JAKARTA, KOMPAS – Waspadalah ketika mengalami sakit kepala berulang di bagian yang sama dan terasa berdenyut. Kondisi ini bisa menjadi gejala aneurisma otak atau pelebaran pada dinding pembuluh darah di otak. Jika tidak segera ditangani, gangguan ini bisa menyebabkan stroke pendarahan yang berakibat pada kecacatan hingga kematian.
Di Indonesia, belum ada data pasti terkait jumlah penderita aneurisma. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 1 dari 100 orang memiliki aneurisma otak. Gangguan ini lebih banyak diderita oleh perempuan dan paling banyak muncul pada usia 40-60 tahun.
Dokter Spesialis Bedah Saraf Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta, Mardjono Tjahjadi di Jakarta, Selasa (24/9/2019) menuturkan, aneurisma otak biasanya tidak bergejala. Hanya sekitar tujuh persen yang memberikan gejala seperti nyeri kepala dan gangguan pada saraf otak. Barulah ketika kondisi sudah memburuk yakni setelah dinding pembuluh darah pada otak pecah, pasien baru merasakan keluhan.
“Lebih dari 90 persen pasien yang datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi (dinding pembuluh darah otak) pecah. Padahal, ketika sudah pecah atau sudah menjadi stroke pendarahan akibatnya fatal. Persentase angka mortalitas mencapai 50 persen. Sementara, dari 50 persen yang tertolong, dua per tiga diantaranya akan mengalami disabilitas,” tuturnya.
Karena itu, deteksi dini perlu dilakukan meskipun tidak ada keluhan yang dirasakan. Pemeriksaan untuk deteksi aneurisma otak terutama diperlukan oleh seseorang yang memiliki faktor risiko, seperti memiliki riwayat merokok, hipertensi, ada riwayat keluarga dengan stroke, berusia di atas 40 tahun, serta berjenis kelamin perempuan. Selain itu, faktor risiko lainnya adalah memiliki riwayat konsumsi alkohol dan pernah mengalami cedera pada dinding pembuluh darah.
Deteksi dini bisa dilakukan melalui pemeriksaan Computed Tomography Angiography (CTA), Magnetic Resonance Angiography (MRA), dan Digital Substraction Angiography (DSA). Sensivitas dari beberapa pemeriksaan tersebut tergantung pada lokasi serta ukuran aneurisma yang dimiliki. Pada pemeriksaan CTA, sensivitasnya mencapai 100 persen apabila aneurisma yang dimiliki berukuran lebih dari 4 mm, sementara MRA dan DSA sensivitasnya lebih tinggi.
“Diharapkan, pasien dengan faktor risiko, terutama bagi perempuan berusia 40 tahun ke atas dengan riwayat merokok, konsumsi alkohol, serta ada riwayat keluarga segera melakukan pemeriksaan,” kata Marjono.
Dokter spesialis saraf Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta, Rubiana Nurhayanti menambahkan, gejala berat biasanya terjad apabila aneurisma atau dinding pembuluh darah di otak yang melebar sudah pecah. Gejala klinisnya ditandai dengan sakit kepala hebat yang biasanya disertai dengan muntah, penurunan kesadaran, serta kelumpuhan pada satu sisi tubuh.
Pada kondisi klinis tertentu, risiko kematian pada pasien semakin besar. Jika aneurisme pecah dengan kondisi kesadaran pasien sudah turun signifikan dan terjadi kelemahan pada anggota gerak di satu sisi, risiko kematian sebesar 80 persen. Kondisi lebih buruknya, apabila pasien datang ke fasilitas layanan kesehatan dalam kondisi koma dan terjadi penurunan pada denyut jantung, tekanan darah, dan pernafasan. Dalam keadaan ini, risiko kematian bisa mencapai 90 persen.
Penanganan aneurisma otak
Seseorang dengan stroke pendarahan yang disebabkan oleh aneurisma otak bisa mendapatkan terapi dengan prosedur kliping, koiling, atau konservatif. Kliping dilakukan dengan pembedahan mikro dengan menjepit leher anerisma untuk menghambat aliran darah pada dinding yang melebar. Tingkat kesuksesannya mencapai 90 persen namun akan menyisakan bekas operasi pada bagian kepala.
Seseorang dengan stroke pendarahan yang disebabkan oleh aneurisma otak bisa mendapatkan terapi dengan prosedur kliping, koiling, atau konservatif
Sementara tindakan koiling tidak membutuhkan pembedahan atau operasi, melainkan dengan memasukkan kateter kecil melalui arteri di bagian lipatan paha menuju lokasi aneurisma di otak. Penyumbatan pada aneurisma dilakukan dengan memasukkan beberapa kawat hingga penuh. Meski begitu, tindakan ini tidak dapat bertahan lama sehingga kemungkinan membutuhkan tindakan yang sama setelah 5 tahun kemudian.
“Tindakan konservatif seperti pengendalian dengan konsumsi obat bisa dilakukan apabila ukuran aneurisma masih sangat kecil kurang dari 2 milimeter atau lokasinya sulit dijangkau seperti pada batang otak. Namun, meski sudah dilakukan tindakan pun, pengendalian faktor risiko tetap harus dilakukan agar tidak terjadi aneurisma di lokasi lain,” ujar Rubiana.