Kepatuhan menyerahkan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye pada pemilu langsung mulai didorong ke ranah pembuktian. Hal itu menuntut perubahan regulasi.
Oleh
Ingki Rinaldi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepatuhan menyerahkan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye pada pemilihan umum langsung mulai didorong ke ranah pembuktian. Hal itu menuntut perubahan regulasi yang menjamin laporan berisikan jumlah angka dana kampanye yang sesungguhnya.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan, saat Peluncuran Pilkada 2020 yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, Senin (23/9/2019), menyampaikan pentingnya memulai pergeseran tanggung jawab kepatuhan pada tanggung jawab kebenaran laporan yang sesungguhnya.
Hal itu merujuk pada hasil survei lewat telepon yang dilakukan KPK kepada semua pasangan calon yang kalah pada Pilkada 2015, 2017, dan 2018.
Dari survei itu, Pahala menyatakan, kepatuhan menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) meningkat pada tahun-tahun itu. Saat ini, kepatuhan penyerahan LPPDK hampir 100 persen dibandingkan dengan kondisi awal yang hanya sekitar 20 persen.
Demikian pula penyampaian LPSDK yang naik menjadi 90 persen dibandingkan dengan 64 persen pada saat awal. Namun, berdasarkan survei, diketahui bahwa 36 persen responden mengatakan jumlah sesungguhnya dalam laporan dari dana kampanye justru lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan.
”Saya juga enggak ngerti (kenapa para calon) tidak mau memasukkan angka (jumlah dana kampanye) sebenarnya,” katanya.
Menurut Pahala, dibutuhkan regulasi teknis yang berasal dari KPU untuk memastikan pelaporan yang akurat dan sesuai fakta. Ia mencontohkan kewajiban menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara bagi calon anggota legislatif sebelum dilantik, yang berhasil menimbulkan kepatuhan pelaporan.
Survei itu, ujar Pahala, juga menemukan bahwa 82 persen pasangan calon mengandalkan donatur saat berkompetisi pada pilkada. Bahkan, 53 persen di antaranya menuliskan kesepakatan donasi dalam perjanjian dengan sejumlah konsekuensi terkait dengan balas jasa jika terpilih.
Pahala mengatakan, balas jasa itu berupa bantuan perizinan, pengadaan barang dan jasa, serta hal-hal terkait jabatan atau regulasi. Dari balas jasa itu, 83 persen di antara responden yang menuliskan perjanjian menyatakan, jika ia terpilih, maka janji-janji itu akan dipenuhi. ”Ini dari tahun ke tahun (persentasenya) stabil saja,” ujar Pahala.
Janji dan kesepakatan tertulis itu, lanjut Pahala, cenderung akan menyulitkan para kepala daerah setelah terpilih, terutama untuk pemenuhan perizinan yang akan diterbitkan.
Menanggapi hasil survei itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan mengatakan, hasil survei itu mesti dihadapi dengan perubahan regulasi. Hal itu terutama terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Abhan menambahkan, revisi terkait dengan penegasan dilarangnya eks narapidana koruptor kembali mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Hal itu mesti diatur dalam UU menyusul tidak terlalu kuatnya peraturan KPU mengikat ketentuan tersebut.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyampaikan tujuh langkah terkait dengan Pilkada 2020, di antaranya penentuan data penduduk pemilih potensial pemilu yang harus segera disampaikan.