Peneliti dari sejumlah lembaga di Ambon belum berhasil menemukan penyebab matinya ikan secara massal di Pulau Ambon dan sekitarnya dua pekan lalu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Peneliti dari sejumlah lembaga di Ambon belum berhasil menemukan penyebab kematian massal ikan di Pulau Ambon dan sekitarnya dua pekan lalu. Temuan Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Ambon yang menyatakan perubahan arus sebagai penyebabnya pun dikoreksi. Lantaran gagal menemukan hasilnya, proses penelitian akan dilakukan di Jakarta.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nugroho Dwi Hananto kepada Kompas di Ambon, Senin (23/8/2019), mengatakan, keputusan membawa sampel ikan ke Jakarta itu diambil dalam diskusi yang dihadiri para peneliti dari sejumlah lembaga lain. Perumusan hasil diskusi itu dilakukan akhir pekan lalu.
Selain Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI, peneliti dari lembaga lain berasal dari Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Ambon, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Sorong, dan BMKG Stasiun Geofisika Ambon.
Hasil kajian bersama, ikan yang ditemukan mati massal itu adalah ikan karang atau demersal sebanyak 23 jenis. Jenis ikan yang paling dominan adalah ikan kuli pasir (Naso hexacanthus) dan ikan tatu (Melichthys). Selain di pesisir Pulau Ambon, ikan mati massal juga ditemukan di dua pulau terdekat, yakni Pombo dan Haruku.
Dari sampel ikan yang diambil, tidak ditemukan fitoplankton beracun pada air maupun insang dan isi lambung ikan. Dengan begitu, hipotesa awal mengenai adanya fitoplankton di perairan itu, gugur. Sehari sebelum bangkai mulai terdampar pada 13 September lalu, tidak ada kejadian gempa di perairan itu. Dugaan sebelumnya bahwa kematian ikan akibat getaran bawah laut juga terbantahkan.
Sebelumnya, Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Ambon Ashari Syarief mengungkapkan, penyebab kematian ikan secara massal di pesisir selatan Pulau Ambon disebabkan penurunan suhu air laut. Kondisi itu menyebabkan ikan kehilangan keseimbangan sehingga lemas kemudian terhempas dipukul gelombang tinggi.
Suhu di dasar laut sekitar habitat ikan karang itu di bawah 20 derajat celcius pada siang hari. Adapun suhu permukaan laut sekitar 25 derajat celcius. Idealnya, suhu air laut lebih tinggi sekitar 5 derajat celcius. Habitat ikan itu berada pada kedalaman 5 meter hingga 15 meter.
"Pada dinihari, suhu air laut diperkirakan turun lebih jauh dibandingkan siang hari. Suhu dingin ini yang membuat ikan lemes. Saat ikan-ikan itu terdampar, di pesisir selatan Pulau Ambon sedang dilanda gelombang tinggi," katanya (Kompas 17/9/2019)
Nugroho Dwi Hananto mengatakan, proses penelitian selanjutnya akan dilakukan di Jakarta. "Sebagaian sampel sedang kami kirim ke Jakarta. (Untuk mengungkapkan) Penyebab utama (matinya ikan), butuh penelitian yang mendasar supaya tidak menimbulkan praduga yang meresahkan masyarakat. (Penelitian) berdasarkan bukti yang akurat," katanya.
Hanung Agus Mulyadi, peneliti Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI menambahkan, sampel itu akan diteliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI di Jakarta. Ia tidak dapat memastikan lamanya waktu penelitian tersebut. Adapun kendala yang dialami di Ambon adalah tidak adanya instrumen untuk uji toksisitas.
"Kematian ikan merupakan fenomena yang penyebabnya bisa jadi sangat kompleks. Bisa jadi kombinasi dari banyak faktor. Kami selaku peneliti mencoba membuat hipotesa yang bisa diuji di Ambon. Namun ada hipotesa yang pendekatan analisanya harus dilakukan di luar Ambon," kata Hanum.
Kematian ikan secara massal itu masih menimbulkan keresahan masyarakat. Banyak orang di Ambon mengaitkannya dengan gejala gempa dan tsunami.
Kendati pemerintah daerah, peneliti, dan BMKG Stasiun Geofisika sudah memberikan klarifikasi, masyarakat tampaknya belum puas. "Saya masih khawatir karena belum ada hasil penelitian yang jelas. Mobil saya sengaja diparkir menghadap ke bukit. Kalau ada gempa saya langsung lari," kata Lucky Noya (31), warga Ambon.