Menanti Kebijakan yang Bermanfaat Nyata bagi Petani Sawit
Berbagai kebijakan pemerintah terkait komoditas kelapa sawit dinilai belum nyata bermanfaat bagi para petani sawit di Indonesia. Petani sawit masih didera sejumlah persoalan pelik.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS -- Berbagai kebijakan pemerintah terkait komoditas kelapa sawit dinilai belum nyata bermanfaat bagi para petani sawit di Indonesia. Petani sawit masih didera sejumlah persoalan, mulai dari produktivitas rendah, harga jual produk murah, kesulitan pupuk, hingga minimnya sarana dan prasarana.
"Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dari masa ke masa itu belum menghasilkan manfaat dan dampak positif bagi petani sawit," kata Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto dalam diskusi "108 Tahun Sawit Indonesia: Bagaimana Nasib Petani Kini", Selasa (24/9/2019), di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Darto menjelaskan, sejak dibudidayakan secara komersial di Indonesia pada 1911, kelapa sawit telah menjadi salah satu komoditas yang memberikan pemasukan besar bagi negara. Menurut dia, kelapa sawit telah memberikan penerimaan sebesar Rp 239 triliun pada negara. "Sawit Indonesia telah menjadi komoditas andalan devisa negara," ujarnya.
Dia menambahkan, dalam pengelolaan kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia, para petani memiliki kontribusi besar. Dari total perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 14,3 juta hektar (ha), seluas 5,7 juta ha dikelola oleh petani. Dari 5,7 juta ha yang dikelola petani itu, 4,9 juta ha dikelola petani swadaya, sementara sisanya petani plasma yang bermitra dengan perusahaan.
Sementara itu, dari total produksi minyak sawit mentah (CPO) pada 2018 sebesar 43 juta ton, sebanyak 18 juta ton diproduksi petani. Dengan kontribusi sebesar itu, sudah sewajarnya pemerintah memberikan perhatian besar pada nasib petani sawit di Indonesia.
Apalagi, berdasarkan data SPKS, jumlah petani sawit di Indonesia cukup banyak, yakni sekitar 2,5 juta orang. Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit sekitar 12 juta orang.
Darto menyatakan, pemerintah memang telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan peraturan terkait kelapa sawit. Namun, berbagai aturan itu belum berdampak nyata terhadap perbaikan nasib petani sawit di Indonesia.
Darto mencontohkan, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan peraturan terkait kelapa sawit. Namun, berbagai aturan itu belum berdampak nyata terhadap perbaikan nasib petani sawit di Indonesia.
Dalam Inpres itu, Presiden memerintahkan jajarannya untuk melakukan sejumlah langkah berkait dengan petani sawit, misalnya merevitalisasi kelembagaan petani sawit dalam rangka optimalisasi dan intensifikasi lahan guna meningkatkan produktivitas sawit.
Selain itu, Presiden juga memerintahkan agar 20 persen dari total pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dialokasikan untuk petani. "Tapi, Inpres ini tidak berjalan sehingga petani tidak memperoleh manfaat," kata Darto.
Darto menambahkan, para petani sawit juga belum merasakan manfaat nyata kebijakan reforma agraria yang diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018. Salah satu indikatornya, masih banyak petani sawit yang belum memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas lahannya.
"Mayoritas kebun rakyat yang luasnya 5,7 juta ha itu tidak ada sertifikat hak miliknya," tutur Darto.
Menurut dia, di sejumlah wilayah, petani kelapa sawit harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengurus SHM. Darto mencontohkan, untuk mengurus SHM di salah satu provinsi di Kalimantan, petani mesti mengeluarkan biaya pengukuran lahan sebesar Rp 3 juta sampai Rp 4 juta per hektar.
"Jadi, daripada mengeluarkan biaya untuk mengurus SHM, petani lebih memilih menggunakan uang untuk beli pupuk. Itu logika petani," kata Darto.
Padahal, keberadaan SHM itu penting untuk menjamin kepemilikan lahan petani. "Akan menjadi bahaya ke depan kalau alas hak dari kebun-kebun rakyat itu tidak dimiliki oleh petani. Mereka akan sangat berisiko untuk digusur," ujar Darto.
Dia memaparkan, petani sawit juga belum merasakan manfaat nyata dari pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Berdasarkan data SPKS, sejak tahun 2015, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit telah berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 35 triliun.
"Sayangnya, dana itu hanya sedikit sekali digunakan untuk membantu perkebunan rakyat, yakni hanya untuk peremajaan sawit. Dana itu mayoritas justru untuk pengembangan biodiesel," ungkap Darto.
Direktur HICON Law & Policy Strategies Hifdzil Alim mengatakan, penelitian yang dilakukan lembaganya di beberapa daerah menunjukkan, dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit itu tidak dirasakan manfaatnya oleh petani. "Riset kami di Kalimantan Barat dan Jambi menemukan, dana itu tidak turun langsung ke petani," katanya.
Sementara itu, Direktur The Indonesian Power for Democracy Gregorius Sahdan mengatakan, dalam pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia, petani sawit kerap menjadi korban. Kondisi itu terjadi karena sejumlah sebab, salah satunya karena kebijakan pemerintah yang tak memihak kepada para petani.
"Ada seratusan lebih kebijakan pemerintah terkait dengan sawit. Tetapi, sampai dengan tahun 2019, salah satu aktor yang sering sekali menjadi korban di dalam kebijakan sawit adalah petani," kata Gregorius.