Langkah DPR mengebut pengesahan sejumlah RUU mengundang pertanyaan publik. Apakah DPR benar-benar berorientasi kepada kinerja dan kepentingan publik ataukah hanya semata mengejar target-target politik?
Jelang akhir masa jabatan DPR, publik dikagetkan dengan upaya DPR periode 2014-2019 menjalankan fungsi legislasinya. Revisi beberapa undang-undang tiba-tiba terlihat seperti ”kejar tayang”. Jika pada tahun-tahun sebelumnya DPR dikeluhkan karena lambatnya membuat undang-undang, pada September 2019, tiba-tiba DPR sangat cekatan mengesahkan revisi tiga UU strategis.
Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) disahkan pada 16 September 2019. Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan sehari setelahnya. Sementara Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), menurut rencana, akan disahkan 24 September 2019, tetapi ditunda atas permintaan Presiden Joko Widodo (20/9/2019).
Pro kontra di masyarakat menyeruak karena revisi undang-undang itu menyentuh bidang yang sensitif, terutama terkait upaya pemberantasan korupsi melalui KPK. Sikap publik terbelah dalam memandang revisi UU KPK ini karena dinilai melemahkan KPK meski publik yang setuju revisi lebih besar dengan alasan perlunya perbaikan lembaga antikorupsi tersebut (Kompas, 16/9/2019).
Dalam revisi UU MD3, ada penambahan pimpinan MPR menjadi 10 orang. Sebelum direvisi, undang-undang ini mengatur pimpinan MPR berjumlah lima orang lalu bertambah menjadi delapan orang untuk MPR periode 2015-2019. Dalam aturan peralihan disebutkan, jumlah pimpinan MPR dikembalikan ke jumlah semula setelah periode ini berakhir. Ke-10 kursi pimpinan itu diperuntukkan bagi sembilan perwakilan fraksi partai politik di DPR periode 2019-2024. Satu kursi lainnya diperuntukkan bagi wakil dari DPD.
Sebagian besar responden (59 persen) menyatakan ketidaksetujuan terhadap pengesahan RUU MD3. Penambahan pimpinan dinilai tidak relevan dan berujung pada pemborosan anggaran belaka. Penambahan jumlah pimpinan MPR itu pun dinilai terjadi akibat kompromi pragmatis antarpartai politik. Apresiasi publik terhadap DPR periode 2014-2019 berada pada kategori menengah-bawah. Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja DPR tetap rendah.
Demikian juga dalam hal mewakili kepentingan rakyat, DPR dinilai belum mampu mewakili aspirasi yang berkembang di masyarakat. Secara khusus, dalam menjalankan fungsi legislasi, DPR dinilai mengutamakan kepentingan partai politik daripada kepentingan rakyat.
Rangkaian jajak pendapat Litbang Kompas merekam citra DPR periode 2014-2019 yang menurun. Saat ini, hanya 24,8 persen responden yang menilai citra DPR sudah baik. Setahun sebelumnya, tepatnya Agustus 2018, sebanyak 35,7 persen yang masih menilai citra DPR baik. Sementara pada Juli 2017, penilaian positif (baik) diungkapkan oleh 27,1 persen responden.
Meski demikian, citra DPR saat ini masih lebih tinggi daripada kondisi November 2015 yang hanya 17,7 persen citra positifnya. Pada saat itu, DPR (Komisi III) ”berselisih” dengan pemerintah terkait nama-nama calon pimpinan KPK hasil seleksi Pansel KPK. DPR saat itu dipandang tidak profesional dalam menjalankan fungsinya. Terkait revisi UU KPK yang dibahas selama 13 hari, sebanyak 62 persen responden menilai revisi belum aspiratif terhadap kehendak rakyat.
Sementara berkenaan dengan pasal yang mengatur ancaman pidana bagi pelaku penghinaan kepala negara di RKUHP, hampir dua pertiga responden jajak pendapat setuju dengan aturan tersebut. Ancaman pidana bagi pelaku penghinaan kepala negara hingga 3,5 tahun. Padahal, pasal ini dinilai bisa mengkriminalisasi masyarakat yang mengkritik presiden oleh kalangan LSM.
Tanda tanya
DPR sering kali dikritik saat menjalankan fungsi legislasi. Misalnya, pada tahun ini, dari 55 RUU Prolegnas Prioritas, baru empat yang disahkan hingga Agustus lalu. DPR periode ini juga telah menyelesaikan 77 RUU dari 189) RUU dalam Prolegnas 2005-2019.
Oleh karena itu, saat DPR tiba-tiba mampu menyelesaikan sejumlah RUU strategis, publik kemudian bertanya-tanya. Upaya merevisi UU KPK berulang kali gagal karena ditolak masyarakat. Sementara, sejak awal kemerdekaan, upaya untuk menyusun kitab hukum pidana nasional telah digulirkan. KUHP yang ada saat ini merupakan warisan hukum pidana kolonial, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, yang diberlakukan di Indonesia mulai 1 Januari 1918.
Lebih dari 69 persen responden menilai revisi terhadap sejumlah undang-undang hingga saat ini sarat kepentingan partai politik dibandingkan kepentingan rakyat. Mayoritas responden menyatakan, usulan RUU dari DPR selalu diwarnai oleh kepentingan partai ketimbang kepentingan rakyat. Upaya DPR pada hari-hari terakhir masa jabatan dinilai sangat kental dengan upaya mengamankan partai politiknya di periode mendatang.
Tanda tanya publik itu juga berpijak pada penilaian bahwa sebetulnya belum terlihat perbaikan pada aspek kinerja anggota DPR dalam melaksanakan fungsi perwakilan. Hampir dua pertiga publik (57-63 persen responden) menyatakan tak puas terhadap kinerja DPR dalam menjalankan fungsi legislasi, kontrol terhadap jalannya pemerintah, juga dalam membuat anggaran belanja negara. Angka tersebut relatif menetap dari rangkaian jajak pendapat.
Namun, sesungguhnya publik masih menyimpan harapan terhadap idealisme/gagasan/perjuangan anggota DPR dari partai politik pilihannya pada periode 2019/2024. Sekitar 59,5 responden menyatakan keyakinannya, sedangkan 37,1 persen responden berada pada titik tidak yakin dengan perjuangan/gagasan anggota DPR partai pilihannya.
Harapan
Rendahnya kepuasan dan kepercayaan publik masih akan menjadi tantangan bagi lembaga DPR ke depan. Terlebih citra baik DPR yang juga ikut turun. Anggota DPR mendatang harus dapat mengatasi kelemahan yang dimiliki anggota Dewan sebelumnya. DPR juga harus mendudukkan dirinya lebih sebagai wakil politik rakyat dibandingkan wakil partai politik.
Mereka juga sepatutnya tidak menempatkan dirinya sebagai pihak yang dapat membuat keputusan terbaik bagi rakyat dengan berbicara kepada rakyat secara langsung. Kelemahan mendasar yang harus diperbaiki DPR, menurut responden, antara lain belum mewakili rakyat, moralitas (akhlak), dan KKN.
Harapan terhadap DPR 2019/2024 masih cukup tinggi. Sebanyak 52 persen publik jajak pendapat yakin bahwa anggota DPR mendatang akan lebih aspiratif dalam memperjuangkan rakyat. Namun, ada 35 persen responden yang tak yakin dan 11 persen lainnya mengaku tidak tahu.
Hal ini menjadi tantangan bagi DPR periode berikutnya untuk benar-benar menjaga amanat rakyat dan menerjemahkan kehendak mereka. Mereka harus lebih memiliki keberanian untuk memperjuangkan aspirasi yang dititipkan ke pundak mereka. (Susanti Agustina S/ Litbang Kompas)