Sup Ayam Marlina
Wisatawan yang pernah singgah di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, pasti menyadari sulitnya menemukan kuliner tradisional di sana.
Wisatawan yang pernah singgah di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, pasti menyadari sulitnya menemukan kuliner tradisional di sana. Rumah makan di Sumba, dari yang kelas atas hingga biasa-biasa saja, jarang menyuguhkan makanan khas pulau itu. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Saat menjelajahi Pulau Sumba beberapa waktu lalu, saya dan fotografer harian Kompas, Agus Susanto, merasakan sendiri susahnya mencari kuliner tradisional di sana. Jauh-jauh hari sebelum berangkat, kami sebenarnya sudah mencari informasi di internet mengenai rumah makan yang menyediakan menu tradisional Sumba. Namun, hasilnya sangat tidak memuaskan.
Ini sebenarnya agak mengherankan. Sebab, sejak beberapa tahun terakhir, kuliner telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari petualangan para wisatawan. Bahkan, hari-hari ini, wisata kuliner seolah menjadi genre wisata tersendiri.
Fenomena itu antara lain didorong oleh maraknya informasi mengenai makanan khas di berbagai daerah di Indonesia. Televisi, koran, majalah, situs berita, hingga blog pribadi dan beragam kanal media sosial seolah tak henti menyajikan informasi terbaru mengenai menu kuliner di suatu daerah, lengkap dengan rekomendasi rumah makan yang menjualnya.
Sebelum berangkat, kami juga bertanya kepada sejumlah kenalan yang pernah datang ke Sumba, tetapi mereka tak bisa memberi rekomendasi yang pasti. Oleh karena itu, sejak sebelum berangkat, kami sebenarnya merasa khawatir bakal kesulitan menemukan kuliner khas daerah itu.
Kekhawatiran itu langsung terbukti begitu kami sampai. Beberapa saat setelah mendarat di Sumba, kami makan siang di rumah makan yang berlokasi tak jauh dari Bandar Udara Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Begitu pegawai rumah makan datang dan menyodorkan menu, kami mencari-cari apakah ada makanan tradisional Sumba yang tersedia. Hasilnya nihil. Kami pun bertanya ke pegawai rumah makan itu, tetapi dia menjawab dengan gelengan kepala. Padahal, berdasarkan sejumlah informasi, rumah makan ini kerap jadi tujuan utama para wisatawan yang datang ke Sumba Barat Daya.
Malam harinya, kami mampir di rumah makan lain yang juga banyak dikunjungi para wisatawan. Namun, lagi-lagi tak ada kuliner tradisional Sumba di sana. Menu makanan di tempat itu justru sangat mirip dengan banyak rumah makan di Jawa yang menyajikan nasi goreng, ayam bakar, bakso, dan sebagainya.
Rowe pakoda
Akan tetapi, peruntungan kami mendadak berubah setelah bertemu pendiri Rumah Budaya Sumba, Pastor Robert Ramone. Saat kami curhat tentang susahnya mencari kuliner tradisional Sumba, Robert langsung mengajak makan malam di Rumah Budaya Sumba dengan menu rowe pakoda.
Rowe pakoda merupakan makanan tradisional Sumba yang terdiri dari campuran berbagai macam sayuran. Menurut Robert, rowe pakoda jarang disajikan di rumah makan dan restoran karena makanan itu dianggap sebagai makanan warga kurang mampu di Sumba.
”Rowe pakoda itu identik dengan makanan bagi masyarakat pinggiran atau masyarakat pedesaan yang miskin. Jadi rowe pakoda ini dianggap makanan ndeso sehingga tidak layak dihidangkan pada orang terhormat,” ungkap Robert yang dikenal sebagai pakar budaya Sumba.
Pada suatu malam, di Rumah Budaya Sumba yang berlokasi di Sumba Barat Daya, kami akhirnya menyantap rowe pakoda yang disajikan bersama dengan nasi jagung, ayam santan, dan cumi-cumi santan. Rowe pakoda yang dihidangkan malam itu terdiri dari campuran beberapa jenis sayuran, misalnya labu kuning, daun labu, dan pucuk daun ubi.
Sayur-sayuran itu kemudian dicampurkan dengan jagung yang sudah digiling sehingga menjadi mirip bubur. Dengan komposisi ini, rowe pakoda sebenarnya cukup mengenyangkan sehingga tak perlu dimakan bersama nasi. ”Rowe pakoda memang biasanya tidak dimakan dengan nasi,” kata juru masak Rumah Budaya Sumba, Elisabeth Paila Dappa (39).
Rasa rowe pakoda cenderung datar karena bumbunya sangat sederhana. Menurut Elisabeth, bumbu rowe pakoda antara lain bawang merah, bawang putih, jahe, daun kemangi, dan penyedap rasa.
”Kalau daun kemanginya lebih banyak, rasanya lebih enak,” kata perempuan yang bekerja di Rumah Budaya Sumba sejak tahun 2013 itu.
Namun, rasa datar rowe pakoda itu langsung berubah menjadi gurih begitu disantap bersama ayam santan. Apalagi, ayam santan yang diracik Elisabeth tidak terasa amis karena dagingnya berasal dari ayam kampung. Cita rasa makanan itu makin berwarna begitu kami mencampurkan cumi-cumi santan yang dimasak bersama sisa-sisa tinta yang masih ada di dalam tubuh hewan tersebut.
Menurut Elisabeth, sehari-hari, masyarakat Sumba kerap memasak rowe pakoda untuk dikonsumsi sendiri. Namun, dia menuturkan, sayur-sayuran dalam masakan tersebut bisa diganti sesuai selera atau stok yang tersedia. ”Terutama kalau pas musim jagung dan musim sayur, banyak yang masak rowe pakoda ini,” tuturnya.
Nasi goreng sumba
Meski pengalaman menyantap rowe pakoda terasa cukup istimewa, kami tentu tak puas dengan satu kuliner tradisional saja. Apalagi, selama sekitar seminggu di Sumba, kami berkesempatan menjelajahi pulau tersebut dari barat ke timur. Setelah meninggalkan Sumba Barat Daya, kami singgah di dua kabupaten lain, yakni Sumba Barat dan Sumba Timur.
Di dua wilayah itu, kami masih mencoba mencari kuliner tradisional Sumba. Sayangnya, pencarian itu tak membuahkan hasil yang memuaskan. Di sebuah restoran di Sumba Timur, misalnya, kami menemukan menu yang diberi nama nasi goreng sumba. Melihat menu tersebut, kami langsung memesannya karena berharap menemukan menu tradisional lain.
Namun, saat sampai di meja makan, ternyata menu itu bukanlah makanan khas Sumba. Makanan yang disebut nasi goreng sumba itu hanyalah nasi goreng biasa yang diletakkan di dalam telur goreng yang berbentuk seperti mangkok. Tak ada penjelasan kenapa makanan semacam itu dengan semena-mena diberi nama nasi goreng sumba. Pegawai restoran hanya membenarkan bahwa makanan itu bukanlah makanan khas Sumba.
Kali lain, kami mencoba menu sup ayam di sebuah rumah makan di Waingapu, ibu kota Sumba Timur. Menu ini tentu saja bukan menu yang khas Sumba. Namun, menu itu kami pilih karena mengingatkan pada film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Dalam film yang syutingnya berlokasi di Sumba itu, tokoh Marlina diperintahkan memasak sup ayam untuk para perampok yang datang ke rumahnya.
Karena tak punya pilihan lain, Marlina akhirnya menuruti permintaan itu. Namun, tanpa sepengetahuan para perampok, ia menambahkan racun di sup ayam tersebut. Oleh karena itu, seusai menikmati sup ayam buatan Marlina, para perampok pun meninggal dunia.
Malam itu, saat menikmati sup ayam di Waingapu, tiba-tiba ingatan melayang pada adegan-adegan di dalam film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Sambil menyantap kuah dan suwiran ayam di sup, muncul perasaan seolah kami tengah berada dalam semesesta film tersebut dan turut merasakan ketakutan yang dialami Marlina.
Mungkin restoran-restoran di Sumba perlu menghadirkan menu khusus yang diberi nama sup ayam marlina untuk menggenapi kurangnya kuliner khas yang disajikan untuk para wisatawan. Namun, jangan seperti cerita dalam film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, sup ayam itu tentu tak perlu ditambahi dengan racun.