Sampai Kapan Hidup di Planet Berpolusi?
Peningkatan jumlah penduduk seiring dengan penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan industri yang menjadi penyumbang polusi udara di dunia.
Polusi, terutama polusi udara, mengintai seluruh wilayah di Bumi. Emisi karbon telah naik sebanyak 61,2 persen selama hampir tiga dekade terakhir. Komitmen dunia mengurangi polutan menjadi harapan tetap lestarinya ekosistem bumi.
There Is No Planet B, judul salah buku di abad ke-21 karya Mike Berners-Lee yang diterbitkan Cambridge University Press, mengisahkan gambaran tentang keberlanjutan biodiversitas bumi. Ekosistem dan keanekaragaman hayati yang terancam serta lingkungan hidup manusia yang makin tercermar menjadi kombinasi sempurna kondisi bumi saat ini.
Industri, sistem transportasi, dan pembangkit energi listrik menghasilkan material polutan yang menembus jauh ke berbagai ekosistem hingga tubuh manusia. Tak berhenti, manusia pun membuang limbah yang tidak diolah ke lingkungan (sungai, danau, laut, udara), mempraktikkan pertanian tak berkelanjutan, serta mengubah seluruh ekosistem secara mendasar.
Baca juga: Pisau Bermata Dua Hutan Indonesia
Alhasil, tingkat polusi, khususnya polusi udara, tetap tinggi di banyak bagian bumi. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang menghirup udara dengan kandungan polutan tinggi, serta sekitar 7 juta jiwa orang meninggal tiap tahunnya karena pencemaran udara luar ruangan.
Peningkatan jumlah penduduk seiring dengan penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan industri yang menjadi penyumbang polusi udara. Selain itu, proses industrialisasi berjalan masif seiring pertumbuhan ekonomi global. Kegiatan industri berasosiasi dengan pembakaran bahan bakar fosil untuk pabrik dan mesin. Produk sampingan dari pembakaran tersebut adalah material polutan yang mampu mencemari lingkungan, termasuk udara.
Berdasarkan catatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Lingkungan (UN Environment), tidak ada wilayah di bumi yang bebas polusi. Jenis polusi yang paling banyak adalah polusi udara, diikuti polusi tanah dan air.
Bahan pencemar
Persoalan polusi udara tak lepas dari bahasan lima parameter pengukuran kualitas udara, yaitu sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), ozon, partikel halus (PM 10 dan PM 2,5), serta karbon monoksida (CO)/karbon dioksida (CO2). Dari kelima parameter tersebut, partikel halus, yaitu PM 2,5, adalah yang paling berbahaya sebab berasal dari kegiatan di sekitar tempat tinggal (industri, transportasi, dan debu) serta penumpukannya di dalam tubuh yang tidak terasa.
Definisi ”PM” adalah singkatan dari partikel, sedangkan ”2,5” berarti diameter obyek 2,5 mikron atau lebih kecil dari ukuran bakteri tunggal. Partikel tersebut mampu bersarang di paru-paru dan menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang, seperti asma dan penyakit paru-paru kronis. WHO merekomendasikan untuk menjaga level PM 2,5 sekitar 10 mikrogram per meter kubik.
Data WHO 2016 menunjukkan polusi udara bebas telah menyebabkan 4,2 juta kematian, sementara polusi udara di dalam rumah mengakibatkan sedikitnya 3,8 juta jiwa meninggal dunia.
Data dari Bank Dunia menyebutkan bahwa kadar PM 2,5 di dunia mencapai 45,52 mikrogram per meter kubik pada 2017. Kadar tersebut naik dari tahun sebelumnya sebesar 45,15 mikrogram per meter kubik. Artinya, kualitas udara di bumi sudah tidak bersih atau tercemar.
Selain kadar PM 2,5, parameter lain yang tak kalah penting adalah konsentrasi karbon dioksida (CO2). Pantauan kondisi CO2 di seluruh dunia tahun 1990 hingga 2017 dilakukan oleh Uni Eropa melalui JRC Science for Policy Report yang mengeluarkan dokumen berjudul Fossil CO2 Emissions for All World Countries 2018 Report. Hasilnya, emisi karbon telah naik sebanyak 61,2 persen selama hampir tiga dekade terakhir.
Konsentrasi emisi karbon tahun 1990 sebesar 22,67 miliar ton (Mt CO2) dengan total populasi manusia 5,33 miliar jiwa. Lima belas tahun kemudian, tepat tahun 2005, emisi karbon naik menjadi 30,05 miliar ton (Mt CO2) dengan total penduduk 6,54 miliar jiwa.
Kenaikan emisi karbon seirama dengan laju pertumbuhan penduduk dunia. Kebutuhan akan energi, kendaraan, dan produk hasil industri mendorong makin banyaknya emisi karbon di bumi. Pantauan pada 2017 menunjukkan konsentrasi karbon sudah mencapai 37,08 miliar ton (Mt CO2) dengan total penduduk sebesar 7,54 miliar jiwa.
Dalam laporan tersebut, ada lima penyumbang emisi karbon, yaitu industri energi listrik, industri lain yang melakukan pembakaran (industri manufaktur dan produsen batubara), bangunan, transportasi, dan sektor lain (gas buangan dari pembakaran domestik/rumah tangga, hutan, pertanian, dan material sisa).
Kematian akibat polusi
WHO memperkirakan ada sekitar 7 juta jiwa meninggal dunia setiap tahun akibat terpapar partikel halus di udara berpolusi. Partikel halus mampu menembus paru-paru dan sistem kardiovaskular sehingga menyebabkan penyakit stroke, jantung, kanker paru-paru, infeksi saluran pernapasan, dan pneumonia.
Sedikitnya 36 persen kasus kematian karena kanker dan penyakit lainnya pada paru-paru disebabkan polusi udara. Adapun kasus kematian karena stroke yang diakibatkan polusi mencapai 24 persen. Demikian pula persentase kematian akibat penyakit jantung yang dipengaruh polusi udara sudah sebesar 25 persen.
UN Environment menyebutkan tidak ada wilayah di bumi yang bebas polusi. Jenis polusi yang paling banyak adalah polusi udara, diikuti polusi tanah dan air.
Data WHO tahun 2016 menunjukkan polusi udara bebas telah menyebabkan 4,2 juta kematian, sementara polusi udara di dalam rumah mengakibatkan sedikitnya 3,8 juta jiwa meninggal dunia pada periode yang sama. Tak hanya kematian, polusi udara mampu menurunkan angka harapan hidup sebesar 2 hingga 24 bulan.
Menyikapi hal tersebut, WHO membuat rancangan aksi untuk menekan polusi udara melalui jalur kelembagaan. Ada empat poin utama yang menjadi fokus WHO, yaitu memperluas basis pengetahuan, pemantauan dan pelaporan, kepemimpinan dan koordinasi global, serta penguatan kapasitas kelembagaan.
Mengurangi polusi
Banyak wilayah yang berusaha keras memperbaiki kualitas udara, mulai tingkatan negara hingga kota. Ada tiga hal yang konsisten dilakukan, yaitu lebih banyak sepeda, angkutan umum yang lebih baik, dan larangan mobil. Selain itu, penguatan regulasi dari pusat hingga daerah menjadi pilar penting keberhasilan pengendalian polusi udara.
Kota Paris, Perancis, melarang mobil di banyak distrik, menggratiskan angkutan umum, serta mendorong program berbagi tumpangan mobil dan sepeda. Lain lagi upaya pengendalian polusi di Kota New Delhi, India, dengan melarang mobil diesel besar dan menghapus puluhan ribu taksi diesel.
Kota lainnya, Freiburg di Jerman, menetapkan 500 kilometer rute khusus sepeda, trem, dan sistem transportasi umum yang murah dan efisien. Pemilik mobil dilarang parkir di dekat rumahnya dan diharuskan membayar parkir yang lokasinya jauh di pinggiran kota dengan harga sangat mahal. Sebagai imbalan, masyarakat ditawarkan perumahan lebih murah dan transportasi umum gratis.
Sementara contoh negara yang sukses menurunkan polusi udara, seperti yang diungkap The Guardian dan The New York Times, antara lain adalah Inggris dan China. Komitmen membersihkan udara yang dilakukan pemerintah pusat sejalan dengan kualitas udara yang terus membaik.
Usaha Pemerintah Inggris telah berjalan selama empat dekade. Kematian karena polusi partikel halus turun dari 12 persen tahun 1970 menjadi 5,2 persen pada tahun 2010. Kasus yang terkait dengan nitrogen dioksida turun dari 5,3 persen menjadi 3 persen pada periode yang sama. Kondisi serupa juga terjadi untuk kasus kematian akibat polusi udara lainnya.
Membersihkan pembangkit listrik dan kendaraan menjadi kunci keberhasilan Inggris. Sulfur dioksida, penyebab hujan asam, turun tajam setelah pembangkit listrik tenaga batubara menjadi sasaran perbaikan. Penurunan polusi partikel halus PM 2,5 dan nitrogen dioksida, yang diproduksi oleh mobil, tampak signifikan, mengikuti penguatan regulasi kendaraan.
Kisah keberhasilan lainnya dicapai oleh China yang tak lepas dari komitmen pemimpin negara tersebut dan penguatan regulasi nasional. Dalam waktu empat tahun, kota-kota di China telah memotong konsentrasi partikel halus di udara rata-rata 32 persen.
Kota Beijing mampu menurunkan polusi partikel halus sebesar 35 persen. Kemudian ibu kota Provinsi Hebei, Shijiazhuang, memangkas kadar partikel halus 39 persen, dan Baoding, yang disebut kota paling tercermar di China pada tahun 2015, berhasil mengurangi hingga 38 persen.
Selanjutnya, kota-kota besar harus membatasi jumlah mobil di jalanan. China juga mengurangi kapasitas pembuatan besi dan baja dan menutup tambang batu bara. Pola hidup penduduk turut menyesuaikan, seperti lebih banyak berjalan kaki dan menggunakan transportasi umum. Perbaikan kualitas udara berdampak pada rata-rata usia harapan hidup penduduk China yang meningkat 2,4 tahun.
Banyak usaha yang telah dilakukan di berbagai wilayah di seluruh dunia untuk mengurangi polusi udara. Komitmen bersama turut memberi semangat usaha pengendalian kualitas udara dan menjaga Planet Bumi tetap lestari. (LITBANG KOMPAS)