Magis dan Eksotik di Taman Gandrung Terakota
Matahari yang perlahan tenggelam tidak lagi membiaskan bayangan lenggak-lenggok ratusan patung tembikar berbentuk penari gandrung. Bayangan itu seolah merasuk ke dalam patung untuk memberi nyawa.
Melihat patung tersebut menjelang gelap, menawarkan sensasi tersendiri. Takut jika tiba-tiba patung-patung tersebut bergerak. Saat semakin gelap, lampu-lampu sorot dinyalakan menerangi beberapa bagian patung.
Patung-patung itu tak lagi kaku terdiam. Perlahan pundak-pundak para penari yang dipatungkan itu seolah bergerak. Sampur yang menggantung di pundak hingga pergelangan tangan seperti tersibak hendak mengajak siapa saja yang melihatnya untuk ikut menari. Tidak hanya menari, patung-patung itu seolah juga melempar senyum dan mengedipkan mata di tengah kegelapan malam. Berdiri di hadapan ratusan patung kini terasa menyaksikan pertunjukan tari gandrung.
Suara jangkrik dan kodok terdengar seperti tabuhan gamelan dan kendang yang menemani penari gandrung berlenggak lenggok. Hewan-hewan itu seolah menyambut sosok yang hadir. Mungkin mereka merasa Dewi Sri yang dilambangkan sebagai Gandrung benar-benar hadir petang itu.
Ikon Banyuwangi
Taman Gandrung Terakota menjadi ikon baru Banyuwangi, yang di dalamnya terdapat 400 patung dari tanah liat berdiri. Setiap patungnya terpahat keelokan gerakan tari Gandrung Sewu. Setiap bulan, sendratari turut meniupkan roh gandrung di taman ini. Taman Gandrung Terakota merupakan destinasi wisata baru di Banyuwangi. Lokasi Taman Gandrung Terakota berada satu kompleks dengan Jiwa Jawa Resort di Kaki Gunung Ijen, tepatnya di Kecamatan Licin, Banyuwangi.
Berada di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut membuat suasana selalu terasa sejuk. Kawasan yang masih asri karena dikelilingi oleh hamparan sawah membuat kawasan tersebut sangat nyaman dan cocok untuk melepas kepenatan di akhir pekan. Pemandangan menjadi menarik karena dari lokasi tersebut pengunjung juga bisa melihat gagahnya Gunung Ijen di sebelah barat.
Tidak hanya itu, pengunjung juga dimanjakan indahnya pemandangan Selat Bali di sebelah timur. Sesuai namanya, sajian utama di Taman Gandrung Terakota ialah patung-patung gandrung yang terbuat dari terakota atau tembikar. Patung tembikar (tanah liat yang dibentuk kemudian dibakar) tersebut dibiarkan tampil natural. Patung-patung itu dibiarkan tampil alami dengan warna tanah liat yang coklat kemerahan. Patung-patung tersebut tersebar di lahan seluas 3 hektar.
Puluhan patung tampak berjajar rapi di pinggir sawah. Patung itu layaknya sedang tampil menari. Gerakan puluhan patung tersebut serempak dan terlihat eksotis. Sebagian patung mengangkat tangan kanannya hingga telapak menengadah ke atas langit tepat di atas kepala, sementara tangan kirinya berkacak pinggang.
Sementara sebagian lainnya berdiri berlawanan mengangkat tangan kiri. ”Ini kita seperti sedang nonton pertunjukan tari Gandrung Sewu, ya. Senyum penarinya itu seperti natural dan membuat patung ini hidup,” ujar Prisca (24), seorang pengunjung.
Tidak semua patung ditata sejajar atau berbaris rapi. Beberapa patung justru ditempatkan oleh pembuatnya di tengah sawah dalam formasi yang tak beraturan. Bahkan, beberapa patung lain dibiarkan tenggelam di kubangan lumpur dan air sehingga terasa suasana magis. Patung-patung tersebut memang dibiarkan menyatu dengan alam. Posisi berdirinya atau keberadaan mereka di taman dibiarkan tanpa atap sebagai penaungnya.
Panas terik dan rintik hujan membuat patung-patung tersebut terlihat semakin eksotis. Beberapa bagian dari patung itu mulai ditumbuhi lumut. Kala malam tiba, tata cahaya lampu yang ditembakkan ke patung-patung Gandrung itu menampilkan kesan elegan. Pengunjung benar-benar serasa disuguhi pertunjukan tari gandrung di sebuah panggung yang megah dan terbuka.
Pemilik Jiwa Jawa Resort sekaligus penggagas Taman Gandrung Terakota, Sigit Pramono, mengatakan, di Indonesia dan banyak negara lain sudah banyak monumen-monumen yang ditandai dengan patung-patung besar. Namun, khusus untuk Taman Gandrung Terakota ingin hadir dalam sebuah konsep yang berbeda.
”Kami ingin menjadi antitesis. Taman Gandrung Terakota hadir sebagai sebuah monumen lebih membumi. Patung yang ditampilkan terbuat dari tembikar yang rawan pecah, dan mudah rusak. Tembikar tersebut berbahan baku tanah liat karena kami ingin menampilkan siklus kehidupan dari tanah kembali ke tanah,” kata Sigit, Sabtu (19/1/2019).
Memuliakan Dewi
Taman Gandrung Terakota, lanjut Sigit, sengaja dibangun di daerah persawahan. Sawah memiliki kedekatan dengan tanah liat dan gandrung. Gandrung, menurut Sigit, merupakan salah satu kesenian yang ditujukan untuk memuliakan Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan.
Taman Gandrung Terakota memang terinspirasi dari Terracotta Warriors and Horses di Tiongkok yang dibangun pada masa Kaisar Qin Shi Huang (259-210 SM). Secara bertahap, Taman Gandrung Terakota akan terus menambah jumlah patung-patung gandrung hingga jumlahnya mencapai lebih dari 1.000.
Saat ini jumlah patung gandrung yang ada di Taman Gandrung Terakota baru berjumlah sekitar 400 buah. Model patung yang dipamerkan di dalam taman tersebut sebanyak empat model gerakan.
Gerakan-gerakan patung tersebut terinspirasi pada foto-foto penari gandrung yang diabadikan Sigit. Oleh pematung Budi Santoso, foto-foto tersebut dituangkan menjadi obyek tiga dimensi. Dalam penggarapannya, Budi Santoso dibantu oleh perajin tembikar dari Desa Kasongan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
”Sebenarnya bisa menghadirkan patung-patung cetakan, tetapi kami tidak ingin menghadirkan boneka maneken. Kami sengaja membuatnya secara manual karena ingin setiap patung hadir sebagai keunikannya masing-masing. Dengan dibuat manual, ada roh yang dititipkan pematung ke patung-patung yang mereka ciptakan,” ujarnya.
Sigit mengakui, patung-patung Gandrung tersebut memang benda-benda mati. Namun, ia punya cara menghidupkan Gandrung di Taman Gandrung Terakota. Setiap sebulan sekali di lokasi tersebut digelar pertunjukan kebudayaan tradisional. Kebudayaan itu berupa sendratari Meras Gandrung yang dirangkai dalam Festival Lembah Ijen.
Sendratari Meras Gandrung menceritakan proses seorang remaja putri yang dipersiapkan menjadi Gandrung. Sebelum bisa tampil di muka umum, seorang gandrung harus menjalani ritual Meras Gandrung sebagai upacara wisuda.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda mengatakan, Taman Gandrung Terakota merupakan perpaduan wisata yang kental dengan unsur budaya dan dibalut dengan wisata alam yang mendukung.
Ia menuturkan, wisata budaya merupakan salah satu daya tarik yang digemari wisatawan saat berkunjung ke suatu daerah. ”Hasil riset dari Kementerian Pariwisata menyebutkan, 60 persen kunjungan wisatawan ke suatu daerah karena tertarik dengan budayanya. Sementara 35 persen kunjungan karena alam. Sisanya, 5persen mereka datang karena wisata buatan,” katanya.
Tahun 2018, jumlah wisatawan Nusantara yang berkunjung ke Banyuwangi mencapai 5 juta orang. Sementara wisatawan mancanegara mencapai 100.000 orang. Pada 2019 jumlah kunjungan wisatawan ke Banyuwangi diharapkan naik menjadi 5,5 juta wisatawan Nusantara dan 150.000 wisatawan mancanegara.
Di Taman Gandrung Terakota, pengunjung juga bisa menikmati hidangan kuliner khas Banyuwangi. Para pengunjung bisa mengadakan berbagai kegiatan secara pribadi ataupun bersama komunitas. Misalnya, mereka bisa mengadakan pertemuan untuk arisan teman atau kelurga. Mengadakan pesta kebun, bahkan pesta pernikahan juga dimungkinkan digelar di sana. Pengunjung juga bisa menikmati galeri seni yang memamerkan aneka foto, lukisan, dan seni instalasi.
Mudah ditempuh
Bagi pengunjung yang akan datang ke Taman Gandrung Terakota cukup merogoh kocek Rp 10.000 per orang. Sementara untuk menonton pertunjukan Sendratari Meras Gandrung, pengunjung dipungut biaya Rp 100.000 per orang. Perjalanan menuju Taman Gandrung Terakota sangat mudah. Jaraknya sekitar 15 km dari pusat kota Banyuwangi. Menuju ke wilayah itu dapat ditempuh hanya dalam waktu 30 menit perjalanan.
Kendati tidak ada angkutan umum yang mengarah ke sana, banyak kendaraan sewa yang bisa mengantar pengunjung ke lokasi taman. Selama perjalanan menuju lokasi Taman Gandrung Terakota tidak akan membosankan.
Selama dalam perjalanan, para wisatawan akan disuguhi panorama keindahan alam lereng Gunung Ijen. Mereka juga bisa menikmati harumnya bau kopi yang matang saat melintasi hamparan Perkebunan Kopi Kalibendo. Lelah yang melanda seusai mendaki Gunung Ijen pun langsung hilang. Kepenatan itu jadi pengalaman indah yang tak akan pernah terlupakan. Jadi, kapan Anda ke Taman Gandrung Terakota?