Maleo dibilang burung cerdik lantaran selalu membuat sarang palsu untuk mengelabui pemangsanya. Beberapa lokasi tempat bertelur burung ini juga mengindikasikan ada sumber mata air panas.
Burung dengan nama Latin Macrocephalon maleo ini masih satu kerabat dengan burung gosong (Eulipoa wallacei). Hanya saja, selain warna bulunya berbeda, maleo juga mempunyai ciri khas unik, yaitu benjolan di kepala bagian atas. Keunikan maleo itu menjadikannya sebagai logo Taman Nasional Bogani Nani Wartab (TN BNW).
Berdasarkan daftar merah badan konservasi dunia (IUCN), status konservasi maleo adalah terancam (endangered). Status ini diberikan untuk spesies yang berisiko sangat tinggi mengalami kepunahan dan dikhawatirkan bakal punah. Populasinya di alam liar diperkirakan 8.000 sampai 14.000 ekor.
”Ancaman tertingginya adalah predator alami, seperti biawak dan ular. Namun, ancaman dari perburuan liar juga masih tinggi,” kata Mobius Tanari, peneliti maleo dari Universitas Tadulako, Palu, kepada Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas .
Untuk mengurangi ancaman predator, maleo selalu membuat sarang rata-rata dua sampai tiga lubang. Salah satu dari sekian sarang yang maleo buat adalah sarang asli yang berisi telur. Telur ditimbun dalam pasir atau tanah berpasir dengan kedalaman 60-70 sentimeter. Maleo jantan dan betina akan bergantian menggali lubang ataupun menimbun telur dengan pasir.
”Mereka butuh suhu tanah 32 derajat sampai 36 derajat celsius agar telur bisa menetas. Nah, benjolan pada kepala maleo diduga untuk mengukur suhu tanah,” ucap Mobius.
Berbagai pihak berusaha melestarikan si burung cerdik ini dari ancaman kepunahan. Pihak TN BNW, misalnya, menggandeng sejumlah mitra mereka mendirikan Suaka Maleo Tambun di Kabupaten Boolang Mongondow, Sulawesi Utara. Mitra mereka adalah Wildlife Conservation Society (WCS) dan Enhancing The Protected Area System in Sulawesi (EPASS), organisasi nirlaba yang bergerak di bidang konservasi.
”Sejak 2001, sekitar 4.000 telur maleo menetas di Suaka Maleo Tambun,” ujar Kepala Resor Dumoga Timur-Lolayan TN BNW Max Welly Lela yang juga bertugas di Suaka Maleo Tambun.
Oleh swasta, pelestarian burung maleo di Sulawesi Tengah dilakukan PT Donggi Senoro LNG, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan gas alam menjadi gas alam cair (LNG) di Kabupaten Banggai. Pusat pelestarian maleo itu didirikan pada 2013. Hingga kini, sebanyak 85 ekor burung maleo yang dilepasliarkan ke Suaka Margasatwa Bakiriang di Kabupaten Banggai.
”Salah satu tujuan didirikannya pusat pelestarian maleo oleh perusahaan adalah untuk menaikkan populasi maleo di alam liar,” ucap Corporate Social Responsibility Program Officer Donggi Senoro LNG Amal Fatullah Randy.
Maleo dan berbagai jenis burung pada umumnya mempunyai peran vital dalam sebuah ekosistem. Pada artikel berjudul ”Why we need birds (far more than they need us)” di laman BirdLife International, (4/1/2019), disebutkan beberapa peran penting burung di alam. Peran itu, antara lain, sebagai pengontrol hama, membantu penyerbukan, membantu penyebaran biji- bijian, dan sumber inspirasi bagi ilmu pengetahuan.
Teori seleksi alam hasil pemikiran Wallace bermula saat ia menyeberang dari Bali ke Lombok pada periode Juni- Juli 1856. Kepada Samuel Stevens, rekannya di Inggris, ia menulis surat bahwa meskipun tanah Bali dan Lombok sama, ketinggian dan iklim serupa, jenis burungnya sangat berbeda. Kelak, keunikan itu menginspirasi Wallace tentang teori seleksi alam. (OKA/ENG/APO)