Penanganan medis pada pasien bibir dan langit-langit sumbing tidak hanya dibutuhkan saat operasi melainkan juga pascaoperasi dilakukan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penanganan medis pada pasien bibir dan langit-langit sumbing tidak hanya dibutuhkan saat operasi melainkan juga pascaoperasi dilakukan. Perawatan yang tidak optimal dapat menjadi penyulit dalam proses penyembuhan.
Kepala Unit Pelayanan Khusus Cleft and Craniofacial Center Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM-FKUI) Kristaninta Bangun di Jakarta, Selasa (24/9/2019) mengatakan, tata laksana pada bibir dan langit-langit mulut yang sumbing pada prinsipnya bertujuan untuk memaksimalkan fungsi bicara, berbahasa, makan, dan bentuk penampilan. Tindakan yang dilakukan pun perlu komprehensif, mulai sejak dalam kandungan sampai usia dewasa.
Pelayanan medis pasien sumbing dilakukan sejak masa kehamilan dengan deteksi dini. Layanan pun terus dilakukan melalui tindakan operasi, perawatan gigi, terapi wicara, evaluasi hasil operasi, dan konseling psikiatri sejak anak lahir sampai usia dewasa. "Pedoman dalam pelayanan pasien sumbing, terutama pada usia anak harus diketahui oleh orangtua. Sayangnya, tidak semua orangtua paham akan pedoman ini,” ujar Kristaninta.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, 1 dari 500 bayi baru lahir mengalami bibir dan langit-langit sumbing. Di Indonesia, jumlahnya diperkirakan mencapai 8.000 bayi setiap tahun. Kelainan bawaan ini disebabkan oleh multifaktoral, seperti genetik, nutrisi yang buruk sebelum dan saat hamil, infeksi saat kehamilan, serta konsumsi obat yang salah. Biasanya, kelainan ini terjadi pada minggu keempat hingga minggu keenam masa kehamilan akibat kegagalan pembentukan bibir dan langit-langit mulut.
Kristaninta menuturkan, meski jumlah penderitanya cukup tinggi dan penanganannya masuk dalam layanan yang ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), kesadaran masyarakat minim. Hal ini berakibat anak dengan bibir ataupun langit-langit sumbing tidak mendapatkan penanganan dengan metode serta waktu yang tepat. Perawatan menjadi lebih sulit serta kualitas hidup pasien dan keluarga akan terganggu.
Pelayanan Medis
Menurut Kepala Departemen Kedokteran Fisik dan Rehabiitasi RSCM-FKUI, Luh Karunia Wahyuni, pasien bibir dan langit-langit sumbing memiliki beban fisik dan sosial. Untuk itu, penanganan yang komprehensif perlu dilakukan secara optimal, terutama sebelum anak bersosialisasi secara luas dengan lingkungannya.
Berdasarkan pedoman pelayanan medis pasien sumbing, ada beberapa tahapan tindakan yang perlu dilakukan sesuai dengan usia pasien. Pada saat kehamilan, tindakan yang bisa dilakukan dengan deteksi dini dan diagnosis awal. Hal ini bisa dilakukan sejak kandungan berusia 4-6 minggu. Selain itu, penanganan stres psikologis orangtua dan keluarga juga diperlukan agar lebih siap menerima kondisi yang terjadi.
Kemudian, pada usia 1-3 bulan setelah kelahiran, pemasangan Nasolaveolar Molding (NAM) diperlukan untuk memperbaiki lengkung gusi serta mendekatkan celah antarbagian yang sumbing. Tindakan ini diperlukan untuk mempermudah operasi yang akan dilakukan. Di usia yang sama, penilaian pada pemberian nutrisi juga dilakukan karena memberikan asupan gizi pada bayi sumbing perlu cara khusus. Pemeriksaan fungsi pendengaran juga dianjurkan.
“Baru pada usia tiga bulan, anak bisa mendapatkan tindakan bedah untuk menutup celah bibir dan memperbaiki bentuk hidung. Tindakan ini disebut labioplasty atau operasi bibir. Anak yang bisa dilakukan operasi bibir harus memenuhi kualifikasi, yakni berat badan lebih dari 4,5 kilogram, kadar hemoglobin dalam darah lebih dari 10 gram/desiliter, dan usia lebih dari 10 minggu,” ucap Luh.
Tindakan berikutnya adalah palatoplasty atau operasi langit-langit mulut. Biasanya tindakan ini dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dua tahun. Setelah usia lebih dari dua tahun, perawatan harus terus dilakukan, antara lain mengevaluasi pertumbuhan rahang pascaoperasi, perawatan rutin gigi anak, deteksi gangguan bicara, serta evaluasi hasil operasi secara fungsional dan estetik.
Anak yang bisa dilakukan operasi bibir harus memenuhi kualifikasi, yakni berat badan lebih dari 4,5 kilogram
Bentuk gusi dan rahang biasanya akan berubah sehingga perlu dilakukan tindakan operasi kembali. Koreksi rahang atas dan bawah, serta perataan gigi juga diperlukan setelah anak berusia 10 tahun. Selain itu, konseling psikiatri pada anak dan orangtua dibutuhkan sejak anak lahir sampai usia dewasa.
“Tindak perawatan pasien sumbing membutuhkan peran dari multidisiplin, mulai dari dokter kandungan, bidan, dokter bedah plastik, dokter anak, dokter spesialis THT, dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, serta psikater. Karena itu, perawatan pasien ini harus dilakukan oleh kerja tim yang terpadu,” kata Luh.