Arab Saudi merayakan Hari Nasional dengan warna dan atmosfer baru yang melukiskan semangat toleransi, optimisme, dan keterbukaan. Mereka merayakan Saudi yang lebih berwarna dibandingkan 40 tahun lalu.
Oleh
Kris Razianto Mada
·3 menit baca
RIYADH, SENIN — Arab Saudi merayakan Hari Nasional, Senin (23/9/2019). Di sejumlah kota, orang-orang berparade untuk meluapkan kegembiraan atas perayaan itu. Sebagian perempuan di Jeddah menggunakan kaus, bukan abaya yang menjadi pakaian lazim perempuan Arab Saudi, dan tanpa kerudung.
Mereka merayakan Arab Saudi yang lebih berwarna dibandingkan dengan situasi negara itu dalam 40 tahun terakhir. Kerajaan yang didirikan Raja Abdulaziz al-Saud pada 23 September 1932 itu memang pernah mempunyai masa ketika perempuan amat bebas mengekspresikan diri. Mantan Kepala Polisi Syariah Mekkah, Sheikh Ahmad bin Qasim al-Ghamdi, mengakui hal itu.
Sebelum tahun 1979, perempuan Arab Saudi sangat percaya diri dan tidak dibatasi dalam cara berpakaian dan bertingkah laku. ”Dulu orangtua bertindak normal dan alamiah. Saya tidak ingat siapa yang menyuarakan kebencian dan pengasingan kepada yang berbeda cara beribadah, pandangan, dan budaya. Secara umum, mereka adalah gambaran toleransi, optimisme, dan keterbukaan,” kata Ghamdi kepada Arab News, salah satu media yang dimiliki keluarga Kerajaan Arab Saudi.
Kala itu, kurikulum pendidikan mempromosikan keterbukaan, hidup berdampingan, dan kebebasan berpikir. Tidak ada ketakutan pada ilmu pengetahuan, fanatisme, ekstremisme, dan kebencian kepada yang berbeda.
”Orangtua dan nenek kami menunjukkan semangat Saudi melalui keagamaan yang tulus dan sejati, terbebas dari politik. Kebudayaan Saudi sebelum 1979 sangat moderat,” kata Ghamdi.
Sebelum 1979, televisi Arab Saudi menyiarkan lagu, konser penyanyi, dan band negara itu. Penampilan para biduan, seperti Toha, Etab, dan Ibtisam Lutfi, kerap disiarkan televisi. Suara mereka terdengar mendayu-dayu.
Konser Um Kalthoum, Fayza Ahmad, Samira Tawfik, Najat Al-Saghira, dan Farid Al-Atrach juga menjadi favorit warga. Semua penyanyi perempuan itu tak lagi terlihat kala polisi syariah makin kuat selepas 1979.
Sebelum 1979, televisi Arab Saudi menyiarkan lagu, konser penyanyi, dan band negara itu. Penampilan para biduan, seperti Toha, Etab, dan Ibtisam Lutfi, kerap disiarkan televisi.
Polisi syariah, yang resminya bernama Komisi Penganjur Kebaikan dan Pencegahan Kejahatan (CPVPV), sebenarnya sudah ada sejak 1940. Fatma Zain, dosen di Jeddah, menyebut polisi syariah sangat kuat kala ia kembali dari luar negeri, pertengahan 1980-an. Zain menghabiskan 10 tahun lebih di luar Arab Saudi untuk belajar dan bekerja, seperti banyak orang muda Arab Saudi saat itu.
Peristiwa 1979
Zain dan Ghamdi sepakat keadaan banyak berubah selepas 1979. Bagi Ghamdi, tahun 1979 sulit dilupakan. Tahun itu dibuka dengan Revolusi Iran dan, pada 20 November 1979, terjadi pendudukan Masjidil Haram oleh Juhaiman al-Utaibi.
Ulah Utaibi, salah satu murid senior Sheikh Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz yang merupakan ulama penting dan memengaruhi kebijakan Riyadh puluhan tahun, itu mengejutkan banyak orang.
”Beberapa orang penting Saudi bergabung dengan kelompok teroris dan organisasi yang punya motif politik, seperti Ikhwanul Muslimin, Al Qaeda, atau belakangan Daesh (Negara Islam di Irak dan Suriah),” kata Ghamdi.
Hampir setahun selepas pendudukan Masjidil Haram, dikeluarkan dekrit kerajaan yang intinya memperkuat polisi syariah. Dengan kekuatan berdasarkan dekrit kerajaan, polisi syariah melakukan berbagai hal yang dinilai menjaga kemurnian agama. Mereka menghancurkan alat musik, menyerbu salon-salon kecantikan, dan memburu orang yang dianggap melanggar syariat.
Putra Mahkota Arab Saudi kala itu, Pangeran Abdullah bin Abdulazis, ikut marah gara-gara kejadian itu. Kala menjadi raja pada 2005, ia mengganti kepala polisi syariah dengan sosok yang lebih moderat. Kini, di bawah Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, moderasi semakin menjadi.
”Keputusan-keputusan penting sedang dibuat, seperti mengizinkan perempuan mengemudi, mereformasi pendidikan, menghancurkan kekuatan ekstremis, mengizinkan seni, dan memulai proyek, seperti NEOM. Hal-hal yang menunjukkan Arab Saudi meraih lagi semangat sejati,” ujar Ghamdi.
Dalam kesempatan berbeda, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel tidak menampik kebudayaan Arab Saudi amat berwarna. Hal tersebut antara lain ditunjukkan lewat berkali-kali festival kebudayaan yang diikuti delegasi Indonesia.