Untuk memberikan efek jera, izin empat korporasi perkebunan di Kalimantan Barat, yang diduga lahannya terbakar, diusulkan dicabut.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS – Bencana kabut asap setiap tahun melanda Kalimantan Barat. Salah satu penyebabnya yakni banyaknya titik api di lahan korporasi. Untuk memberikan efek jera, izin empat korporasi perkebunan yang diduga lahannya terbakar diusulkan dicabut.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Selasa (24/9/2019), mengungkapkan, empat korporasi yang izinnya diusulkan kepada pemerintah pusat untuk dicabut itu terletak di Kabupaten Sanggau. Bupati Sanggau Paolus Hadi telah mengusulkan ke pusat untuk mencabut izin korporasi itu.
“Kewenangan untuk mengusulkan pencabutan izin korporasi ke pemerintah pusat ada di tangan bupati. Hingga sejauh ini, baru Pemerintah Kabupaten Sanggau yang berani mengusulkan pencabutan izin korporasi,” ujar Sutarmidji.
Pemerintah kabupaten mengajukan izin untuk pencabutan izin itu karena memang sudah terbukti berdasarkan fakta-fakta di lapangan. Bahkan, kemungkinan bisa jadi lahan yang terbakar berulang kejadiannya.
Korporasi yang lahannya banyak titik api juga banyak terdapat di Kabupaten Ketapang. Titik api di Ketapang bahkan masih menjadi yang terbanyak di Kalbar. Namun, hingga kini, belum ada usulan pencabutan izin dari daerah itu. Total ada sekitar 40 lahan korporasi yang disegel di Kalbar selama bencana kabut asap.
Sutarmidji juga tidak sependapat jika ada pihak yang menuding penyebab kabut asap karena aktivitas pertanian. Sebab, ada daerah yang banyak masyarakatnya bertani, tetapi titik panasnya tidak banyak, misalnya Kabupaten Landak. Titik api justru banyak di Ketapang yang banyak terdapat perkebunan.
“Lagi pula, apa mungkin petani bisa membakar sampai 900 hektar atau ribuan hektar? Petani tidak mampu menanaminya. Petani juga tidak memiliki kemampuan menyediakan peralatan dan bibit serta pupuk yang memadai untuk mengolah lahan sebesar itu. Petani tidak mampu mengerjakan lahan ribuan hektar,” kata Sutarmidji.
Kepala Kepolisian Daerah Kalbar Inspektur Jenderal Didi Haryono mengatakan, jajaran Polda Kalbar telah melakukan penegakan hukum. Ada 86 kasus kebakaran hutan dan lahan yang ditangani.
Kasus-kasus itu terdiri dari 29 koporasi dan sisanya perorangan. Dari 29 kasus korporasi, dua kasus berada dalam tahap penyidikan dan 27 dalam tahap penyelidikan. Polda terus mendalami kasus itu untuk bisa diteruskan proses hukumnya.
Penanganan perlu sampai pada pidana korporasi untuk melihat siapa aktor di balik itu dan motifnya apa.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Anton Widjaya menilai, korporasi yang berpotensi untuk dicabut izinnya sebetulnya lebih banyak dari itu mengingat banyak titik api di lahan korporasi. Selain itu, proses sanksi administrasi saja tidak cukup, melainkan juga perlu upaya penanganan pidana korporasi.
“Penanganan perlu sampai pada pidana korporasi untuk melihat siapa aktor di balik itu dan motifnya apa. Itulah pentingnya kasus itu perlu dilihat juga dari sisi pidana korporasi sehingga sampai ke pengadilan dan semuanya bisa terungkap,” ujar Anton.
Kepolisian pun diminta lebih gencar melakukan penanganan dalam ranah pidana korporasi. Jika dilihat dari jumlah kasus yang ditangani, penanganan saat ini masih timpang karena lebih banyak kasus masyarakat daripada korporasi. Ada ketimpangan penanganan hukum.
Anton berharap, kasus yang ditangani betul-betul tuntas. Jangan sampai kejadian pada 2015, yakni ada kasus korporasi yang diduga lahannya terdapat titik api, tetapi penanganannya menguap begitu saja tanpa kejelasan.
"Kambing hitam"
Saat kabut asap melanda Kalbar, peladang selalu “dikambinghitamkan” sejumlah pihak. Tahun ini juga ada sejumlah pihak yang menuding peladang sebagai penyebab kabut asap.
Ketua Persatuan Peladang Kalimantan Barat Yohanes Mijar Usman mengatakan, masyarakat peladang sudah tidak dalam fase membuka lahan saat kabut asap parah melanda Kalbar. Mereka malah sedang dalam fase menanam padi. Bahkan, ada yang sudah selesai menyemai benih padi di ladang. Jadi, keliru jika ada pihak yang menuding peladang sebagai penyebab kabut asap.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Peladang Krist Heru Gandang mengatakan, budaya berladang masyarakat peladang di Kalbar tidak dilakukan secara sembarangan, akan tetapi melalui suatu perencanaan yang matang. Perencanaan ini menjadi penting karena berhubungan dengan hasil dan hal yang bersifat religio magis.
Tahap perencanaan dimulai dengan mencari lokasi yang layak untuk diladangi dengan menebas sedikit bagian dari hutan yang akan dijadikan ladang. Hal itu untuk “bapinta” (meminta dan memohon restu) kepada Jubata (Tuhan), apakah lokasi tersebut layak untuk diladangi atau tidak.
Layak atau tidaknya suatu lokasi diladangi berhubungan dengan hal-hal yang bersifat supranatural, yakni apakah area yang akan diladangi tersebut mendapat restu atau tidak dari Jubata atau penungggu tanah tersebut dan juga pemilik tanah yang berbatasan.
Pada tahap ini, dipersiapkan ritual meminta tanah (hutan dan tanah) kepada empunya tanah untuk diladangi. Upacara meminta ini didahului dengan ritual meminta restu. Adapun makna meminta restu adalah sebagai makanan bagi empunya padi, sehingga makanan yang disuguhkan menjadi makanan yang mengenyangkan sekaligus menyenangkan hati empunya padi.
Dengan demikian, sebagai balasannya, empunya padi akan memberi hasil panenan yang melimpah kepada manusia. Setelah ritual tersebut, maka dilanjutkan dengan pemberlakuan pantangan. Hal itu bermakna, setelah kenyang, maka empunya padi tersebut perlu beristirahat sebelum melanjutkan aktivitas berikutnya.
Pada siklus perladangan masyarakat peladang di Kalbar, bulan September sudah masuk tahapan menanam dan membersihkan gulma padi (merumput). Jadi, tidak benar jika menyudutkan peladang sebagai penyebab kabut asap.