Ketika Perjuangan Rasminah dan Korban Perkawinan Anak Berhasil
Tanggal 16 Agustus 2019 menjadi hari bersejarah bagi perempuan di Tanah Air. Sebab, hari itu Rapat Paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, perubahan UU tersebut juga dan mengatur dispensasi perkawinan secara ketat.
Mengapa bersejarah, karena dengan perubahan Undang-Undang Perkawinan tersebut, tidak boleh lagi ada anak perempuan yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 19 tahun. Itu artinya, jangan ada lagi perkawinan anak di Indonesia.
“Alhamdulillah, seneng banget, dengan kabar kalau DPR menaikkan umur minimal untuk perempuan menikah jadi sembilan belas tahun. Perjuangan kami jadinya tidak sia-sia. Alhamdulillah, suara kami ternyata didengar dan ditanggapi. Semoga enggak ada lagi anak-anak perempuan yang mengalami nasib seperti kami,” ujar Rasminah (33), warga Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (16/9/2019).
Alhamdulillah, suara kami ternyata didengar dan ditanggapi. Semoga enggak ada lagi anak-anak perempuan yang mengalami nasib seperti kami
Rasminah adalah satu dari tiga korban perkawinan anak yang menjadi pemohon Uji Materi Pasal 7 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi pada 2017. Dua pemohon lainnya adalah Endang Wasrinah (35), warga Indramayu dan Maryanti (30), warga Bengkulu Tengah.
Setelah perubahan UU Perkawinan disahkan, Rasminah berharap, UU tersebut segera disosialisasikan pemerintah sampai ke desa-desa, terutama di daerah yang masih ada praktik perkawinan anak.
“Menikah saat masih anak-anak sangat menyiksa. Enggak cuma badan yang enggak siap, batin pun tersiksa. Bayangkan saya masih ingin ke sekolah, bermain dengan teman-teman, tapi disuruh kawin oleh orangtua,” ujar Rasminah yang menikah pada usia 13 tahun, saat duduk di kelas VI SD.
Semua pengalaman pahit Rasminah, Endang, dan Maryanti sebagai korban perkawinan anak disampaikan dalam permohonan gugatan uji materi di MK. Pada 13 Desember 2018 MK memutuskan bahwa Pasal 7 ayat 1 sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” UU No 1/1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pembentuk UU diminta segera melakukan perubahan atas Pasal 7 ayat 1 UU No 1/1974.
Pasal 7 ayat 1 UU No 1/1974 berbunyi, ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Matang jiwa raga
Pasca putusan MK, pemerintah yang diwakili Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KPPPA) langsung bergerak cepat melakukan kajian, menyusun naskah akademis dan draft RUU Perubahan atas UU Perkawinan. Di DPR pun proses bergulir dengan cepat, Badan Legislasi juga membahas perubahan UU tersebut.
Baik pemerintah maupun DPR sama-sama berpendapat, batas usia minimal untuk perempuan melangsungkan perkawinan, tidak boleh lagi 16 tahun, tetapi harus dinaikkan. Pemerintah batas minimal usia menikah bagi perempuan adalah 19 tahun.
Pertimbangannya, batas usia 19 tahun dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan. Dengan menikah pada usia 19 tahun juga menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Dari sisi pendidikan, seorang anak pada usia 19 tahun sudah menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA/SMK atau wajib belajar 12 tahun.
Pertimbangannya, batas usia 19 tahun dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Awalnya DPR mengusulkan batas usia 18 tahun. Seperti pemerintah, DPR menilai usia 18 tahun tidak jauh berbeda dengan usia 19 tahun, sama-sama sudah matang untuk melakukan perkawinan.
Setelah melalui pembahasan, dalam rapat di Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk membahas Perubahan Atas UU 1/1974 tentang Perkawinan, Kamis (12/9/2019), Panitia Kerja DPR dan tim pemerintah sepakat bahwa batas usia minimal perkawinan untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Berbeda dengan partai lainnya, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan tetap pada usulan usia perkawinan laki-laki dan perempuan adalah 18 tahun.
“Dari sisi substansi, perubahan pada pasal 7 ini sebenarnya merupakan lompatan kemajuan setelah melalui serangkaian pergulatan pemikiran, perbedaan, bahkan kesalahpahaman, baik dalam dimensi ideologis maupun fungsional selama 45 tahun sejak UU No 1/1974 disahkan,” kata Wakil Ketua Baleg Totok Daryanto.
Proses cepat
Berbeda dengan proses UU yang lain, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang berjalan lambat, proses perubahan UU Perkawinan di DPR boleh dibilang berjalan sangat cepat. Sebab, tidak sampai sepekan setelah rapat Baleg, pada Senin (16/9/2019) DPR langsung mengesahkan RUU Perubahan atas UU Perkawinan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise, bersama perwakilan Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM tidak menyangka, proses di DPR akan berlangsung secepat itu. Dari persetujuan di Baleg kemudian ditetapkan dalam Paripurna DPR, tidak sampai sepekan.
“Ini pembahasan RUU tercepat di DPR. Hanya satu kali pertemuan langsung disetujui, kemudian disahkan, benar-benar tidak menyangka. Saya hampir tidak bisa berkata-kata. Setelah 45 tahun akhirnya terjadi perubahan besar-besaran, dengan mengubah UU Perkawinan,” ujar Yohana Yembise, didampingi Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin dan Deputi Perlindungan Anak Nahar.
Saya hampir tidak bisa berkata-kata. Setelah 45 tahun akhirnya terjadi perubahan besar-besaran, dengan mengubah UU Perkawinan.
Revisi diperluas
Perubahan UU Perkawinan yang disahkan DPR dinilai sebagai lompatan besar dan awal membangun peradaban baru yang melindungi perempuan dari perkawinan anak. Selain umur perempuan dinaikkan menjadi 19 tahun, permohonan dispensasi pun diperketat.
Kini, permohonan dispensasi hanya kepada pengadilan, itu pun dengan alasan mendesak disertai bukti pendukung yang cukup. Sebelumnya, permohonan dispensasi bisa juga disampaikan kepada pejabat lain yang ditunjuk oleh orangtua pria maupun wanita.
Tak hanya itu, jika dulu suara calon pengantin tidak pernah didengar, dalam perubahan UU Perkawinan, pengadilan wajib mendengar pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Kendati telah disahkan, perubahan Pasal 7 dalam UU Perkawinan tidak akan memberikan arti apa-apa jika perubahan tersebut tidak disosialisasikan kepada pemangku kebijakan, termasuk masyarakat terutama di tingkat paling kecil yakni keluarga.
“Perkawinan anak akan terus terjadi, jika masyarakat tidak memahami bahaya dari perkawinan anak,” kata Lenny N Rosalin.
Perkawinan anak akan terus terjadi, jika masyarakat tidak memahami bahaya dari perkawinan anak.
Sebelum berubah, Pasal 7 UU No 1/1974 tentang Perkawinan menyebutkan: ayat (1): Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ayat (2): Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Ayat (3): Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Setelah berubah, Pasal 7 UU No 1/1974 tentang Perkawinan menyebutkan: ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Ayat (2): Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Ayat (3): Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Ayat (4): Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).