Ancaman Demokrasi dari Dunia Maya (3-Habis)
Reformasi 21 tahun silam mengubur masa kelam ketika kritik dibungkam dengan segala cara. Namun 21 tahun berlalu, ancaman pembungkaman kritik lahir kembali, kini berasal dari dunia maya.
Reformasi 21 tahun silam mengubur masa kelam ketika kritik dibungkam dengan segala cara. Saat sistem demokrasi diterapkan pasca-reformasi, muncul harapan masa kelam itu tak akan terulang lagi. Namun, 21 tahun berlalu, harapan itu terancam. Dari dunia maya, ancaman terhadap demokrasi lahir.
Saat rezim otoriter Orde Baru berkuasa, segala cara ditempuh untuk membungkam kritik pada penguasa.
Aktivis yang vokal sering kali mendapatkan teror, intimidasi bahkan menjurus ke kekerasan. Mereka diculik, disiksa agar takut pada penguasa. Tindakan represif penguasa sekaligus untuk menciptakan teror pada aktivis pro-demokrasi lainnya. Tak sedikit pula aktivis yang dihukum, dipidana, dan kemudian dipenjara dengan kesalahan yang dicari-cari.
Media massa yang salah satu tugasnya mengawasi penguasa turut menjadi sasaran. Tak jarang kritik berakhir pada pemberedelan. Bahkan, tak sebatas itu, wartawan ikut disasar. Wartawan Bernas di Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin atau biasa disapa Udin, misalnya, dianiaya hingga tewas karena berita-beritanya yang membuat telinga penguasa panas.
Saat reformasi 1998 bergulir, harapan muncul, masa kelam pemberangusan terhadap kritik itu tak akan terulang. Rezim yang baru menerapkan demokrasi yang salah satunya menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Prinsip yang sebenarnya sudah diamanahkan dalam konstitusi, khususnya di Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, dalam perjalanannya hingga kini atau lebih dari dua dekade usia reformasi, pemenuhan harapan itu tak selamanya mulus. Masih saja ada upaya untuk membungkam kritik. Belakangan, ancaman itu lahir dari dunia maya.
Baca juga: Yang Vokal Yang Diretas (1)
Yang dimaksud, peretasan akun media sosial para politisi oposisi selama Pemilu 2019. Kemudian yang terbaru, peretasan akun Whatsapp para pegiat antikorupsi yang vokal menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Revisi yang diinisiasi oleh DPR dan kemudian disetujui pemerintah, yang materinya berpotensi melumpuhkan KPK.
Dengan target teror adalah orang-orang yang mengkritik penguasa, maka implikasinya bisa memberikan kesan buruk pada penguasa.
Peretasan massal itu, menurut peneliti media dan telekomunikasi yang juga anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, jelas sebagai bentuk teror. Siapa pun penerornya, tujuannya, tak ingin mereka terus-menerus vokal pada isu-isu yang mereka kritisi.
Dengan target teror adalah orang-orang yang mengkritik penguasa, implikasinya bisa memberikan kesan buruk kepada penguasa. Akan muncul tudingan, penguasa ada di balik teror tersebut. Dampak lebih jauh, penguasa dianggap tidak demokratis. Terlebih dalam kasus revisi UU KPK, para pegiat antikorupsi yang diteror itu sedang memperjuangkan aspirasi publik.
Menurut psikolog sosial Erich Fromm, para pengkritik penguasa terkadang bisa merepresentasikan sebagai penutur kebenaran. Dalam bukunya yang berjudul Akar Kekerasan, Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia (2001), Erich menyatakan bahwa penutur kebenaran sangat dibenci penguasa.
Sebab, para penutur kebenaran bukan hanya mengancam kekuasaan para penguasa, tetapi juga dapat mengguncangkan seluruh sistem nilai yang mereka bangun. Selain itu, penutur kebenaran juga berpotensi menghilangkan legitimasi penguasa sehingga memaksa mereka bertindak di luar nalar.
Salah satu indikator negara demokrasi yang baik itu bagaimana kebebasan berserikat dan berpendapat dilindungi oleh undang-undang. Jadi orang ketika menyampaikan sesuatu dia tidak merasa terancam. Kalau ada pembatasan, tentu akan menjadi nilai buruk untuk demokrasi kita.
Peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes khawatir upaya membungkam kritik dengan cara peretasan akun media sosial itu akan berdampak buruk pada derajat penerapan demokrasi di Indonesia. Bahkan, jika fenomena pembungkaman tidak diusut oleh aparat penegak hukum, bukan tidak mungkin fenomena akan berulang di kemudian hari, yang akhirnya mematikan demokrasi.
”Salah satu indikator negara demokrasi yang baik itu bagaimana kebebasan berserikat dan berpendapat dilindungi oleh undang-undang. Jadi, orang ketika menyampaikan sesuatu dia tidak merasa terancam. Kalau ada pembatasan, tentu akan menjadi nilai buruk untuk demokrasi kita,” ujar Arya.
Baca juga: Tips Aman dari Peretasan Whatsapp
Berdasarkan Indeks Demokrasi Dunia 2018 yang disusun The Economist Intelligence Unit (EIU) dari majalah The Economist, Indonesia berada di peringkat ke-65 dengan nilai 6,39 dari 167 negara yang diteliti. Dalam skala 0-10, semakin besar nilai indeks, semakin baik kondisi demokrasi sebuah negara.
Variabel kebebasan sipil menjadi yang terendah nilainya dari lima variabel yang diukur. Nilai variabel kebebasan sipil sebesar 5,59, kemudian kultur politik (5,63), partisipasi politik (6,67), proses elektoral dan pluralisme (6,92), dan tertinggi, keberfungsian pemerintahan (7,14).
Dengan nilai 6,39, Indonesia dikategorikan negara dengan demokrasi yang masih cacat. Ini masih jauh dari kategori negara yang menerapkan demokrasi seutuhnya yang skornya di atas 9, seperti Norwegia (9,87), Eslandia (9,58), Swedia (9,39), Selandia Baru (9,26), dan Denmark (9,22).
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, pertengahan tahun ini, juga menunjukkan indikator aspek kebebasan sipil turun 0,29 poin menjadi 78,46. Ini menunjukkan adanya penurunan dalam kebebasan berpendapat.
Baca juga: Masa Depan Whatsapp dan Peretasan
Kematian demokrasi
Dua profesor Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam bukunya, How Democracies Die, menyebutkan, pembatasan kebebasan berpendapat menjadi salah satu tanda dari empat tanda kematian demokrasi.
Tiga tanda lain, tokoh atau kekuatan politik cenderung menolak aturan main demokratis, menyangkal legitimasi lawan politik, dan mereka cenderung bersikap intoleransi dan menganjurkan kekerasan.
Presiden pertama Amerika Serikat George Washington juga pernah mengingatkan akan pentingnya kebebasan berpendapat. Kutipan pernyataannya yang diingat hingga kini, ”Jika kebebasan berpendapat dicabut, kita mungkin akan dituntun dalam bisu dan diam, seperti domba saat hendak disembelih.”
Begitu pula Jurgen Habermas, filsuf dan sosiolog asal Jerman, yang mengingatkan pentingnya kebebasan berpendapat dalam mewujudkan demokrasi deliberatif. Intensitas partisipasi warga negara dibutuhkan agar kebijakan yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah.
Sementara Komaruddin Hidayat, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dalam artikel berjudul ”Ancaman Demokrasi” yang terbit di Kompas, 10 April 2019, mengingatkan keunggulan dan substansi demokrasi tak cukup diambil bentuk formalnya saja berupa pelaksanaan ritual pilkada dan pemilu yang diikuti multipartai politik.
Di samping setia pada konstitusi, elite politiknya mesti memiliki standar moral tinggi dan jiwa seorang demokrat yang senantiasa membela hak-hak sipil untuk menyampaikan hak kritiknya sekalipun berseberangan aspirasi politiknya.
Baca juga: Misteri Peretasan Akun Para Pengkritik (2)
Demokrasi telah menjadi jalan yang dipilih bangsa ini. Maka kebebasan berpendapat sebagai salah satu esensi dari demokrasi seharusnya dijaga segenap pihak. Ketika kini, ancaman itu lahir dari dunia maya, negara melalui tangannya para aparat penegak hukum seharusnya tidak diam, dan bergerak aktif untuk mencari para pelakunya. Jika tidak, hal serupa akan terus berulang, dan akhirnya, demokrasi menjadi pertaruhannya.