Pengembang perlu menunjukkan bahwa membeli hunian, selain untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, juga merupakan investasi. Insentif diharapkan menggairahkan sektor properti.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minat kaum milenial untuk membeli hunian dapat dibangkitkan dengan menunjukkan bahwa membeli hunian dapat sekaligus menjadi sarana berinvestasi. Meskipun demikian, perlu skema pembiayaan atau insentif untuk mengatasi kesenjangan pendapatan yang mungkin terjadi.
Ketua Umum Persatuan Realestat Indonesia Soelaeman Soemawinata, di Jakarta, Minggu (22/9/2019), mengatakan, ada kecenderungan bahwa generasi milenial menunda membeli rumah dan menggunakan uangnya untuk jalan-jalan atau memenuhi gaya hidup. Dengan pemahaman seperti itu, yang perlu dilakukan pengembang adalah mengubah persepsi dan menunjukkan bahwa membeli hunian dapat sekaligus berinvestasi.
”Orang muda itu mau berinvestasi. Hal itu terlihat dari ekspektasi mereka terhadap hunian, yaitu lokasi yang strategis dengan kualitas tinggi, bukan di daerah terpencil. Hal ini berbeda dengan generasi terdahulu, yakni yang penting membeli rumah dulu,” kata Soelaeman.
Ekspektasi tinggi itu terbentuk salah satunya karena mobilitas yang tinggi. Selain itu, kaum milenial terpapar gaya hidup perkotaan. Oleh karena itu, pengembang perlu memberikan pemahaman bahwa memiliki hunian sedari awal dapat sekaligus menjadi sarana berinvestasi.
Di sisi lain, terdapat jurang atau jarak antara ekspektasi atas hunian dan pendapatan kaum milenial yang sebagian besar baru meniti karier. Rentang pendapatan mereka berkisar Rp 5 juta, yakni kaum muda yang baru masuk dunia kerja, sampai ke puluhan juta per bulan.
Bagi mereka yang berpendapatan tinggi, ekspektasi mendapat hunian yang berlokasi strategis dengan kualitas baik akan lebih mudah diwujudkan. Namun, tidak demikian bagi kebanyakan dari mereka, sementara harga properti selalu naik.
Oleh karena itu, perlu insentif atau skema pembiayaan yang memungkinkan mereka bisa mengaksesnya. Pemerintah dapat memberi insentif berupa keringanan pajak. Sementara perbankan dan pengembang dapat membuat skema pembiayaan yang terjangkau dan disesuaikan dengan kenaikan pendapatan.
Jadi sasaran
Dalam ajang Indonesia International Property Expo 2019, kaum milenial menjadi salah satu kelompok yang banyak disasar pengembang. Oleh karena itu, produk yang ditawarkan disesuaikan dengan gaya hidup mereka.
Marketing and Communication Executive Perum Perumnas Rizwan Adi Pribadi dalam diskusi ”Lepas Beban Milenial Punya Gaya Hunian” mengatakan, beberapa gaya hidup kaum milenial antara lain suka mencari pengalaman dan inspirasi, suka beraktivitas fisik, serta ingin segala hal sederhana dan praktis.
Selain itu, kaum milenial juga tak bisa lepas dari gawai dan suka nongkrong.
Oleh karena itu, produk hunian yang sesuai dengan mereka adalah yang dekat dengan moda transportasi massal atau akses jalan tol. Sebab, hal itu akan memudahkan mobilitas. Selain itu, huniannya mesti tampak modern dan dekat dengan sarana olahraga atau tempat nongkrong, seperti kafe.
CEO PT Indonesia Jaman Sekarang Rico Tampenawas berpendapat, dunia properti memiliki siklus yang naik dan turun. Dua tahun terakhir, properti mengalami penurunan. Namun, saat menurun seperti ini, biasanya justru menjadi momen yang baik untuk berinvestasi di sektor properti, baik dengan membeli atau bekerja sama dengan pihak lain.
”Dengan relaksasi loan to value dari Bank Indonesia, uang muka menjadi lebih ringan, bahkan skemanya bisa bervariasi, termasuk uang muka bisa diangsur beberapa kali. Relaksasi ini membuat orang merasa mampu dan akan mendorong bisnis properti. Jadi, mau sampai kapan masyarakat menunggu kalau bukan sekarang,” kata Rico.
Sebelumnya, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), Kamis (19/9), memutuskan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan BI 25 basis poin ke level 5,25 persen. Selain memangkas suku bunga acuan, BI juga melonggarkan rasio LTV 5 persen untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan 5-10 persen untuk kredit kendaraan bermotor demi menambah daya tarik pembiayaan.
Sebelumnya, ketentuan pinjaman maksimal KPR untuk rumah tapak dan rumah susun berkisar 70-85 persen dari harga properti. Dengan pelonggaran itu, batas pagu meningkat menjadi 75-90 persen dari harga properti.