Hujan yang tidak turun selama tiga bulan terakhir membuat petani padi di beberapa wilayah Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, gagal panen.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Hujan yang tidak turun selama tiga bulan terakhir membuat petani padi di beberapa wilayah Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, gagal panen. Tidak ada sumber air alternatif yang dapat digunakan mengairi sawah. Akibatnya, para petani pun merugi.
Hamparan sawah yang ditanami padi di Kecamatan Kakas Barat dan Langowan Timur terlihat kering dengan tanah pecah-pecah, Senin (23/9/2019). Daun-daun tanaman padi tanpa buah telah layu dan menguning. Luas potensi tanam padi di dua kecamatan itu 1.306 hektar.
Roni Iroth (49), petani, tetap mendatangi sawah di Desa Kalawiran, Kakas Barat, tetapi hanya untuk memberi pakan ternak sapi. Ternak itu dirawatnya di tengah hamparan sawah di sisi selatan Danau Tondano. Padi yang telah ditanam di sawah seluas 1 tektek (0,3 hektar dalam ukuran Minahasa) miliknya ia relakan mati perlahan.
Sejak saya tanam padi, 28 Juni lalu, hujan cuma turun sekali tanggal 19 Agustus. Setelah itu, kering sama sekali. (Roni Iroth)
”Sudah tiga bulan hampir tidak ada hujan sama sekali. Sejak saya tanam padi, 28 Juni lalu, hujan cuma turun sekali tanggal 19 Agustus. Setelah itu, kering sama sekali,” kata Roni.
Ada saluran irigasi di dekat lahan sawah miliknya yang menyalurkan sedikit air. Namun, ia memilih membiarkannya mengering. ”Daripada berebut dengan petani lain, saya mengalah saja. Nanti saya beli gabah basah saja karena saya punya mesin penggiling untuk mengolah jadi beras,” katanya.
Roni harus merelakan penghasilan kotor Rp 10 juta yang mungkin dibawa oleh panen dari lahan padinya. Menurut dia, ia bisa menghasilkan 15-16 karung beras, masing-masing karung beratnya 60 kilogram. Padahal, ia sudah mengupah buruh tani sekitar Rp 2 juta untuk membajak dan menanam padi.
Ratusan hektar sawah padi di Desa Wasian dan Desa Touliang, Kakas Barat, juga kering kerontang. Semakin tinggi undakan petak sawah, padi yang belum berbuah tampak semakin kuning. Keadaan ini pula yang membelenggu 0,3 hektar sawah milik Djonny Tagah (62) di Desa Touliang.
”Saya tanam sejak awal Agustus, tetapi hujan cuma turun sekali. Karena semakin kering, padi yang baru ditanam tidak bisa tumbuh lagi buahnya. Kami tidak ada sumber air lain,” kata Djonny.
Selokan lebar yang menjadi saluran irigasi di tepi sawah tak lagi terisi air saat kemarau. Menurut dia, keadaan ini sudah berlangsung lebih dari 10 tahun sejak dua dari tiga sumber air tanah yang tadinya merupakan sumber air irigasi dialihkan menjadi sumber air perusahaan daerah air minum (PDAM).
”Jadi, kami tinggal mengandalkan tadah hujan. Modal persiapan tanam Rp 2 juta sudah hilang,” katanya.
Djonny juga merelakan potensi 20 karung beras seberat total 1 ton yang dapat dihasilkan sawahnya dengan penghasilan bersih Rp 7 juta-Rp 8 juta. Karena itu, ia memilih untuk tidak menanami lahannya yang terletak di Desa Wasian agar kerugian tak makin membengkak.
Minahasa memiliki 15.902 hektar sawah padi dengan total produksi padi pada 2018 sebanyak 91.468 ton.
Cari bantuan
Kepala Dinas Pertanian Minahasa Yeittij Fonnie Roring mengatakan, pihaknya telah memantau kekeringan di sawah. Ini terjadi di beberapa kecamatan, seperti Kakas, Kakas Barat, Langowan Utara, dan Langowan Timur, dan di kawasan Tondano. Namun, kekeringan terbesar terjadi di Kakas Barat. Tidak ada air yang mengalir sama sekali ke Kakas Barat karena tiada sumber air.
Menurut Yeittij, padi dipanen setiap empat bulan sekali sejak ditanam. Artinya, panen pada September ini berasal dari penanaman pada Mei lalu. Ia memperkirakan, padi yang ditanam di 354 hektar sawah tak akan memberikan hasil maksimal. Pemerintah tidak menyediakan asuransi bagi petani sebagai antisipasi gagal panen.
Sampai sekarang belum ada data resmi jumlah lahan yang gagal panen. Namun, Yeittij yakin dampaknya tak akan parah pada masyarakat. ”Kegagalan panen di satu daerah bisa ditutupi dengan panen di daerah lain. Kekeringan juga tidak begitu luas di daerah lain. Di Kecamatan Remboken, misalnya, cuma 20 hektar dari 638 hektar,” katanya.
Untuk mengatasi hal ini, pihaknya telah mengambil langkah awal mengisap air dari sumur tanah dangkal dengan pompa kemudian mengalirkannya ke sawah. Ini dilakukan di wilayah yang dekat sumber air, seperti beberapa kecamatan di Tondano yang dekat Danau Tondano.
Namun, kekeringan di Kakas Barat dan Langowan lebih sulit diatasi. ”Karena itu, kami ajukan permohonan bantuan ke pemerintah pusat. Kami meminta pompa air, pembangunan sumur tanah dangkal, dan benih padi. Nantinya, air akan ditampung untuk dialirkan ke sawah,” kata Yeittij.
Hujan mulai turun Senin siang di Tondano, tetapi belum merata ke daerah lainnya. ”Kita juga berdoa agar hujan yang ditunggu-tunggu cepat turun,” ujar Yeittij.