di kepolisian. Itulah makanya ia petentang-petenteng memamerkan senapan berburunya.
Menjelang sore, tiba-tiba aku mendengar istriku berteriak dari belakang rumah. ”Bang! Cepatlah kamu ke sini! Mian bikin ulah!” Aku sontak meletakkan rajutan tengkalang menuju ke belakang rumah. Di sana aku mendapati Mian tengah membakar ikan seluang. Segera kuhardik dia. ”Apa yang kau lakukan! Kau tahu akibatnya bakar ikan ini menjelang malam kan?” Aku segera berusaha mematikan api yang dibuatnya dari daun-daun kering yang ditumpuknya.
Mian menoleh dan menatapku dengan mata marah. Tatapannya itu membuatku ingin memukulnya. ”Kenapa kamu melakukan ini?” tanyaku berang.
”Karena Bapak lemah! Bapak enggak bisa menyembuhkan Pegasus! Bapak cuma diam saja diancam Bang Karman!”
Kesabaranku pun lenyap. Kutampar pipinya dan anak itu pun berlari masuk rumah. Dengan emosi yang coba kuredam, kubereskan sisa-sisa bakaran ikan yang dibuatnya, dan setelahnya berharap tidak ada gangguan gaib yang konon akan muncul ketika ikan sungai itu dibakar di hutan.
Malam itu aku tak bisa tidur memikirkan ulah Mian dan sepanjang malam sempat mendengar angin yang bertiup lebih kencang dari biasanya yang menurut istriku adalah bukti kemarahan yang gaib. Dulu aku tak percaya hal ini. Tapi setelah bertahun-tahun bermukim di sini dan sering mendengar hal-hal aneh dari Pak Joi, aku terpengaruh juga. Mungkin karena inilah, aku memarahi Mian habis-habisan dan kubiarkan kegusaranku akan ancaman Karman kulimpahkan ke bocah itu. Puncaknya, aku kunci anak itu di kamar hingga pagi tanpa memedulikan tangis ketakutannya.
Sejak saat itu, Mian mendiamkanku. Kata istriku, ia lebih banyak bermain di hutan dan baru pulang setelah matahari surut. Aku sendiri tak bisa banyak berbuat karena setiap hari mengantar Karman dan rombongannya ke lokasi penggalian. Ternyata mereka menemukan emas di sana. Alhasil, semakin hari rombongan mereka bertambah. Air sungai pun pelan-pelan mulai berwarna coklat. Dan semakin hari pula Mian menjauhiku, sampai pada suatu hari, istriku bilang Mian bercokol di atas pohon dan tak mau turun. Katanya kepada istriku, aku mau terbang bersama Pegasus.
Dewi Ria Utari, telah menerbitkan lima buku, baik novel maupun kumpulan cerpen. Saat ini, ia aktif berprofesi sebagai public relation, di antaranya menjadi Koordinator Humas dan Media untuk Indonesia Market Focus Country di London Book Fair 2019 serta Manajer Media dan Komunikasi untuk International Animal Rescue (IAR) Indonesia, sebuah NGO yang berpusat di Inggris.
Polenk Rediasa lahir di Tambakan, Buleleng, 1979. Bernama lengkap I Nyoman Rediasa, ia perupa dan dosen di Undiksha, Singaraja. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Denpasar, ISI Denpasar, dan pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Ia berpameran tunggal sejak tahun 2004 di sejumlah kota. Polenk Rediasa pernah mendapatkan penghargaan dalam Biennale Beijing tahun 2008.