Menuju Negara Palestina via Knesset
Lebih dari tujuh dekade perjuangan untuk mendirikan negara Palestina digelar melalui medan pertempuran dan meja diplomasi, dan belum berhasil. Kini tiba waktunya mencoba perjuangan di parlemen Israel (Knesset).
Perolehan suara atau kursi Joint List, aliansi partai- partai Arab, yang cukup besar pada pemilu Knesset (parlemen Israel) pada 17 September lalu bisa menjadi jalur baru perjuangan menuju tercapainya cita-cita rakyat Palestina untuk mendapatkan hak-hak mereka, khususnya negara Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Joint List pimpinan Ayman Odeh adalah aliansi dari empat partai Arab di Israel, yaitu partai Balad, Hadash, Ta’al, dan United Arab List.
Warga Arab di Israel, menurut biro pusat statistik Israel, mencapai 1.890.000 jiwa atau 20,95 persen dari keseluruhan penduduk Israel yang mencapai 8.710.000 jiwa. Mereka selama ini mendapat perlakuan rasial dan diskriminatif di Israel.
Komisi pemilu Israel pada Jumat (20/9/2019) mengumumkan, setelah penghitungan suara mencapai 98 persen, Joint List meraih 13 kursi atau lebih dari 10 persen dari 120 kursi Knesset. Joint List kini menjadi kekuatan politik terbesar ketiga di Knesset setelah Gerakan Biru-Putih pimpinan Benny Gantz (33 kursi) dan partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu (31 kursi).
Baca juga: Misi Partai Arab Jungkalnya Netanyahu
Dalam pemilu Knesset pekan lalu, kubu ideologi tengah-kiri meraih 44 kursi, yang terdiri dari Gerakan Biru- Putih (33 kursi), Partai Buruh- Gesher (6 Kursi), dan partai Uni Demokratik (5 kursi). Adapun kubu kanan-ortodoks (agama) mendapat 55 kursi, yang terdiri partai Likud (31 kursi), partai agama Shas (9 kursi), partai United Torah Judaism atau UTJ (8 kursi), dan partai Yamina (7 kursi).
Ada lagi partai Yisrael Beiteinu pimpinan Avigdor Lieberman (8 kursi) yang secara ideologi sebenarnya masuk kubu kanan. Namun, pasca-konflik Lieberman dengan Netanyahu, partai itu menempatkan dalam posisi independen.
Bagi Joint List, perolehan 13 kursi itu menyamai pencapaian mereka pada pemilu 2015, perolehan terbesar sejak berdirinya negara Israel 1948.
Baca juga: Suara Partai Arab Cemaskan Elite Israel
Taktik baru
Mungkin, kini sudah tiba waktunya bagi rakyat Palestina melakukan kalkulasi politik baru dengan mengubah taktik perjuangan ke arah yang lebih lunak dan efisien. Sebuah taktik dengan menggunakan panggung Knesset sebagai jalur baru perjuangan mereka setelah opsi militer atau perundingan damai, yang ditempuh selama ini, belum berhasil mengantarkan pada cita- cita berdirinya negara Palestina.
Rakyat Palestina dan bangsa Arab telah melancarkan perang melawan Israel pada tahun 1948, 1956, 1967, dan 1973. Namun, semua perang itu gagal mengembalikan tanah Palestina yang dicaplok Israel.
Kini sudah tiba waktunya bagi rakyat Palestina melakukan kalkulasi politik baru dengan mengubah taktik perjuangan ke arah yang lebih lunak dan efisien dengan menggunakan panggung Knesset sebagai jalur baru perjuangan mereka.
Rakyat Palestina dan bangsa Arab kemudian membuka perundingan damai dengan Israel, dari konferensi damai di Madrid tahun 1991 hingga kesepakatan Oslo tahun 1993. Namun, perundingan itu juga gagal mengembalikan tanah Palestina dan Arab.
Bahkan, perundingan damai Palestina-Israel macet total sejak 2014 lantaran Israel makin gencar membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat, yang kian menguburkan peluang terwujudnya solusi dua negara, Palestina dan Israel.
Ironisnya lagi, pentas politik Israel selama lebih dari satu dekade ini dikontrol kubu kanan dan ortodoks (agama) yang sangat anti-perdamaian dengan Palestina. Partai kanan dan ortodoks itu adalah Likud, Shas, United Torah Judaism, dan partai ultrakanan sekuler Yisrael Beiteinu. Rakyat dan elite Palestina praktis kesulitan lantaran seperti tidak ada lagi jalur atau horizon yang memberi harapan menuju tercapainya hak- hak mereka setelah panggung politik Israel dikuasai kubu kanan dan ortodoks.
Lebih ironis lagi, sejumlah negara Arab, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Oman, kini memilih menjalin hubungan dengan Israel meskipun tanpa hubungan resmi diplomatik. Para pejabat tinggi Israel sudah biasa mengunjungi Bahrain, Oman, dan UEA. Sebaliknya, pejabat atau mantan pejabat Bahrain, UEA, Oman, dan Arab Saudi sering pula mengunjungi Israel.
Adapun bangsa Arab, yang selama ini menjadi sandaran utama perjuangan rakyat Palestina, secara umum saat ini tengah berada dalam perjalanan sejarah paling buruk akibat permusuhan satu sama lain, bahkan beberapa negara Arab dilanda perang saudara.
Di pihak Palestina sendiri, lebih dari satu dekade terjadi perpecahan antara Hamas dan Fatah yang sangat melemahkan perjuangan rakyat Palestina melawan Israel.
Kini, rakyat dan elite Palestina semakin merasa sendirian tanpa ada sandaran bantuan dari dunia Arab lagi. Mereka semakin sadar, perjuangan rakyat Palestina berada di tangan mereka sendiri, bukan di tangan bangsa Arab atau bangsa lain.
Di tengah tertutupnya semua jalur perjuangan tersebut, muncul setetes harapan lagi dengan berhasilnya Joint List meraih kursi cukup besar dalam pemilu Knesset, pekan lalu. Hasil ini sangat mungkin bisa mendikte rakyat dan elite Israel agar menerima misi politik Palestina.
Baca juga: Tajuk Rencana: Partai Arab di Israel dan Isu Palestina
Kaukus pro-perdamaian
Dalam konteks ini, Joint List bisa mengajak partai-partai tengah dan kiri Israel yang pro-perdamaian untuk membangun kaukus pro-perdamaian di Knesset. Partai tengah- kiri yang pro-perdamaian itu adalah partai Buruh-Gesher (6 kursi) dan partai Uni Demokratik (5 kursi). Ini belum termasuk anggota Knesset yang terpilih dari gerakan Biru-Putih, yang disinyalir lebih dari 50 persen atau sekitar 20 anggota adalah pro-perdamaian.
Jika digabung semua, anggota Knesset pro-perdamaian minimal mencapai 44 anggota atau hampir 40 persen anggota Knesset. Mereka terdiri dari Joint List (13 kursi), Biru-Putih (20), partai Buruh-Gesher (6), dan Uni Demokratik (5). Jumlah itu juga belum termasuk warga Arab yang menjadi anggota partai Likud dan lolos ke Knesset, yang tentunya bisa diajak masuk kaukus pro-perdamaian di Knesset.
Di luar Knesset, kaukus pro- perdamaian itu bisa menggandeng media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Israel yang pro-perdamaian untuk bekerja sama membangun opini di kalangan publik Israel soal pentingnya tercipta perdamaian Palestina-Israel.
Sangat penting pula negara- negara kaya di Arab Teluk mengucurkan dana kepada kaukus perdamaian di dalam ataupun di luar Knesset untuk memperkuat gerakan operasi mereka di ranah publik Israel. Bisa pula sebagian dana bantuan yang selama ini dialokasikan kepada Hamas dan Otoritas Palestina dari negara-negara Arab dikucurkan pada kaukus perdamaian itu.
Apabila semua kekuatan politik pro-perdamaian itu dikoordinasikan secara baik, hal itu bisa menghidupkan lagi kejayaan kubu kiri Israel, seperti pada era mendiang PM Yitzhak Rabin tahun 1990-an yang mengantarkan tercapainya kesepakatan Oslo tahun 1993.
Pertarungan ke depan bukan lagi antara Israel dan Hamas atau Israel dan Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas, melainkan hendaknya diarahkan antara Joint List plus partai-partai tengah-kiri vis-à-vis kubu kanan-ortodoks di forum Knesset dan ranah publik Israel.