Aspirasi Rakyat Didengar, DPR dan Pemerintah Bahas Lagi RUU Pemasyarakatan
Yasonna mengatakan, alasan pemerintah ingin menunda pengesahan RUU Pemasyarakatan karena ingin mendengarkan terlebih dahulu aspirasi masyarakat. DPR bisa melimpahkan RUU Pemasyarakatan dibahas DPR periode 2019-2024.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan dalam rapat paripurna. Keputusan ini diambil setelah pimpinan DPR, fraksi, Komisi III, dan pemerintah menggelar rapat lobi di sela rapat paripurna.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah memimpin Rapat Paripurna DPR di Ruang Sidang Paripurna DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Ada 288 anggota yang menandatangani daftar hadir dalam rapat paripurna tersebut.
”Kami memasuki agenda pembahasan tingkat II RUU Pemasyarakatan. Namun, sebelumnya pimpinan telah menerima surat dari Menteri Hukum dan HAM tanggal 24 September 2019 terkait penundaan pengesahan RUU Pemasyarakatan. Sebelumnya, kami juga mendengar dari media massa bahwa Presiden pun meminta penundaan,” tuturnya.
Kemudian, Fahri menskors rapat selama 15 menit. Pimpinan DPR, pimpinan fraksi, pimpinan Komisi III DPR, serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly lalu melaksanakan lobi-lobi tertutup di luar ruang sidang paripurna.
Setelah lobi tersebut, Fahri kemudian melanjutkan sidang paripurna dengan mempersilakan Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik menyampaikan laporan terkait hasil pembahasan tingkat pertama RUU Pemasyarakatan.
”Secara substansi, RUU Pemasyarakatan ini perlu dibentuk untuk mengatasi kelebihan kapasitas rumah tahanan ataupun lembaga pemasyarakatan, kericuhan yang ada di rutan ataupun lapas, dan untuk melindungi hak-hak narapidana tanpa diskriminasi,” katanya.
Erma mengatakan, UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum mengatur hal tersebut. Selain itu, ia berharap lapas bukan sebagai tempat untuk memidanakan orang, melainkan sebagai tempat mendidik narapidana agar bisa diterima kembali ke masyarakat.
Seusai Erma membacakan laporan, Fahri kembali meminta persetujuan anggota rapat paripurna terkait penundaan tersebut. Anggota rapat dengan aklamasi menyetujui agar pengesahan RUU Pemasyarakatan ditunda.
”Kami pun ingin meluruskan karena, berdasarkan info yang berkembang, para narapidana bisa bebas untuk berjalan-jalan ke mal jika RUU ini disahkan. Saya tidak tahu mengapa isu itu bisa berkembang,” kata Fahri.
Di luar ruang sidang, Yasonna mengatakan, alasan pemerintah ingin menunda pengesahan RUU Pemasyarakatan karena ingin mendengarkan terlebih dahulu aspirasi masyarakat. Ia pun meminta agar DPR bisa melimpahkan RUU Pemasyarakatan untuk dibahas DPR periode 2019-2024.
”Senin (23/9/2019), ada rapat konsultasi antara Presiden dan pimpinan DPR, fraksi, dan Komisi III DPR. Dari hasil itu disepakati agar pengesahan RUU Pemasyarakatan ditunda,” katanya.
Sebelumnya, muncul desakan dari masyarakat yang menilai bahwa RUU Pemasyarakatan tidak lagi mencantumkan syarat rekomendasi lembaga penegak hukum untuk memberikan asimilasi atau bebas bersyarat terhadap terpidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk korupsi.
Aturan itu sebelumnya tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP itu diatur asimilasi atau pembebasan bersyarat khusus terpidana kasus kejahatan luar biasa, seperti korupsi, baru diberikan setelah ada rekomendasi dari lembaga penegak hukum yang menangani kasus terpidana bersangkutan.
Yasonna mengatakan, setelah RUU Pemasyarakatan ada, secara otomatis PP tersebut akan dibatalkan. Oleh sebab itu, pemerintah akan mengatur lagi PP baru untuk mengganti ketentuan tersebut.
”Nanti akan kita lihat, dalam pembentukan PP tersebut apa saja yang perlu diatur. Pada prinsipnya, tidak boleh ada perbedaan hak antara masyarakat,” ucapnya.
Pembebasan bersyarat tidak dipermudah
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, menyayangkan pembatalan tersebut karena RUU Pemasyarakatan sudah selesai dibahas di tingkat pertama pada Selasa (17/9/2019). Ia pun membantah kalau narapidana korupsi lebih mudah mendapat pembebasan bersyarat karena adanya RUU ini.
”Dalam RUU ini juga diatur pembentukan lembaga pengawas untuk memantau kinerja lembaga pemasyarakatan. Jadinya tidak bisa sembarangan narapidana mendapat pembebasan bersyarat,” ucapnya.
Erma pun mengatakan, RUU Pemasyarakatan memiliki kaitan dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sehingga pembahasannya harus disesuaikan dengan pula dengan penundaan RKUHP.
”RKUHP merupakan induk dari RUU Pemasyarakatan yang mengatur sistem peradilan pidana. RKUHP memuat sejumlah sanksi pidana tahanan yang akan dilaksanakan lembaga pemasyarakatan. Oleh sebab itu, jika RKUHP ditunda, otomatis pengesahan RUU Pemasyarakatan juga harus ditunda,” ucapnya.
Dihubungi secara terpisah, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengapresiasi penundaan pengesahan RUU Pemasyarakatan. Namun, publik juga harus waspada terkait motif penundaan yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah.
”Kami pun belum tahu konteks penundaan ini, apakah RUU Pemasyarakatan nanti akan dibahas secara terbuka atau tidak. Masyarakat masih bertanya-tanya terkait sejumlah pasal bermasalah yang menyebabkan narapidana korupsi mendapat kemudahan pembebasan bersyarat,” tuturnya.
Bivitri mengatakan, pemerintah dan DPR perlu mengkaji lagi narapidana korupsi harus menjadi justice collaborator sebagai syarat untuk mendapatkan asimilasi atau pembebasan bersyarat. Ia menilai, ketentuan tersebut jangan sampai dihilangkan agar tidak menghambat proses pemberantasan korupsi.