Lagi, Direktur Utama BUMN Menjadi Tersangka Korupsi
Kasus dugaan suap impor ikan tidak sejalan dengan program Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sedang menggalakkan ayo makan ikan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia Risyanto Suanda ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan suap impor ikan tahun 2019. Selain Risyanti, Direktur PT Navy Arsa Sejahtera Mujib Mustofa juga ditetapkan sebagai tersangka.
”Selain bawang putih, ternyata praktik korupsi juga terjadi di perikanan. Ini sangat tidak sejalan dengan program Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sedang menggalakkan (gerakan) ayo makan ikan. Ikan yang seharusnya dinikmati oleh seluruh masyarakat malah dijadikan bahan bancakan dan jadi keuntungan untuk pihak-pihak tertentu,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, di Jakarta, Selasa (24/9/2019).
KPK menemukan adanya dugaan alokasi fee Rp 1.300 untuk setiap kilogram makerel pasifik beku yang diimpor ke Indonesia. ”Ini seharusnya tidak terjadi sehingga masyarakat bisa menikmati ikan dengan harga yang lebih murah,” kata Saut.
Alokasi fee tersebut dari 250 ton ikan yang diimpor oleh PT Navy Arsa Sejahtera (NAS). Ikan kemudian dikarantina dan disimpan di gudang pendingin (cold storage) milik Perum Perikanan Indonesia (Perindo). Hal ini diduga dilakukan untuk mengelabui otoritas yang berwenang agar seolah-olah yang melakukan impor adalah Perum Perindo.
”MMU (Mujib) berkenalan dengan RSU (Risyanto) melalui mantan pegawai Perum Perindo. MMU kemudian menemui RSU dan membicarakan masalah kebutuhan impor ikan,” kata Saut.
Setelah berhasil memenuhi permintaan kuota impor ikan, Risyanto kembali menanyakan apakah Mujib sanggup jika diberikan kuota impor ikan tambahan sebesar 500 ton untuk bulan Oktober 2019. Mujib menyatakan kesanggupannya dan diminta oleh Risyanto untuk menyusun daftar kebutuhan impor ikan yang diinginkan.
Kemarin, tim KPK menangkap Mujib dan menyita amplop berisi uang sebesar 30.000 dollar AS atau lebih dari Rp 400 juta di luar hotel, di kawasan Jakarta Pusat. Bersamaan dengan itu, tim KPK menangkap Risyanto di sebuah hotel di Bogor. Total yang diamankan oleh tim KPK berjumlah 9 orang.
Dalam kasus ini, pada Mei 2019, Risyanto menyepakati kuota impor ikan sebanyak 250 ton dari kuota impor Perum Perindo untuk Mujib yang telah disetujui Kementerian Perdagangan. Perum Perindo merupakan badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki hak untuk melakukan impor ikan dan dapat mengajukan kuota impor ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
”Apabila KKP mengeluarkan rekomendasi, rekomendasi tersebut beserta persyaratan lain dikirimkan ke Kementerian Perdagangan untuk mendapat izin. Setelah izin dikeluarkan PT Perindo bisa melakukan impor langsung ke negara yang dituju,” kata Saut.
Meski kuota impor diberikan kepada Perum Perindo, pada kenyataannya dalam kasus ini yang melakukan impor adalah PT NAS yang merupakan salah satu perusahaan importir ikan, tetapi telah masuk daftar hitam (blacklist) sejak tahun 2009. PT NAS masuk daftar hitam karena melakukan impor ikan melebihi kuota sehingga saat ini tidak bisa mengajukan kuota impor.
KPK juga akan mendalami dugaan penerimaan sebelumnya dari perusahaan importir lain, yaitu 30.000 dollar AS, 30.000 dollar Singapura, dan 50.000 dollar Singapura atau secara total setara dengan Rp 1,2 miliar.
”KPK mengingatkan instansi terkait seperti Kemendag dan KKP agar secara serius melakukan pembenahan menyeluruh dalam kebijakan dan proses impor karena hal ini sangat terkait dengan kepentingan masyarakat Indonesia secara langsung,” kata Saut.
Sistem antisuap
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menyampaikan, korupsi kembali terjadi di BUMN karena kultur di internal BUMN belum memiliki sistem antisuap yang baik. Oleh karena itu, yang paling penting untuk BUMN adalah mengimplementasikan Standar Nasional Indonesia (SNI) 37001 tentang Sistem Manajemen Anti Penyuapan.
Berdasarkan data Anti-Corruption Clearing House, pada 2004-2018, korupsi terjadi di 56 BUMN/BUMD. Khusus 2018, data Indonesia Corruption Watch menunjukkan terdapat kerugian negara Rp 3,1 triliun dari kasus korupsi yang terjadi dalam tubuh BUMN. Kasus korupsi ini melibatkan 19 BUMN di Indonesia dan 28 orang, baik direktur utama maupun karyawan BUMN.
Sepanjang 2019 hingga saat ini, setidaknya ada 12 direktur utama dan karyawan BUMN yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, termasuk yang ditetapkan hari ini.